Capim dari Internal KPK Curhat Soal Pimpinan yang Birokratis
Berita

Capim dari Internal KPK Curhat Soal Pimpinan yang Birokratis

Pergeseran pada pimpinan KPK terjadi selepas usainya jabatan pimpinan KPK jilid pertama.

CR19
Bacaan 2 Menit
Capim KPK, Sujanarko saat seleksi wawancara di Jakarta. Foto: RES
Capim KPK, Sujanarko saat seleksi wawancara di Jakarta. Foto: RES

Salah satu calon pimpinan (capim) KPK dari unsur internal, Sujanarko mengeluarkan curahan hatinya di depan panitia seleksi (pansel) KPK saat menjalani seleksi wawancara. Sujanarko mengatakan, ada pergeseran yang terjadi pada pimpinan KPK, khususnya selepas usainya jabatan pimpinan KPK jilid pertama.

Hal ini diutarakan Sujanarko saat menanggapi pertanyaan dari salah satu Anggota Pansel KPK, Supra Wimbarti. Menurut Sujanarko, pimpinan KPK jilid pertama begitu rendah hati. “Orang KPK itu harus belajar rendah hati baik internal harusnya juga dilakukan itu. Pimpinan juga harusnya datang ke bawah tepuk pundak, ngopi bareng, itu yang kurang,” katanya di Gedung Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta, Rabu (26/8).

Menurutnya, perubahan yang terjadi selepas pimpinan jilid pertama mengenai prinsip kerja yang paperless. Pada pimpinan jilid pertama, prinsip kerja paperless itu diterapkan, namun di pimpinan berikutnya KPK dijadikan sebuah lembaga yang sangat birokratis. “Semua pakai paper dan itu mulai muncul kendala. Paperless itu bertujuan mempercepat informasi,” katanya.

Ia mengatakan, berubahnya prinsip dari paperless menjadi base paper, sejak saat itu KPK mulai mengalami berbagai kendala khususnya di bidang komunikasi. Menurutnya, ke depan KPK perlu mengembalikan cara kerja yang dahulu dilakukan oleh para pimpinan KPK jilid pertama.

“Ke depan dikembalikan ke ruh awal bahkan komunikasi KPK di seluruh bidang itu bisa dipercepat dengan cara Informasi teknologi,” kata pria yang menjabat Direktur Jaringan Pembinaan Kerja Antar Komisi dan Instansi KPK ini.

Selain masalah pimpinan KPK yang telah bergeser prinsip kerjanya, lanjut Sujanarko, kelemahan lain di institusi dia bekerja itu mengenai tipisnya halaman kode etik. Sehingga, banyak hal yang tidak diratur di internal tubuh lembaga antirasuah itu. Padahal, jika dibandingkan dengan kode etik milik KPK negara lain, ketebalan halaman kode etik milik KPK Indonesia masih sangat tipis.

“Jadi harusnya orang kalau membaca kode etik itu tidak ada lagi multi persepsi. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” kata Sujanarko.

Selain tipis, ia menambahkan, idealnya dalam kode etik tidak ditemukan lagi penafsiran atau multi tafsir. Sehingga, setiap pegawai sampai pimpinan di KPK tidak keliru memahami kode etik yang mengatur. Bahkan, yang mengejutkan lagi adalah tidak semua pegawai dan pimpinan KPK mengetahui dan memahami kode etik di KPK tersebut.

Misalnya, ada sejumlah pegawai KPK baru tahu kalau dirinya melanggar kode etik ketika dia dipanggil oleh Dewan Etik KPK. Bahkan, pimpinan KPK sekalipun juga baru mengetahui bahwa dia melanggar etik ketika di sidang oleh Komisi Etik. “itu celaka banget. Harusnya sebelum masuk di proses persidangan etika, insan KPK itu sudah harus clear mengetahui apa yang boleh atau tidak,” jelasnya.

Untuk itu, Sujanarko menilai, agar kode etik seharusnya selain perlu diatur secara detil dan mendalam, kode etik KPK perlu dilakukan revisi. Dia usul bahwa kode etik seharusnya menjadi dokumen hidup yang setiap waktu bisa dilakukan perubahan. “Bahkan kode etik itu seharusnya dokumen hidup, bisa setiap tahun dilakukan revisi, ditambah apa yang boleh atau tidak, harusnya seperti itu,” imbuhnya.

Bukan hanya masalah kode etik, isu independensi di KPK juga menjadi kelemahan tersendiri bagi lembaga tersebut. Ke depan, Sujanarko berharap, ke depan KPK bisa tunduk kepada politik hukum negara. Sebab selama ini banyak sekali yang salah mengartikan arti independensi di tubuh KPK. Independensi di tubuh KPK itu seharusnya diartikan dengan ketundukan KPK terhadap apa yang disepakati oleh negara.

“Ada yang salah mendefinisikan independensi soal KPK. Menurut banyak orang, tugas di KPK itu bersifat independen, menurut saya tidak. KPK harus tunduk terhadap politik hukum negara bahkan KPK harus tunduk terhadap apapun yang disepakati negara terkait dengan APBN, RPJM, dan Strasnas,” tuturnya.

Persoalan lain yang diungkap Sujanarko mengenai kinerja KPK. Menurutnya, selama 12 tahun KPK berdiri, seringkali bekerja dan berjalan sendirian dalam upaya pemberantasan korupsi. Ke depan, ia mengusulkan agar KPK bisa menggandeng Kementerian/Lembaga lainnya semisal Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan serta Bappenas.

“Ke depan KPK perlu sekali mengkonsolidasikan seluruh programnya terkait dengan politik hukum negara,” paparnya.

Selain itu, kata Sujanarko, di internal KPK masih ada yang belum paham mengenai koordinasi dan supervisi. Bahkan, ada yang menilai kedua hal tersebut diartikan sama. Padahal, sesuai UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur kedua hal tersebut pada pasal yang berbeda.

“Pasal koordinasi itu terkait dengan desain sedangkan supervisi adalah kewenangan inspection. Jadi saya tidak nyaman di lingkungan KPK ada istilah Korsup karena itu dua kewenangan yang berbeda,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait