Catahu YLBHI 2018: Penyebab Pengaduan Terbanyak Kasus Perburuhan
Berita

Catahu YLBHI 2018: Penyebab Pengaduan Terbanyak Kasus Perburuhan

Ada dugaan pelanggaran HAM yang dialami buruh antara lain soal hak atas pekerjaan dan upah layak.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kantor YLBHI. Foto: SGP.
Kantor YLBHI. Foto: SGP.

Sepanjang 2018 sebanyak 15 kantor LBH yang berada di bawah naungan YLBHI menangani sekitar 3.455 pengaduan. Tercatat jenis pekerjaan pelapor mayoritas berasal dari kalangan buruh dan tingkat penghasilan pelapor sebagian besar berkisar Rp2-3 juta per bulan. Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary Herwati, mengatakan pihak yang paling banyak dilaporkan yakni perusahaan swasta.

 

Perempuan yang disapa Rakhma itu menjelaskan berbagai kasus perburuhan yang ditangani YLBHI meliputi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, perselisihan hak atas upah, dan pemberangusan serikat buruh. Bahkan, YLBHI juga menangani beberapa kasus kriminalisasi terhadap buruh.

 

Pelanggaran hak atas pekerjaan yang menimpa buruh sebagian besar terkait PHK sepihak (35 kasus); pembayaran pesangon tidak sesuai aturan PHK (29); hak untuk bekerja dan memilih pekerjaan (22); hak atas upah layak (22); hak berserikat (13); kondisi kerja tidak adil (12); jaminan sosial (10); kepastian kerja (5); keamanan dan keselamatan kerja (3); dimutasi sewenang-wenang (3); hak cuti dan istirahat (2); dan kriminalisasi (2). Dan pelanggaran jam kerja, upah lembur, dan hak buruh perempuan masing-masing 1 kasus.

 

“Pelanggaran hak atas pekerjaan kasusnya paling banyak terjadi di daerah yang berada di wilayah Indonesia bagian tengah (91 kasus),” kata Rakhma dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2018 YLBHI dan Proyeksi 2019 di Jakarta, Selasa (8/1/2019). Baca Juga: Mau Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial, Ini Saran Praktisi Hukum

 

Direktur YLBHI, Asfinawati menerangkan banyaknya kasus perburuhan yang ditangani YLBHI bersinggungan atau disebabkan maraknya perampasan tanah yang dialami masyarakat. Akibatnya, banyak masyarakat yang mencari sumber penghidupan dengan cara menjadi buruh, pekerja rumah tangga, dan buruh migran. Masalah yang dihadapi buruh semakin berat mengingat pemerintah menerbitkan kebijakan ketenagakerjaan yang tidak menguntungkan buruh. Seperti, Peraturan Pemerintah (PP) No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

 

Asfin menyebut pasal 43 ayat (1) PP Pengupahan itu mengatur penetapan upah minimum dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, ketentuan itu menjelaskan dalam menentukan upah minimum yang paling utama diperhatikan yaitu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

 

Selain itu, mekanisme penetapan upah minimum itu, Dewan Pengupahan Daerah tidak lagi masuk (operasi) ke berbagai pasar untuk melakukan survei harga kebutuhan pokok, tapi pemerintah menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS). Persoalan lain, kata dia, PP Pengupahan tentang peninjauan KHL dalam jangka waktu 5 tahun. “KHL harus mengalah pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi,” tutur Asfin.

 

Asfin menyoroti tren hubungan kerja yang diarahkan menjadi informal, tujuannya menciptakan pasar tenaga kerja lentur guna meminimalisir ongkos produksi. Tren itu dimulai sejak Maret 2003 dimana pemerintah menyepakati Letter of Intent yang disodorkan IMF. Hasilnya pemerintah dan DPR sepakat mengeluarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang melegalkan hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak, dikenal juga dengan istilah outsourcing.

 

Pekerjaan rumahan

Ditambah lagi persoalan buruh yang statusnya harian lepas atau pekerja bulanan yang dibayar dengan upah murah, kondisi kerja buruk, kesehatan dan keselamatan kerja tidak terjamin. Misalnya, buruh yang bekerja di sektor perkebunan. Ada juga bentuk hubungan kerja lain yang dibentuk berdasarkan sistem pasar kerja lentur yakni pekerja rumahan. Pekerja rumahan melakukan pekerjaan di rumah dengan target menghasilkan barang dalam jumlah tertentu.

 

“Pekerja rumahan adalah bentuk hubungan kerja yang diciptakan dengan semangat pasar kerja lentur (flexibility labour market) untuk mempermudah industri dan melipatgandakan keuntungan dengan cara mengurangi ongkos produksi,” ungkap Asfin.

 

Asfin melihat pekerja rumahan mengerjakan pekerjaannya secara bersama dengan anggota keluarga yang ada di rumah. Melalui skema ini, jam kerja menjadi tidak terbatas karena yang menjadi batasnya yakni target. Mengingat upah per barang sangat kecil, pekerja rumahan akan memaksa diri untuk menghasilkan barang dalam jumlah banyak agar upahnya menjadi cukup banyak.

 

Ironisnya, pekerja rumahan mensubsidi perusahaan yang memberi pekerjaan dengan listrik, air, dan tempat kerja disediakan oleh pekerja. “Tentu saja listrik, air, dan tempat ini tidak pernah dimasukkan dalam komponen yang harus dibayar oleh perusahaan.”

Tags:

Berita Terkait