Calon Hakim Agung Dukung KY Periksa Putusan Hakim
Berita

Calon Hakim Agung Dukung KY Periksa Putusan Hakim

Seorang calon hakim agung berpendapat hakim berlatarbelakang suku Jawa harus menanggalkan sifat tepo seliro.

ASH
Bacaan 2 Menit
Suasana seleksi wawancara calon hakim agung di Gedung KY. Foto: Sgp
Suasana seleksi wawancara calon hakim agung di Gedung KY. Foto: Sgp

Calon hakim agung (CHA), Tumpak Situmorang mengatakan hakim yang masih doyan terima uang suap dari pihak yang berperkara menunjukkan lemah imannya. Hal ini diutarakan Tumpak saat menjalani seleksi wawancara calon hakim agung di Gedung KY, Rabu (28/11).

“Hakim masih terima suap menunjukkan lemah imannya,” kata Tumpak saat menjawab pertanyaan panelis Suparman Marzuki.   

Dia mengingatkan menerima suap dari pihak yang berperkara adalah perbuatan dosa besar. Tetapi, manusia seringkali tidak mempedulikan itu, yang terpenting terpenuhi kebutuhannya.  

Menurut Tumpak, kehormatan seorang hakim tergambar dalam putusannya karena dari putusan itu dapat terlihat kualitas, imparsialitas, kejujuran, dan kearifan seorang hakim.

Mendengar jawaban itu, Suparman menanyakan mungkinkah suatu putusan hakim dimanipulasi. “Sangat memungkinkan seorang memanipulasi putusannya,” kata Tumpak.

Ia mencontohkan adanya sidang majelis kehormatan hakim (MKH) untuk mengadili hakim yang diduga menyimpang menunjukkan banyak hakim yang main-main dengan putusan.

“Jadi saya sepakat pendapat KY jika memeriksa hakim yang diduga melanggar kode etik melalui putusannya. Putusan itu bisa sebagai pintu masuk untuk menelusuri dugaan adanya pelanggaran kode etik,” katanya.                          

Dalam sesi wawancara calon lainnya, Prof Waty Suwarty Harjono menegaskan jika dia terpilih sebagai hakim agung, dirinya akan mengedepankan atau mendahulukan nilai kepastian hukum, selain nilai keadilan dan kemanfaatan hukum ketika menangani perkara  

“Saya akan mendahulukan kepastian hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi dibarengi nilai keadilan dan kemanfaatan,” kata Waty saat menjawab pertanyaan salah satu panelis, Johanes Djohansyah.  

Ia juga mengaku motivasinya menjadi hakim agung merupakan panggilan hati secara tiba-tiba. “Tiba-tiba saja hati saya tergerak, mau mencalonkan diri sebagai calon hakim agung,” kata kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta ini.

Kemanusiaan dan Kedinasan
Sementara itu, Sumardijatmo berpesan bahwa seorang hakim seyogyanya harus bisa membedakan hubungan kemanusiaan dan kedinasan. Hubungan kemanusiaan yang dimaksud Sumardijatmo meliputi hubungan pribadi, keluarga, dan kemasyarakatan.

“Seorang hakim dalam menjalankan tugasnya, seharusnya bisa membedakan hubungan kemanusiaan dan kedinasan, dalam arti hubungan pribadi, keluarga, kemasyarakatan sehari-hari bisa menerapkan budaya tepo seliro atau ewuh pakewuh,” papar hakim yang sempat menjadi PNS Kementerian Keuangan ini.

Mendengar jawaban itu, Imam memberi pandangan bahwa orang Jawa dianggap tidak cocok atau kurang pas jika menjadi hakim karena adanya budaya ewuh pakewuh itu. Menurut Sumardijatmo, budaya tepo seliro (tenggang rasa) dan ewuh pakewuh (menjaga hubungan baik) yang dikenal dalam masyarakat Jawa sudah saatnya ditinggalkan dalam hubungan kedinasan di kalangan aparat peradilan. 

“Budaya itu, seharusnya dihilangkan dalam hubungan kedinasan di kalangan hakim. Ini akan mengganggu kemandirian hakim. Makanya, hakim harus bisa memilah-milah ketika menerapkan budaya itu,” sarannya.

Saat Imam menanyakan alasan kepindahannya dari PNS Departemen Keuangan, ia mengatakan selain panggilan naluri, ayahnya adalah seorang polisi. “Saya juga lulusan fakultas hukum (Universitas Indonesia) dan memang saya senang berprofesi hakim, meski di Departemen Keuangan pendapatannya secara ekonomi lebih besar,” tutur Hakim Pengadilan Tinggi Pekan Baru ini.   

Dalam sesi wawancara berikutnya, calon hakim agung, Letkol Susiani mengomentari fenomena banyaknya tindak pidana umum yang dilakukan aparat militer diadili di pengadilan militer. Mendapati pertanyaan itu, Susiani mengakui sesuai UU TNI setiap aparat militer yang melanggar tindak pidana umum harus diadili di pengadilan umum. Akan tetapi, persoalan ini sulit dilaksanakan.   

“Sebaiknya ketika ketika ada aparat militer melanggar tindak pidana umum, diadili peradilan khusus dengan majelis hakim berasal dari militer dan sipil,” kata Dosen Metode Penelitian Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Militer Jakarta ini.       

Saat ditanya motivasi, dia beralasan keiikusertaan mencalonkan diri sebagai hakim agung lantaran ingin berperan serta dalam penegakan hukum di Indonesia. Selain itu, agar setiap pembuatan putusan dalam sebuah majelis diwarnai pendapat/pemikiran dari akademisi, selain hakim karier sendiri.

“Oleh guru besar saya juga mendorong agar menjadi hakim agung karena di MA belum banyak ahli yang paham soal desersi,” kata wanita yang desertasinya di Universitas Brawijaya ini mengulas soal desersi.

Tags: