Cara Lucas ‘Melawan’ KPK
Utama

Cara Lucas ‘Melawan’ KPK

Kuasa hukum Lucas, Wa Ode Nur Zainab membantah yang dilakukan kliennya bukanlah strategi untuk melawan KPK, tetapi memang sesuai fakta sebenarnya.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Lucas berompi oranye saat di gedung KPK. Foto: RES
Lucas berompi oranye saat di gedung KPK. Foto: RES

Lucas, advokat yang menjadi tersangka karena diduga membantu kabur mantan Presiden Komisaris Lippo Group ini mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Namun permohonan itu tidak lama karena langsung dicabut oleh pihak Lucas sendiri.

 

Humas PN Jakarta Selatan Achmad Guntur membenarkan adanya pencabutan permohonan praperadilan tersebut. Menurutnya, dalam permohonan praperadilan, Lucas tidak langsung bertindak sendiri, tetapi melalui kuasa hukumnya. “Melalui PH (Penasihat hukum),” kata Guntur saat dikonfirmasi Hukumonline, Senin (22/10/2018).

 

Surat permohonan pencabutan praperadilan sendiri diterima PN Jakarta Selatan pada Jumat (19/10). Alasannya, karena ada perubahan dan penambahan terhadap materi permohonan praperadilan. Dengan alasan ini, kemungkinan besar pendiri kantor hukum Lucas S.H. and Partners itu akan kembali mengajukan permohonan praperadilan.

 

Lucas tak hanya mengajukan permohonan praperadilan sebagai bentuk perlawanan terhadap KPK. Dalam proses penyidikan pada 4 Oktober 2018, Lucas juga tidak mau diambil contoh suara oleh tim penyidik KPK.

 

“Penyidik membuat berita acara penolakan karena tersangka kembali menolak menandatangani berita acara tersebut. Sesuai hukum acara yang berlaku, penyidik membuat Berita Acara penolakan penandatanganan atas berita acara penolakan pengambilan sampel suara tersebut,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah ketika itu.

 

Pada 10 Oktober 2018, KPK kembali memeriksa Lucas. Tetapi, ia mengeluh sakit dan enggan diperiksa penyidik. Febri mengatakan pihaknya tidak akan bergantung pada pengakuan ataupun sangkalan. Materi pemeriksaan ketika itu selain mengkonfirmasi sejumlah hal seperti kronologis dan peran tersangka, juga mendengar dan memberi ruang bagi tersangka untuk bicara.

 

Pada 20 Oktober 2018, KPK mengumumkan perpanjangan penahanan terhitung mulai 21 Oktober 2018 selama 40 hari ke depan. “Kemarin, selain secara formil dilakukan perpanjangan penahanan 40 hari tersebut, karena tersangka mengeluh sakit, maka dilakukan pemeriksaan oleh dokter KPK. Menurut dokter, hasilnya fit to be questioned. Pemeriksaan tetap tidak bisa dilanjutkan karena keluhan sakit tersebut,” terang Febri.  

 

Selanjutnya pada Senin 22 Oktober, KPK menghadapi sidang perdana permohonan praperadilan yang diajukan Lucas, meskipun belakangan diketahui permohonan itu dicabut. KPK sebenarnya telah meminta penundaan dengan alasan rentang waktu pemanggilan hanya berselang dua hari kerja. Padahal KPK harus mempersiapkan saksi, ahli, surat/administrasi dan bukti lain.

 

“KPK telah mengirimkan surat ke Ketua PN Jaksel cq Hakim Praperadilan untuk penundaan sidang. Kami harap hal tersebut dapat dipertimbangkan agar didapatkan hasil yang lebih maksimal dalam penanganan perkara ini,” kata Febri. Baca Juga: Lucas Bersikukuh Tidak Bersalah

 

Lazim dilakukan

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan cara seperti itu memang lazim dilakukan oleh para tersangka kasus korupsi. “Ya memang seperti itu, tujuannya kan untuk memperlambat proses penyidikan,” ujar Adnan kepada Hukumonline.

 

Adnan mengingatkan ada konsekuensi bagi para tersangka termasuk Lucas apabila tidak bersikap kooperatif. Berkaca pada perkara kasus merintangi penyidikan yang melibatkan advokat Fredrich Yunadi dan juga kasus suap PTUN Medan yang melibatkan Otto Cornelis Kaligis, keduanya dianggap tidak kooperatif sehingga dituntut cukup berat.

 

Fredrich misalnya dituntut maksimal yaitu 12 tahun, meskipun putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukumnya dengan pidana penjara selama 7 tahun. KPK menganggap putusan itu belum memenuhi rasa keadilan sehingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

 

Sedangkan Kaligis dituntut 10 tahun, walaupun putusannya pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) MA menghukum selama 7 tahun. Diketahui hukuman OC Kaligis pada pengadilan tingkat pertama divonis 5,5 tahun penjara, pengadilan tinggi 7 tahun, tingkat kasasi 10 tahun, dan pada PK menjadi 7 tahun.

 

“Itu ada konsekuensinya, bisa jadi pertimbangan memberatkan, tergantung dari penyidik ataupun penuntut umum nanti,” jelas Adnan.

 

Pada proses penyidikan, Fredrich diketahui pernah menolak perkaranya dilimpahkan ke tahap penuntutan., tetapi KPK tidak bergeming dan tetap melimpahkan kasus ini hingga akhirnya disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

 

Sementara OC Kaligis berkali-kali menolak diperiksa penyidik. Dalam surat yang dibawa kuasa hukumnya, OC Kaligis beralasan dirinya tidak mempunyai beban pembuktian. Ia pun meminta segera diadili agar ada putusan pengadilan yang menyatakan dirinya memang benar bersalah atau sama sekali tidak terlibat dalam perkara ini.

 

Sesuai keadaan

Dikonfirmasi terpisah, kuasa hukum Lucas, Wa Ode Nur Zainab mengatakan apa yang dilakukan kliennya bukanlah strategi untuk melawan KPK, tetapi memang sesuai fakta sebenarnya. Ia menjelaskan satu per satu alasan kliennya kerap menolak diperiksa penyidik hingga pengajuan permohonan praperadilan yang kembali dicabut untuk diperbaiki.

 

Terkait penolakan contoh suara, Wa Ode tidak mengetahui persis hal tersebut karena ketika itu belum mendampingi Lucas sebagai kuasa hukum. Namun, ia yakin Lucas mempunyai alasan sendiri mengapa menolak pengambilan contoh suara pada awal Oktober 2018 lalu.

 

Sama halnya ketika pada pemeriksaan 10 Oktober 2018, Wa Ode juga tidak mengetahui secara persis, ia baru ikut mendampingi pada pemeriksaan 20 Oktober 2018 kemarin. “Sakit pertama saya enggak tahu, tapi yang pasti hari Jumat kemarin saya dampingi Pak Lucas menderita penyakit yang harus minum obat yang efeknya pusing dan mual. Obat itu tidak boleh berhenti karena kalau berhenti harus mengulang lagi dari awal. Adik kandung saya juga mempunyai penyakit itu jadi saya tahu persis,” kata dia.

 

Dia mengakui ketika itu memang penyidik mendatangkan dokter untuk memeriksa Lucas. Tetapi yang diperiksa itu hanyalah tekanan darahnya yang memang normal, sehingga penyidik memutuskan seharusnya Lucas bisa menjalani proses pemeriksaan. Padahal menurutnya, dokter sendiri mengatakan tidak ada korelasi antara tekanan darah dan sakit mual atau pusing yang diakibatkan oleh obat yang dikonsumsi oleh Lucas.

 

Atas dasar ini, ia membantah Lucas selama ini mengatur strategi dengan mengulur-ulur waktu pada proses penyidikan. “Memang pemeriksaan dokter tekanan darah baik, tekanan darah saja. Makanya tidak bisa dilanjutkan, percuma kalau dipaksakan, kan pertanyaan pertama apa Saudara sehat jasmani rohani? Jasmani tidak saya pusing mual, rohani juga tidak karena tidak fokus karena tekanan. Ini conditional, bukan strategi, memang keadaannya seperti itu,” klaimnya.

 

Sedangkan mengenai pencabutan permohonan praperadilan sendiri menurut Wa Ode semata-mata karena memang perlu perbaikan. Pihaknya kemungkinan besar akan kembali mengajukan permohonan serupa kepada PN Jakarta Selatan. Sebab, ada dua hal utama yang terlihat ganjil pada proses penetapan kliennya sebagai tersangka.

 

Pertama, mengenai kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor. “Pasal 21, kewenangan masuk tindak pidana lain bukan korupsi. Di UU Pemberantasan Tipikor masuknya Bab III tindak pidana lain, sementara KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan tipikor,” dalihnya.

 

Kedua, ia mempertanyakan alat bukti yang digunakan KPK menjerat kliennya. Sebab selama ini menurut Wa Ode Lucas berkali-kali menanyakan apa alat buktinya higga dirinya bisa ditetapkan sebagai tersangka menghalangi penyidikan. Penyidik, kata Wa Ode, tidak pernah menunjukkan hal tersebut.

 

Ada juga hal lain yang cukup janggal terkait penetapan Lucas sebagai tersangka. Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) ditandatangani pimpinan pada hari yang sama dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). “Lalu kapan proses penyelidikannya? Ini kan menjadi pertanyaan,” kata Wa Ode.

 

Terkait perkaranya sendiri, Wa Ode mengklaim kliennya sama sekali tidak terkait dengan Lippo Group dan tidak pernah menjadi kuasa hukum perusahaan tersebut. Ia juga tidak terlalu mengenal Eddy Sindoro, mantan Presiden Komisaris Lippo Group yang dianggap KPK ada peran Lucas pada saat ia melarikan diri ke luar negeri.

Tags:

Berita Terkait