Cantolan Hukum ‘Uang Perangsang' Tidak Jelas
Berita

Cantolan Hukum ‘Uang Perangsang' Tidak Jelas

SK Uang Perangsang yang dikeluarkan Syaukani tidak memiliki cantolan hukum yang jelas. Pasalnya tidak diatur dalam APBD Kutai Kerta Negara.

Mon
Bacaan 2 Menit

 

Dari sisi bentuk peraturan, kata Hardjon, SK berisikan hal-hal yang sifatnya konkrit. Misalnya penugasan dan pengangkatan pegawai negeri. Sementara hal-hal yang sifatnya mengatur harus dituangkan dalam keputusan yang berlaku secara umum. Bukan untuk orang-orang tertentu saja.

 

Kebijakan itu, menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kukar, Fathan Djunaedi di Pengadilan Tipikor sebelumnya, dimaksudkan agar aparat di daerah lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerja sehingga target pendapatan daerah tercapai.

 

Ahli keuangan BPKP, Siswo Siswanto menyatakan pembagian uang perangsang tidak bisa dibenarkan. Jika terkait dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi), seorang pegawai tidak perlu diberi ‘perangsang' untuk bekerja, tegasnya saat bersaksi pekan lalu. Sebab, pegawai sudah menerima gaji atas apa yang menjadi kewajiban mereka.

 

Selain itu, produk hukum kepala daerah tidak bisa berdiri sendiri tanpa cantolan dari peraturan diatasnya. Peraturan bupati merupakan bentuk delegated legislation, terang Hadjon. Sementara tidak ada Perda yang mengamanatkan Syaukani untuk membuat SK uang perangsang. Kalau tidak ada perintah dari Perda berarti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tegasnya.

 

Masalahnya, DPRD Kutai tidak pernah protes terhadap kebijakan Syaukani tersebut. Padahal surat itu telah ditembuskan kepada DPRD dan Gubernur Kalimantan Timur. Tembusan itu, kata Hadjon, sebagai bentuk pemberitahuan dalam rangka pengawasan dari DPRD kepada Kepala Daerah. Hardjon menegaskan jika DPRD no comment atas produk hukum yang dibuat kepala daerah, maka produk hukum itu dianggap berlaku dan sah.

 

Dalam surat dakwaan Syaukani terungkap  bahwa anggota DPRD setempat justru kecipratan uang perangsang. Dari 1,5 persen dari dana perimbangan, prosentase penerimaan anggota DPRD mencapai 4 persen, Ketua dan Wakil Ketua DPRD sebesar 3,5 persen. Prosentase penerimaan Syaukani sendiri paling besar, mencapai 25 persen.

 

Hadjon menegaskan meskipun orang tidak bisa dipidana karena membuat undang-undang, proses legislasi harus bersih.. Jika ada gratifikasi dalam memuluskan undang-undang bisa ditarik sebagai pelaku tindak pidana, termasuk pemberi gratifikasi, tegasnya.

 

Tags: