Calon DGS BI Dukung Penerapan Asas Resiprokal
Seleksi DGS BI

Calon DGS BI Dukung Penerapan Asas Resiprokal

Jika negara asal bank asing itu mengalami krisis, maka di Indonesia juga akan mengalami guncangan.

FAT
Bacaan 2 Menit
Calon DGS BI Dukung Penerapan Asas Resiprokal
Hukumonline

Komisi XI DPR melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) pengganti Darmin Nasution. Calon pertama yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan ini adalah Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara.

Dalam pemaparannya, Mirza mendukung diterapkannya asas resiprokal di sektor perbankan. Menurutnya, penerapan asas ini bertujuan agar perbankan dalam negeri menjadi lebih prudent. "Negara lain perlu lebih terbuka terhadap bank asal Indonesia atau asas resiprokal," katanya di Komplek Parlemen di Jakarta, Selasa (3/9).

Mirza mengigatkan, jika asas resiprokal diterapkan maka Indonesia harus terbuka dengan kehadiran bank asing di dalam negeri. Atas dasar itu, peran BI sangatlah besar dengan mengedepankan aspek prudential, faktor kepemilikan dan pengelolaan bank asing tersebut.

Begitu juga jika negara asal bank asing itu mengalami krisis, maka di Indonesia akan mengalami guncangan. Mirza mengatakan, prudent-nya sebuah bank penting dalam menjaga stabilitas keuangan di dalam negeri. "Misal bank nasional tidak prudent, tapi asing prudent, demi stabilitas kita pilih yang prudent," ujar Mirza.

Dia berharap, ke depan kebijakan-kebijakan BI terus mendukung pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan itu, BI juga tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

"BI perlu melakukan reposisi perannya. Sehingga, kebijakannya diharapkan bisa mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan tetap menjaga stabilitas rupiah," kata Mirza.

Atas dasar itu, BI tak harus selalu fokus dalam menekan laju pergerakan rupiah. Mirza berharap, kerjasama antara BI dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangatlah penting dalam menjaga laju inflasi.

"Perlu juga reposisi peran Kantor BI di daerah sebagai koordinator pengendali inflasi. Inflasi yang rendah sangat berkorelasi pada pertumbuhan ekonomi," katanya.

Bank Mutiara

Dalam kesempatan ini, anggota Komisi XI Dolfie OF Pailit mempertanyakan nasib PT Bank Mutiara Tbk yang hingga kini belum laku terjual. "Penjualan Bank Mutiara yang masih ada tempo satu tahun, jika belum laku dengan harga yang ditetapkan apa usul yang akan dilakukan, dijual murah atau bagaimana?," tanyanya.

Mirza mengatakan, menurut UU, LPS memiliki waktu lima tahun untuk menjual Bank Mutiara sebesar Rp6,7 triliun. Namun, jika dalam tempo lima tahun (yang akan jatuh tempo pada November 2013) Bank Mutiara belum juga terjual, maka LPS masih memiliki waktu satu tahun untuk menjual dengan harga yang terbaik.

"Di tahun keenam, tahun terakhir LPS berupaya menjual bank ini dengan harga terbaik. Dan tentunya dengan governance yang baik dengan cara yang transparan," kata Mirza.

Mendengar jawaban itu, Dolfie belum puas. "Kalau (terjual, red) di bawah Rp6,7 triliun, investasi Indonesia selama lima tahun itu mengalami kerugian?," telisiknya.

Menurut Mirza, penyertaan modal sementara LPS merupakan keputusan KSSK. Menurutnya, penyertaan modal Bank Mutiara bukan bertujuan untuk mencari untung, melainkan menyelamatkan ekonomi. Dengan kata lain, LPS akan menjual Bank Mutiara berapapun harga yang terbaik.

"Nanti bisa (terjual) di atas Rp6,7 triliun atau di bawah Rp6,7 triliun, bagi LPS itu adalah penyelamatan ekonomi," ujarnya.

Sekadar catatan, LPS menutup proses penjualan saham Bank Mutiara menyusul dua investor yang lolos tahap prakualifikasi, namun tidak memasukkan penawaran awal dan menyatakan tidak akan melanjutkan proses tersebut. Sesuai amanat Pasal 42 UU tentang LPS, LPS akan membuka kembali proses penjualan saham Bank Mutiara pada waktu yang akan ditentukan kemudian.

Tags:

Berita Terkait