Cakim Mesti Diprogram Sejak Perguruan Tinggi
Berita

Cakim Mesti Diprogram Sejak Perguruan Tinggi

Meniru di Jerman dan Jepang.

ASH
Bacaan 2 Menit
Cakim Mesti Diprogram Sejak Perguruan Tinggi
Hukumonline

Profesi hakim adalah profesi terhormat dan mulia, sehingga hakim benar-benar dituntut memiliki kapasitas yang mumpuni, selain integritas. Namun, kualitas hakim saat mengadili dan memutus perkara tak jarang dipertanyakan publik. KY sendiri mengaku kesulitan mencari calon hakim agung yang berkualitas dan berintegritas, termasuk menjaring calon hakim.   

“Siapapun bisa menjadi hakim asalkan sarjana hukum, memiliki indeks prestasi minimal 3,0 dan lulus tes pegawai negeri sipil. Sistem seleksi hakim ini perlu dibenahi,” kata Ketua KY Suparman Marzuki di Gedung KY, Jum’at (2/8).   

Suparman mengatakan untuk mencetak hakim yang baik bisa di-design sejak di perguruan tinggi, sehingga pola rekrutmennya pun mesti diubah. Seperti proses rekrutmen hakim di Jerman dan Jepang melibatkan perguruan tinggi. Calon hakim direkrut atau direkomendasikan dari sepuluh lulusan terbaik di setiap fakultas hukum.

Namun, faktanya banyak yang tidak mau jadi hakim. Soalnya, profesi hakim ini dikesankan sebagai profesi yang banyak resiko dan gajinya kecil. Padahal, saat ini gaji hakim pemula sudah lumayan besar, bisa mencapai Rp8-9 jutaan sehingga bisa menarik orang untuk menjadi hakim.

“Itu seharusnya menjadi tanggung jawab perguruan tinggi menanamkan pikiran mahasiswa untuk menjadi hakim sebagai profesi mulia dan terhormat,” kata Suparman.

Persoalan ini, menurutnya sudah sejak tahun 2011 dibicarakan oleh banyak dekan fakultas hukum yang merupakan jejaring KY untuk memikirkan metode seleksi itu. Jika tidak, perguruan tinggi dianggap tidak bertanggung jawab atas kelangsungan negara hukum dan penegakan hukum. Perguruan tinggi hanya bertanggung jawab untuk mencetak sarjana hukum.

“Saya tahu persis, banyak mahasiswa oke yang berintegritas baik, tetapi daftar hakim tidak diterima. Setidaknya kalau ada rekomendasi dari kampusnya akan ada jalan untuk bisa diterima. Terlebih, perguruan tinggi lebih tahu track record mahasiswanya,” bebernya. “Kalau embrionya sudah seperti ini, ini kan bakal jadi calon hakim agung, sehingga kita mudah menyeleksinya.”

Terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur berharap ada upaya terobosan dan sosialisasi yang baik untuk menjaring calon hakim dan calon hakim agung. Dia mengaku pihaknya pernah mencoba menerapkan metode jaring lulusan terbaik fakultas hukum. 

“Dulu kita sudah ada kerja sama dengan 5 perguruan tinggi negeri ternama agar yang masuk rangking 5 besar bisa diterima sebagai calon hakim. Tetapi, tetap saja tidak banyak yang berminat menjadi hakim,” kata Ridwan.

Meski begitu, kerja sama untuk menjaring calon hakim dengan perguruan tinggi akan dilanjutkan lagi dengan jumlah fakultas hukum yang lebih banyak. “Emang sulit mencari calon hakim yang berkualitas, kita saja tahun lalu mencari hakim ad hoc sulit, dari 467 peserta yang ikut tes, hanya 4 yang layak diluluskan. Tahun ini masih proses,” ujarnya.

Peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil menilai peran fakultas hukum hampir tidak ada sama sekali dalam mencetak bibit calon hakim, kecuali hanya sebagai pencetak sarjana hukum. “Seharusnya peran fakultas hukum bisa lebih dari itu, seperti mempersiapkan bakal calon hakim,” kata Arsil.

Karena itu, Arsil menyarankan agar perlu ada kerja sama antara MA, KY, dan beberapa perguruan tinggi dalam rangka menyiapkan bakal calon hakim yang berkualitas. Misalnya, membuat program kekhususan yang fokus mendidik mahasiswa yang ingin menjadi calon hakim. Jika perlu, mahasiswanya diseleksi terlebih dahulu dan jika lulus mendapatkan beasiswa. 

“Sejumlah mahasiswa yang lulus dari program ini langsung direkrut jadi calon hakim untuk ikut pendidikan dan pelatihan calon hakim,” usulnya.

Tags: