Catatan ICW Atas Pengaturan Tipikor yang Bermasalah dalam RKUHP
Utama

Catatan ICW Atas Pengaturan Tipikor yang Bermasalah dalam RKUHP

Seperti hukuman badan bagi pelaku korupsi dan denda dikurangi, bertentangan dengan putusan MK, hingga korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Secara resmi pemerintah telah menyodorkan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru per 4 Juli 2022 kepada DPR. Ada 14 isu krusial yang masih menjadi perhatian serius dalam draf RKUHP. Tapi ironisnya, isu pemberantasan korupsi kian terpinggirkan. Sebab, pasal yang mengatur tindak pidana korupsi (tipikor) tidak masuk dalam 14 isu krusial. Padahal, substansi aturan antikorupsi masih dipenuhi dengan sejumlah persoalan.

Demikian disampaikan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana kepada Hukumonline, Kamis (11/8/2022). “Di luar itu, tim perumus RKUHP juga tidak konsisten,” ujarnya.

Kurnia beralasan, Prof Edy Omar Sharif Hiariej saat belum menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) sempat berpandangan delik korupsi hanya sebagai core crime dan bridging article. Dengan kata lain, RKUHP hanya mendefinisikan perbuatan korupsi tanpa melampirkan usulan perubahan pemidanaan. Tapi realitanya malah sebaliknya yakni draf per 4 Juli 2022 berpotensi mendegradasi upaya pemberantasan korupsi.

Terhadap berbagai persoalan pengaturan tipikor dalam RKUHP, ICW memiliki lima catatan dengan mengidentifikasi sejumlah persoalan serius. Pertama, hukuman pelaku korupsi dikurangi. Bagi ICW, kata Kurnia, hukuman pokok berupa pidana badan dan denda terkait tipikor dikurangi. Sebut saja Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

Baca Juga:

Ternyata, rumusan norma Pasal 607 RKUHP memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun menjadi 2 tahun penjara. Tak hanya itu, denda minimalnya serupa, turun dari Rp 200 juta menjadi hanya Rp 10 juta. Kemudian Pasal 608 RKUHP merupakan bentuk baru dari Pasal 3 31/1999. Sekalipun pidana badan mengalami kenaikan dari 1 tahun menjadi 2 tahun penjara, tapi tak sebanding dengan subjek hukum pelaku yakni pejabat publik.

“Ini sekaligus upaya menyamakan hukuman antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik tertentu,” kata dia.

Selanjutnya, Pasal 610 ayat (2) RKUHP merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU 31/1999, nyaris serupa dengan ketentuan lain yang hukuman ditujukan terhadap penerima suap pun mengalami penurunan. Biila sebelumnya maksimal 5 tahun penjara, turun menjadi 4 tahun penjara. Sementara hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta.

Kurnia berpandangan khusus sanksi denda yang menjadi salah satu pidana pokok terbilang rendah dalam draf RKUHP. Pasalnya denda maksimal yang menjadi ganjaran terhadap pelaku hanya Rp2 miliar. Berbeda halnya dengan UU sektoral yang bersifat khusus. Seperti UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika ataupun UU No.8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mencapai Rp10 miliar

“Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, semestinya pidana denda dapat ditingkatkan,” usulnya.

Kedua, parsial memberatkan hukuman. Menurutnya, mengacu data KPK, tindak pidana suap mendominasi penanganan perkara di lembaga antirasuah itu. Setidaknya selama rentang 15 tahun terakhir sebanyak 791 perkara. Hal tersebut menandakan praktik kejahatan tipikor masih merajarela di Indonesia. Karenanya bentuk evaluasi terhadap kondisi tersebut dengan mengubah UU Pemberantasan Tipikor.

Sebab, bukan tidak mungkin maraknya praktik tindak pidana suap karena sanksi pemidanaan rendah yang malah tak menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Hanya saja, dalam draf RKUHP, khususnya pasal yang berkaitan dengan pemberi suap, seperti Pasal 610 ayat (1) masih mengikuti ketentuan lama tanpa disertai pemberatan, hanya maksimal hukuman 3 tahun penjara.

“Ini menandakan pembentuk UU tetap mengikuti pola lama tanpa ada reformulasi yang berorientasi pada pemberian efek jera,” kritiknya.

Ketiga, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, pada penjelasan Pasal 607 RKUHP menyebutkan yang dimaksud "merugikan keuangan negaraadalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan. Merujuk definisi itu, bagi pembentuk UU pihak yang berwenang menghitung kerugian keangan negara hanyalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Padahal, pembatasan aspek tersebut malah bertentangan dengan putusan MK No.31/PUU-X/2012. Dalam pertimbangan putusan MK tersebut menegaskan aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain. Bahkan pula dapat membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut.

“Dengan dasar putusan ini, menjadi jelas jika dikatakan RKUHP bertentangan dengan putusan MK tersebut,” lanjutnya.

Keempat, korupsi tidak lagi kejahatan luar biasa. Menurutnya, dalam banyak literatur, menyebutkan korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Akibat penyebutan itu, ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum. Antara lain pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum dalam UU 31/1999. Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari RKUHP. Seperti Pasal 610 ayat (2) RKUHP terkait tindak pidana suap.

“Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku,” kata dia.

Kelima, mengkriminalisasi kritik masyarakat dalam persidangan perkara korupsi. Dalam banyak proses persidangan perkara korupsi belum banyak memberi efek jera maksimal kepada pelaku. Alih-alih menghukum berat pelaku tipikor, malah rata-rata pelaku korupsi pada periode 2021 hanya diganjar hukuman 3 tahun 5 bulan penjara. Bahkan, masih ada sejumlah putusan ganjil. Mulai dari Terdakwa Juliari P Batubara, Pinangki Sirna Malasari, Nurhadi, hingga Edhy Prabowo.

Kondisi tersebut pun memantik kritik masif dari masyarakat yang menginginkan adanya hukuman yang menjerakan pelaku. Lagi-lagi sayangnya, draf RKUHP malah hendak mereduksi kritik masyarakat dengan turut menyertakan ancaman pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 280 huruf b. Karenanya bila RKUHP disahkan dan diundangkan, bukan tidak mungkin masyarakat yang mengkritik dapat diproses secara hukum.

“Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa substansi RKUHP bernuansa anti terhadap kritik dan melemahkan aspek partisipasi masyarakat. ICW mendesak agar pemerintah dan DPR segera mengeluarkan delik-delik korupsi dari RKUHP kemudian merevisi UU Tipikor,” pintanya.

Terpisah, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar menyarankan agar pembahasan RKUHP dilakukan tidak tergesa-gesa. Menurutnya, bila RKUHP dianggal sebagai kado jelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Republik Indonesia sama halnya dengan adanya konklusi mendahului analisis. Padahal, terpenting proses pembahasan RKUHP ketimbang memikirkan aspek konklusi.

“Jangan sampai penyusunan RKUHP terkesan terburu-buru. Kalau buru-buru harus 17 Agustus 2022 sudah disahkan, saya pikir itu ugal-ugalan.”

Tags:

Berita Terkait