Cara Pengusaha Jasa Konstruksi Selesaikan Sengketa
Berita

Cara Pengusaha Jasa Konstruksi Selesaikan Sengketa

Pengusaha jasa konstruksi lebih memilih penyelesaian di luar pengadilan. Nyaris tak pernah terdengar perkara jasa konstruksi yang masuk pengadilan. Padahal, masyarakat juga punya hak gugat jika dirugikan oleh pelaksanaan konstruksi.

CRU/Mys
Bacaan 2 Menit

 

Jasa konstruksi merupakan salah satu bidang yang mengenal alternative dispute resolution. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mengatur dalam satu bab mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi. Para pihak yang bersengketa boleh memilih salah satu: pengadilan atau di luar pengadilan. Pilihan itu tergantung pada kesepakatan sukarela kedua belah pihak, kata Tumpal.

 

Jika kedua pihak sepakat menyelesaikan di luar pengadilan, maka yang bisa ditangani adalah masalah yang timbul dari kegiatan pengikatan (kontrak), penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan kegagalan bangunan. Untuk menyelesaikan sengketa demikian, kedua belah pihak bisa menunjuk pihak ketiga, baik dari unsur Pemerintah maupun Aspekindo. Di Aspekindo sendiri, kata Tumpal, ada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang bisa berperan sebagai penengah.

 

Penunjukan pihak ketiga sebagai penengah dapat diatur sebelum pelaksanaan konstruksi berlangsung, dalam arti pada taraf penandatanganan kontrak kerja konstruksi. Atau, ditunjuk setelah terjadi sengketa. Kalau penunjukan dilakukan setelah timbul sengketa, maka penunjukan pihak ketiga harus dituangkan ke dalam akte tertulis. 

 

Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 sebenarnya merujuk mekanisme arbitrase dan model alternative dispute resolution lainnya. Pada bagian penjelasan pasal 37 ayat (2) dipertegas lagi bahwa arbitrase yang dipakai bisa berupa lembaga permanen, bisa pula yang sifatnya ad hoc. Bisa lembaga arbitrase lokal, atau internasional. Selain arbitrase, UU Jasa Konstruksi tersebut juga memungkinkan sengketa konstruksi diselesaikan lewat mediasi, konsiliasi, atau bantuan penilai ahli.  

 

Yang jelas, kata Tumpal, pengusaha cenderung menghindari kasusnya dibawa ke pengadilan. Penyelesaian lewat mediasi atau alternatif lain dinilai lebih menekankan pada pendekatan kekeluargaan. Penyelesaian di luar pengadilan mungkin dipercaya lebih sempurna menghasilkan win-win solution. Kalau di pengadilan kan pasti ada yang dikalahkan ada yang dimenangkan, pungkas Tumpal.

 

Nazarkhan Yasin juga mencatat dalam bukunya bahwa selama bertugas menangani klaim konstruksi dan sengketa konstruksi, tidak kurang dari 15 kasus yang diselesaikan lewat Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan beberapa kali melalui arbitrase yang sifatnya ad hoc.

Tags: