Calon Hakim Agung Akui Sulit Bersikap Adil
Seleksi CHA:

Calon Hakim Agung Akui Sulit Bersikap Adil

Karena kerap berbenturan dengan prinsip kepastian hukum.

ASH
Bacaan 2 Menit
Calon Hakim Agung Akui Sulit Bersikap Adil
Hukumonline

KY menggelar seleksi wawancara terhadap lima calon hakim agung (CHA). Salah satu peserta CHA yang diwawancarai hakim tinggi Pengadilan Tinggi (PT) Samarinda, James Butar-Butar. Saat diwawancarai tim panel, James mengaku kesulitan menerapkan prinsip berperilaku adil dalam praktik memeriksa dan memutus perkara.

“Dari pengalaman yang saya alami, prinsip kode etik berperilaku adil yang sulit diamalkan,” kata James saat menjawab pertanyaan salah satu panelis, Eman Suparman saat wawancara terbuka seleksi CHA di Gedung KY,  Senin (22/7).

James mengatakan prinsip berperilaku adil seringkali berbenturan dengan prinsip kepastian hukum dalam memutus perkara. Padahal, prinsip kepastian hukum tetap harus diperhatikan meski terkadang penerapan kepastian hukum, belum tentu memberikan rasa keadilan masyarakat. 

Misalnya, perkara-perkara (pidana)  banding baru diterima tiga minggu setelah pernyataan banding diajukan terdakwa. Padahal, hakim (tinggi) juga terikat dengan masa tahanan terdakwa. Makanya, tak jarang hakim memutus melebihi vonis yang dijatuhkan pengadilan negeri agar masa tahanan tidak habis.  

“Kita anggap putusan sudah adil, tetapi menghadapi kondisi seperti itui mendorong kita untuk memutus pidana melebihi dari tingkat sebelumnya,” kata calon yang pernah gagal di DPR saat uji kepatutan dan kelayakan pada seleksi sebelumnya.  

Mendengar jawaban itu, Eman mengingatkan agar para hakim sedapat mungkin mengedepankan berperilaku adil ketimbang kepastian hukum. “Kalau lebih condong pada kepastian, Saudara hanya akan jadi corong undang-undang, umumnya putusannya tidak adil. Makanya, Saudara harus tanya hati nurani dan pahami kebutuhan masyarakat agar putusannya bermanfaat,” ujarnya mengingatkan.

Saat ditanya motivasinya, James menegaskan bahwa karier hakim agung adalah karier puncak seorang hakim, sehingga pada umumnya hakim ingin menjadi hakim agung walaupun penghasilannya tidak terpaut jauh dengan gajinya sebagai hakim tinggi. “Gaji saya sekarang 35 juta lebih, tidak jauh dengan hakim agung, tetapi bagi saya semangat pengabdian,” tegasnya.   

Kasus salah ketik
Calon sebelumnya, Hakim Tinggi PT Yogyakarta, Heru Iriani mengatakan kesalahan ketik dalam putusan adalah tanggung jawab majelis hakim secara keseluruhan. Jawaban itu terlontar saat Eman menanyakan pemberitaan kasus salah ketik dalam putusan kasasi kasus Supersemar yang seharusnya Rp185 miliar ditulis Rp185 juta.

“Itu kesalahan majelis hakim, walaupun pengetiknya panitera pengganti, tetapi sebagai majelis hakim harus mengecek ulang sebelum menandatangani putusan tersebut,” kata Heru Iriani. Dia mengatakan tidak ada alasan banyak perkara yang masuk ke MA dijadikan alasan adanya salah ketik putusan.

Namun, Eman mengatakan KY tidak bisa memeriksa majelis hakim kasasi kasus Supersemar ini karena semua hakim agung yang memutus telah pensiun. Kasus Yayasan Supersemar yang diputus oleh Hakim Agung Harifin A Tumpa, Dirwoto dan Rehngena.

Seperti diketahui, pemerintah Republik Indonesia menggugat Yayasan Supersemar dan Soeharto yang diwakili ahli warisnya. Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar US$420 ribu dan Rp185 miliar. Dalam perjalanannya dana tersebut yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia malah diselewengkan.

Yayasan Supersemar dianggap melawan hukum dengan mengucurkan dana rakyat yang turun melalui Peraturan Pemerintah. Supersemar yang diketuai Soeharto itu mencuri uang negara sebesar 420 ribu dolar AS dan Rp185 miliar Gugatan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana Yayasan Supersemar harus membayar negara 105 juta dolar AS dan Rp46 miliar.

Di tingkat kasasi, MA melakukan kesalahan perhitungan dalam amarnya sehingga Kejagung tidak bisa mengeksekusi Yayasan Supersemar itu. Dalam putusan yang dijatuhkan pada 28 Oktober 2010 itu, entah kenapa, Rp185 miliar berubah menjadi Rp185 juta. Sehingga denda yang seharusnya Rp 138 miliar menjadi Rp 138 juta.

Pada wawancara hari pertama, Senin (22/7), lima CHA telah diwawancarai oleh Tim Panel yang terdiri tujuh Komisioner KY dan dua orang dari luar yaitu Guru Besar FHUI Hikmahanto Juwana dan mantan Hakim Agung Atja Sondjaja. Kelima CHA yang diwawancarai hari pertama adalah Arofah Windiani (non karier), Hartono Abdul Murad (karier), Heru Iriani (karier), James Butar-Butar (karier), Khudori Aziz (karier).

Tags:

Berita Terkait