Catatan 3 Pimpinan Peradi Terhadap Putusan MK Terkait Syarat Usia Capres-Cawapres
Utama

Catatan 3 Pimpinan Peradi Terhadap Putusan MK Terkait Syarat Usia Capres-Cawapres

Pembentukan dan/atau perubahan Peraturan KPU harus didasarkan pada UU Pemilu, bukan berdasarkan putusan MK.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kiri-kanan: Sekjen Peradi RBA Imam Hidayat, Sekjen Peradi SAI, Patra M Zein, dan Sekjen DPN Peradi pimpinan Otto Hasibuan, Hermansyah Dulaimi. Foto: Kolase
Kiri-kanan: Sekjen Peradi RBA Imam Hidayat, Sekjen Peradi SAI, Patra M Zein, dan Sekjen DPN Peradi pimpinan Otto Hasibuan, Hermansyah Dulaimi. Foto: Kolase

Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 tentang pengujian formil Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengubah syarat batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) menuai beragam pandangan. Sepertihalnya dari kalangan organisasi advokat.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Peradi Rumah Bersama Advokat (RBA), Imam Hidayat menilai materi yang diuji materil dalam permohonan pemohon terhadap Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Pasal ini dimaknai bersifat open legal policy yang didelegasikan langsung oleh konstitusi kepada pembentuk UU.

Menurut Imam, open legal policy adalah ketika UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh UU. Dengan demikian, penambahan substansi dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bukanlah wilayah kewenangan MK.

“Dengan putusan ini, MK dapat dinilai melakukan tindakan abuse of power yaitu membangkang amanat dari Pasal 6 ayat (2)  UUD1945,” ujarnya dikonfirmasi, Rabu (25/10/2023).

Baca juga:

Imam mengingatkan, secara prinsip putusan MK bersifal final and binding, tetapi terdapat proses formil dalam berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Putusan MK secara mutatis mutandis tidak dapat langsung berlaku secara hukum. Pasalnya diperlukan sebuah persetujuan perubahan UU Pemilu yang memuat putusan MK tersebut yakni mengenai penambahan syarat capres-cawapres.

Implikasi putusan 90/PUU-XXI/2023 dapat memicu sebuah konflik dan kekacauan hukum jelang pemilu 2024. Pembentukan dan/atau perubahan Peraturan KPU harus didasarkan pada UU Pemilu, bukan berdasarkan putusan MK. Lebih lanjut, Pasal 75 ayat (4) UU 7/2017 mengatur kewajiban KPU dalam pembentukan peraturan untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah melalui rapat dengar pendapat.

Jika KPU mengubah peraturan mengenai persyaratan capres-cawapres tanpa melalui prosedur konsultasi sesuai dengan Pasal 75 UU 7/2017 dengan argumen menyelaraskan norma dengan putusan MK, Imam berpendapat tindakan KPU tersebut dapat dinilai sebagai sebuah pengingkaran kepada UU serta melangkahi DPR dan pemerintah. Berakhirnya polemik ini dinilai memberikan sebuah impresi negatif dan bahkan mendegradasi maruah dan kewibawaan UUD 1945 dan MK.

“Putusan ini juga memberikan sebuah lapor merah dalam penegakan Rule of Law di Indonesia, serta berpotensi mengacaukan ketertiban hukum yang dibangun dengan perjuangan semangat reformasi,” ujar Imam.

Terpisah, Sekjen DPN Peradi pimpinan Prof Otto Hasibuan, Hermansyah Dulaimi, mengatakan organisasinya tidak menerbitkan pernyataan atau sikap resmi atas putusan MK dalam perkara 90/PUU-XXI/2023. Tapi secara pribadi, Hermansyah berpendapat putusan tersebut cacat prosedur.

Dia beralasan, Ketua MK sekaligus hakim konstitusi Anwar Usman ikut memutus perkara. Sebagaimana diketahui Anwar Usman adalah paman Gibran Rakabuming Raka yang notabene berkepentingan untuk dapat mencalonkan diri sebagai cawapres. “Menurut etika dan moral seharusnya ketua MK mengundurkan diri dari proses memeriksa perkara permohonan pengujian materil itu,” imbuhnya.

Apalagi putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga putusan itu harus diterima semua pihak. Hermansyah menilai putusan 90/PUU-XXI/2023  mengakibatkan hilangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap MK. Sebab selama ini MK dijadikan garda terdepan sebagai penjaga konstitusi.

Sementara Sekjen DPN Peradi Suara Advokat Indonesia (SAI), Patra M Zen melihat putusan 90/PUU-XXI/2023 menuai kontroversi publik karena dianggap hendak meloloskan anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka agar dapat maju sebagai kandidat capres-cawapres Pemilu 2024.

Putusan tersebut membuka peluang bagi capres-cawapres yang belum genap 40 tahun untuk bisa maju sebagai kandidat pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dengan syarat pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah. Alhasil, Gibran pun masuk kategori dalam putusan 90/PUU-XXI/2023, karena berusia 36 tahun dan saat ini menjabat kepala daerah di Solo.

Tapi persoalan usia minimum menjadi capres tak hanya terjadi di Indonesia. Patra mencatat aturan serupa juga terdapat dalam konstitusi Amerika Serikat (AS), tapi dirumuskan oleh wakil rakyat dalam debat terbuka. Dengan begitu, aturan tersebut tidaklah mudah ditafsirkan berdasarkan kepentingan politik sesaat.

Dalam konstitusi AS, diatur tegas persyaratan minimum usia untuk perwakilan federal. Minimum 25 tahun untuk Dewan Perwakilan Rakyat, 30 tahun untuk senat, dan 35 tahun minimum usia untuk jabatan presiden. “Kalau di AS, umur Gibran memang sudah memenuhi persyaratan umur untuk menjadi Presiden. Urusan dipilih atau tidak, itu urusan lain” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait