Cara Advokat Terhindar dari Kejahatan Pencucian Uang
Utama

Cara Advokat Terhindar dari Kejahatan Pencucian Uang

Advokat, profesi hukum, profesi terkait harus melaporkan indikasi TPPU ke PPATK. Karena itu, penting bagi advokat menerapkan prinsip mengenal klien lebih mendalam agar terhindar segala bentuk kejahatan termasuk TPPU.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Hendronoto Soesabdo, Partner AFHS Law Firm saat menjadi narasumber dalam Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagai Bentuk Identifikasi Transaksi Mencurigakan dalam Pencegahan TPPU” di Jakarta, Kamis (20/9). Foto: RES
Hendronoto Soesabdo, Partner AFHS Law Firm saat menjadi narasumber dalam Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagai Bentuk Identifikasi Transaksi Mencurigakan dalam Pencegahan TPPU” di Jakarta, Kamis (20/9). Foto: RES

Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau money laundering masih minim terungkap di Indonesia. Padahal, efek kerugian negara akibat aksi TPPU jauh lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana asalnya, seperti kasus korupsi, perdagangan narkotika, dan kegiatan bisnis ilegal lainnya yang semakin marak akhir-akhir ini.    

 

Belum lagi, modus pelaku tindak pidana money laundering ini seringkali menggunakan pihak lain untuk merekayasa aliran dana dari kegiatan bisnis ilegalnya seolah-olah menjadi sumber dana halal. Tak jarang profesi yang seharusnya menjadi penegak hukum, seperti advokat masuk dalam pusaran aksi tindak pidana ini. Sebab, kompetensi advokat dapat disalahgunakan untuk menutupi kejahatan ini hanya demi kepentingan klien.

 

Persoalan ini diungkapkan Ketua Kelompok Analisis Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis dari Transaksi Keuangan (PPATK), Azamul Fadli Noor dalam acara Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagai Bentuk Identifikasi Transaksi Mencurigakan dalam Pencegahan TPPU” di Jakarta, Kamis (20/9/2018).

 

Lawyer punya peran strategis di sini (TPPU). Apakah dia ingin sebagai pelaku atau posisi yang dimanfaatkan kliennya atau ingin menjadi pelapor? Bisa jadi ada lawyer yang berpikiran tidak mau melaporkannya karena takut kehilangan klien,” kata Azamul. Baca Juga: KPK Tetapkan Korporasi Pertama Tersangka Pencucian Uang

 

Tingginya potensi profesi hukum termasuk advokat terlibat dalam aksi tindak kejahatan money laundering tercantum dalam Peraturan Kepala PPATK Nomor Per-02/1.02/PPATK/02/15. Dalam Pasal 5 Peraturan Ketua PPATK itu disebutkan advokat, serta profesi lain seperti kurator, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, perencanaan keuangan atau konsultan pajak, dan karyawan yang bekerja pada kantor profesi tersebut memiliki berpotensi tinggi terlibat dalam TPPU.

 

Azam beralasan potensialnya advokat terlibat TPPU karena salah satu profesi yang dapat menjadi penerima kuasa dari pelaku utama kejahatan money laundering. Bahkan, Azam mengungkapkan advokat yang terlibat dalam TPPU bisa mengatur aliran dana agar tidak terindikasi kegiatan ilegal. “Lawyer bisa mengurus pembuatan perusahaan-perusahaan baru supaya tidak dicurigai,” ungkap Azam.

 

Karena itu, dia mengingatkan ketika advokat mendapat kuasa menangani perkara korupsi sekaligus TPPU dan terindikasi terlibat aksi kejahatan ini diminta untuk segera melaporkan kepada PPATK. Jika tidak, advokat yang bersangkutan dapat dipidana karena dianggap terlibat dalam aksi kejahatan ini. “Advokat tidak dapat dikenakan sanksi apabila melaporkan aksi pidana kliennya,” kata dia.      

 

Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU menyebutkan “Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000 (satu miliar rupiah).

 

Sementara Pasal 5 ayat (2) UU itu menyatakan “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

 

“Justru ini kesempatan bagi lawyer agar tidak takut-takut karena terima honor dari kliennya selama dia menemukan transaksi keuangan mencurigakannya dia laporkan ke PPATK. Pada dasarnya, itu (penerimaan klien) adalah bisnis. Karena sudah lapor, lawyer dapat imunitas,” kata Azam menerangkan.

 

Pentingnya prinsip mengenal klien

Sementara itu, Partner dari Kantor Hukum Aprilda Fiona Hendronoto Soesabdo (AFHS), Hendronoto Soesabdo menjelaskan advokat memiliki kewajiban menjaga kerahasiaan data setiap klien. Dalam UU No.18/2003 tentang Advokat sendiri telah mengatur secara tegas mengenai client secrecy.

 

Pasal 19 ayat (1) UU Advokat disebutkan advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya. Ayat (2)-nya disebutkan advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien. Termasuk, perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat.

 

Hanya saja, menurutnya kerahasiaan hubungan dengan klien tidak berlaku saat lembaga penegak hukum meminta advokat ataupun kantor hukumnya mengungkap data-data sehubungan dengan dugaan TPPU. “UU Advokat memberi kerahasian data (klien) pada advokat. Tapi kalau berkaitan dengan TPPU tidak berlaku,” kata Hendronoto yang juga menjadi salah satu pemateri dalam diskusi ini.

 

Untuk itu, Hendronoto meminta kepada setiap advokat maupun kantor hukum untuk menerapkan prinsip know your customer (KYC) atau mengenal profil kliennya secara mendalam. Hal tersebut diperlukan agar advokat dapat terhindar dari segala bentuk kejahatan temasuk kejahatan TPPU.

 

Sebab, dia menilai selama ini praktiknya kantor hukum seringkali mengabaikan prinsip KYC. Demi memperoleh fee jasa yang diberikan, kata dia, advokat dan kantor hukum tidak mempedulikan sumber dana kliennya tersebut. “Tantangannya adalah kebutuhan uang cepat. Advokat berpikir klien mana ajalah yang penting (uang) masuk dulu. Ada saja godaan seperti ini,” jelas Hendronoto.

 

Ada berbagai cara memitigasi (mencegah) risiko agar advokat dan kantor hukum terhindar dari keterlibatan TPPU. Salah satunya menurut Hendronoto advokat dan kantor hukum harus memastikan kepatuhan dan disiplin dalam proses penyaringan klien. Kemudian, harus ditanamkan pikiran bahwa institusi tidak kebal terhadap kejahatan pencucian uang.

 

“Lalu, harus mengenali sumber daya manusia dan gencar mensosialisasikan prinsip-prinsip anti TPPU secara berkala.”

 

Hendronoto menambahkan selain risiko hukum, terdapat risiko reputasi dan operasional bagi advokat dan kantor hukum yang terlibat dalam TPPU. “Reputasi dari masyarakat akan hilang baik dari dalam dan luar negeri, sehingga nantinya berdampak terhadap kegiatan operasional (kantor hukum yang bersangkutan),” katanya.

Tags:

Berita Terkait