Nikah siri merupakan perkawinan di bawah tangan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum atau syariat Islam dan tidak dilakukan di depan Pegawai Pencatat Nikah, sehingga nikah siri sah secara agama namun belum sah secara hukum negara.
Dengan tidak dilakukannya pencatatan, maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal ini akan membawa akibat hukum yaitu tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum atas hak istri dan anak hasil dari pernikahan siri.
Hal tersebut juga berlaku jika ingin melakukan gugatan cerai, tidak ada lembaga negara yang bisa menanganinya dan memberi perlindungan atas hak istri dan hak anak yang berada dalam pernikahan siri.
Baca Juga:
- Pembatalan Perkawinan dalam Hukum
- Anak Hasil Perkawinan Siri Berhak Menjadi Ahli Waris? Ini Penjelasan Hukumnya
Pernikahan siri memiliki sejumlah konsekuensi hukum yang dapat merugikan pasangan, khususnya istri dan anak yang dihasilkan. Mulai dari tidak adanya pengakuan hukum atas perkawinan hingga tidak dapat menyelesaikan sejumlah perkara seperti pembagian harta bersama, hak suami dan isteri, hak anak dalam nafkah maupun kewarisannya.
Secara hukum, anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Untuk itu, perkawinan seharusnya dilakukan secara resmi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan, Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitṣāqān ghalīdhān untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakan ibadah.