Catatan F-PKS terhadap RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan
Terbaru

Catatan F-PKS terhadap RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan

Ada 22 catatan, mulai reformasi sektor keuangan mesti menjawab persoalan-persoalan riil yang sedang dihadapi rakyat secara luas, penting adanya aturan yang ketat bagi pengawasan keuangan dan jasa keuangan, sistem informasi perbankan yang terpadu, hingga RUU PPSK masih banyak yang perlu dilakukan pendalaman bersama.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Kelima, inovasi teknologi dan sektor digital yang berkembang cepat, perlu diatur secara tepat dan terintegrasi. Sebab, terdapat potensi risiko besar sepanjang tidak dimitigasi secara baik. Karenanya dibutuhkan pengaturan yang kokoh terkait tata kelola, integritas keuangan, manajemen risiko, keamanan dan keandalan sistem informasi. Termasuk ketahanan siber, perlindungan konsumen, serta perlindungan data pribadi.

Keenam, penting adanya aturan yang ketat bagi pengawasan keuangan dan jasa keuangan. Uang dan segala aset harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Ketujuh, pentingnya pendalaman lebih lanjut terkait pengaturan konglomerasi Keuangan. Pasalnya, konglomerasi keuangan bakal mencakup sejumlah perusahaan keuangan, dikendalikan oleh suatu kelompok tertentu, serta memiliki kekuatan modal yang besar beserta jejaring bisnisnya.

Kedelapan, masih diperlukannya penguatan aturan yang mendukung pengembangan sektor keuangan syariah dan ekosistemnya. Menjadi penting langkah tersebut dalam upaya memuwujudkan Indonesia sebagai pusat keuangan syariah global sebagaimana sudah dicanangkan oleh pemerintah. Kesembilan, pentingnya penegasan peran Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) sebagai otoritas dan kapasitas yang memadai untuk menjadi penentu kesyariahan produk dan jasa keuangan syariah.

Kesepuluh, kerangka RUU PPSK harus menutup celah adanya kemungkinan kebijakan bail-out atau penyelamatan sektor keuangan dengan keuangan negara yang bersifat tidak adil. Bagi F-PKS, skema bail-out memunculkan ketidakadilan bagi rakyat. Kesebelas, skema bail-out kerap berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998.

“Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp650 triliun ditambah dengan beban bunganya. Beban berat ini kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan,” kata dia.

Keduabelas, seharusnya antara fungsi penjaminan dana simpanan dengan penjaminan polis memiliki segregasi yang jelas. Mulai dari manajemen, pengelolaan, pencatatan sampai dengan pelaporan. Dengan demikian, bila dilakukan oleh satu institusi/lembaga dan tidak adanya segregasi yang dimaksud dapat menimbulkan permasalahan dan komplikasi lanjutan. Sebabnya, budaya bisnis antara perbankan dengan asuransi berbeda. Bila perbankan lebih memiliki kepastian (certainty) dan asuransi tidak memiliki kepastian (uncertainty).

Ketigabelas, penyelenggara program penjamin polis adalah lembaga yang terpisah dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Menurut Hidayatullah, LPS memiliki fungsi menjamin simpanan di sektor perbankan. Karenanya diperlukan lembaga lain yang memastikan penjaminan polis di sektor asuransi. Pemisahan atau kebijakan separasi ini sebagai bentuk tata kelola yang baik.

Tags:

Berita Terkait