Capai 173 Ribu Perkara, Bantuan Hukum untuk Masyarakat Marginal Masih Belum Merata
Berita

Capai 173 Ribu Perkara, Bantuan Hukum untuk Masyarakat Marginal Masih Belum Merata

Tercatat ada 173 ribu perkara litigasi dan non litigasi yang mendapat bantuan hukum pada periode tahun 2016-2018.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Acara pemberian penghargaan probono kepada lawfirm oleh Hukumonline. Foto: RES
Acara pemberian penghargaan probono kepada lawfirm oleh Hukumonline. Foto: RES

UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) mengatur bahwa Organisasi Bantuan Hukum (OBH)  yang lulus verifikasi dan akreditasi berhak menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan bantuan hukum. Tidak hanya lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan, kantor hukum profesional pun berpeluang mendapatkan pendanaan. Sayangnya, skema dan anggaran bantuan hukum untuk masyarakat marginal yang disediakan pemerintah masih belum merata dan memenuhi kebutuhan.

 

Menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto, program bantuan hukum telah berhasil menyelesaikan ratusan ribu perkara litigasi dan non litigasi pada periode tahun 2016-2018. “Di tahun 2016 sekira 34 ribu perkara baik litigasi maupun non litigasi, kemudian tahun 2017 meningkat menjadi 49 ribu perkara, dan di tahun 2018 meningkat cukup tajam sekira 90 ribu perkara,” katanya dalam konferensi pers di Kementerian Hukum dan HAM, Jumat (4/12) lalu.

 

Jumlah total perkara bantuan yang didanai pemerintah periode tahun 2016-2018 mencapai 173 ribu perkara litigasi dan non litigasi. Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers yang menjadi anggota panitia verifikasi dan akreditasi OBH, mengatakan perkara yang dominan adalah perceraian dan narkotika. Dilansir dari laman dari Sistem Informasi Database Bantuan Hukum (SIDBANKUM) di https://sidbankum.bphn.go.id, BPHN mengumumkan bahwa ratusan ribu perkara tersebut menyerap Rp46.703.600.600 atau sekira 96 persen anggaran bantuan hukum periode 2016-2018. Masih tersisa anggaran Rp1.742.999.400 yang tidak terpakai. BPHN mendapatkan tambahan anggaran menjadi 53M untuk periode tahun 2019-2021 mendatang.

 

(Baca juga: Ada Syaratnya Jika Kantor Hukum Profesional Ingin Didanai Pemerintah)

 

Saat ini tercatat 524 OBH yang ada dalam daftar pendanaan pemerintah untuk menyalurkan 53M dana bantuan hukum tersebut. Selain di Kalimantan Utara, 524 OBH ini tersebar di 33 provinsi Indonesia dari Aceh hingga Papua. Daftar nama, nomor telepon, dan alamat lengkap untuk dihubungi tertera dalam lampiran Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.HH-01.HN.07.02 Tahun 2018 tentang Lembaga/Organisasi Bantuan Hukum yang Lulus Verifikasi dan Akreditasi sebagai Pemberi Bantuan Hukum Periode Tahun 2019-2021.

 

Choky Risda Ramadhan, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, sebagai salah satu anggota panitia verifikasi dan akreditasi OBH mengakui bahwa sebaran OBH ini tidak berhasil merata di 514 wilayah Kabupaten dan Kota se-Indonesia. “Kami mengacu standar yang ada dan tidak memaksakan OBH di seluruh Kabupaten dan Kota diloloskan apabila tidak sesuai standar,” kata Choky.

 

Selain UU Bantuan Hukum, ada beberapa regulasi yang mengatur lebih lanjut soal standar pelaksanaan bantuan hukum. Calon OBH yang ingin lulus verifikasi dan akreditasi bisa mempelajari PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP Bantuan Hukum), Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan (Permenkumham Akreditasi OBH), Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 10 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum jo. Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 63 Tahun 2016 (Permenkumham Bantuan Hukum), Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.HN.03.03 Tahun 2017 tentang Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non Litigasi (Kepmenkumham Dana Bantuan Hukum).

 

(Baca juga: Pemerintah Sediakan 53 Miliar untuk Bantuan Hukum Masyarakat Marginal 2019-2021)

 

Berdasarkan acuan standar tersebut, panitia verifikasi dan akreditasi bekerja dengan Petunjuk Pelaksanaan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No. PHN-HN.04.03-09 Tahun 2018 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Pemberi Bantuan Hukum Serta Perpanjangan Sertifikasi (Juklak BPHN). Verifikasi dilakukan dengan memeriksa dokumen dan pemeriksaan faktual terhadap permohonan registrasi, dokumen, dan persyaratan lainnya yang ditentukan. Jika lolos, akan dilanjutkan akreditasi dengan mengklasifikasikan OBH berdasarkan ketentuan berikut:

a. Jumlah kasus litigasi yang ditangani terkait dengan orang miskin;

b. Jumlah kegiatan non litigasi;

c. Jumlah advokat dan paralegal yang dimiliki;

d. Pendidikan formal dan non formal yang dimiliki advokat dan paralegal;

e. Pengalaman dalam menangani atau memberikan bantuan hukum;

f. Jangkauan penanganan kasus;

g. Status kepemilikan dan sarana prasarana kantor;

h. Usia atau lama berdirinya OBH;

i. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

j. Laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi;

k. Nomor Pokok Wajib Pajak OBH; dan

l. Jaringan yang dimiliki OBH.

Sumber : Juklak BPHN

 

Hasil klasifikasi OBH dijadikan dasar untuk memberi kategori A, B, atau C yang mempengaruhi pendanaan yang berhak didapatkan dari pemerintah. Berdasarkan penilaian, 192 OBH yang baru pertama kali lolos verifikasi dan akreditasi untuk periode 2019-2021 masuk kategori C. Sedangkan dari 332 OBH lama yang lolos akreditasi ulang masing-masing ada 9 OBH dengan kategori A, 63 OBH dengan kategori B, dan 260 OBH dengan kategori C. Dengan mengacu kategori, OBH harus memberi bantuan hukum tiap tahun sesuai jatah maksimal perkaranya. Besaran pendanaan akan dicairkan per perkara yang ditangani tersebut.

 

Pemberi Bantuan Hukum kategori A memiliki:

1) Jumlah kasus litigasi yang ditangani terkait dengan orang miskin paling sedikit 1 tahun sebanyak 60 kasus;

2) Jumlah kegiatan nonlitigasi paling sedikit 7 kegiatan;

3) Jumlah advokat paling sedikit 10 orang dan paralegal paling sedikit 10 orang;

4) Pendidikan formal dan nonformal dari advokat paling rendah strata 1 dan paralegal telah mengikuti pelatihan paralegal;

5) Jangkauan penanganan kasus atau lingkup wilayah provinsi dan kabupaten/kota;

6) Status kepemilikan dan sarana prasarana kantor;

7) Kepengurusan lembaga;

8) Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

9) Laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi;

10) Nomor Pokok Wajib Pajak OBH;

11) Jaringan yang dimiliki OBH.

Pemberi Bantuan Hukum kategori B memiliki:

1) Jumlah kasus litigasi yang ditangani terkait dengan orang miskin paling sedikit 1 tahun sebanyak 30 kasus;

2) Jumlah kegiatan nonlitigasi paling sedikit 5 kegiatan;

3) Jumlah advokat paling sedikit 5 orang dan paralegal paling sedikit 5 orang;

4) Pendidikan formal dan nonformal dari advokat paling rendah strata 1 dan paralegal telah mengikuti pelatihan paralegal;

5) Jangkauan penanganan kasus atau lingkup wilayah provinsi dan kabupaten/kota;

6) Status kepemilikan dan sarana prasarana kantor;

7) Kepengurusan lembaga;

8) Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

9) Laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi;

10) Nomor Pokok Wajib Pajak OBH;

11) Jaringan yang dimiliki OBH.

Pemberi Bantuan Hukum kategori C memiliki:

1) Jumlah kasus litigasi yang ditangani terkait dengan orang miskin paling sedikit 1 tahun sebanyak 10 kasus;

2) Jumlah kegiatan nonlitigasi paling sedikit 3 kegiatan;

3) Jumlah advokat paling sedikit 1 orang dan paralegal paling sedikit 3 orang;

4) Pendidikan formal dan nonformal dari advokat paling rendah strata 1 dan paralegal telah mengikuti pelatihan paralegal;

5) Jangkauan penanganan kasus atau lingkup wilayah provinsi dan kabupaten/kota;

6) Status kepemilikan dan sarana prasarana kantor;

7) Kepengurusan lembaga;

8) Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

9) Laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi;

10) Nomor Pokok Wajib Pajak OBH;

11) Jaringan yang dimiliki OBH.

Catatan : kasus litigasi yang ditangani adalah kasus dengan rentang tahun antara tahun 2016 sampai dengan 2018.

Sumber : Juklak BPHN

Tags:

Berita Terkait