Butuh Pengaturan yang Tepat Awasi Industri Fintech
Berita

Butuh Pengaturan yang Tepat Awasi Industri Fintech

Regulator mengaku kesulitan menetapkan aturan main fintech yang dinamis. Tanpa ada pengaturan yang tepat, industri fintech dikhawatirkan berpotensi risiko krisis.

M. Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Para pembicara seminar
Para pembicara seminar "Meneropong Arah Industri Fintech di Indonesia" di Jakarta, Selasa (7/8). Foto: MJR

Menetapkan aturan main industri financial technology (fintech) memiliki tantangan tersendiri bagi regulator. Di satu sisi, regulator harus menyusun peraturan agar kegiatan usaha fintech memberi manfaat bagi masyarakat. Namun sisi lain, ketatnya aturan dikhawatirkan dapat menghambat, bahkan mematikan industri ini. Sementara, karakter industri fintech yang dinamis seringkali tidak dapat diimbangi peran regulator ketika menetapkan peraturan baru.

 

Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengakui terdapat kesulitan bagi regulator mengawasi setiap transaksi dalam industri fintech, khususnya layanan peer to peer lending (P2P) atau antar individu. Dengan inovasi teknologi ini, kata Nurhaida, dapat menghubungkan secara langsung antara investor dengan debitur. Kata lain, model transaksi bisnis seperti ini bisa menggantikan peran perusahaan jasa keuangan seperti perbankan.

 

“Transaksi secara peer to peer sudah mulai diterapkan di perbankan hingga pasar modal. Hal ini akan menyulitkan bagi regulator dalam mengawasi. Kalau private transaction ini bermasalah dalam jumlah besar, maka akan mengganggu stabilitas keuangan,” kata Nurhaida dalam acara seminar “Meneropong Arah Industri Fintech di Indonesia” di Jakarta, Selasa (7/8/2018).

 

Meski demikian, Nurhaida menyatakan pihaknya telah melakukan langkah preventif dalam upaya mengawasi industri fintech. Salah satu kebijakan dalam pengawasan tersebut dengan cara menerapkan regulatory sandbox atau tahapan uji coba produk fintech sebelum diluncurkan kepada masyarakat.

 

Menurut Nurhaida, regulatory sandbox tersebut untuk menjamin produk yang diluncurkan perusahaan fintech tersebut aman dan bermanfaat digunakan masyarakat. “Di sini (regulatory sandbox), regulator hadir untuk mengawasi,” jelas Nurhaida. Baca Juga: Waspada! Ini Daftar 227 Entitas Fintech Ilegal

 

Dalam kesempatan ini, Nurhaida mengatakan OJK masih menyusun Rancangan POJK mengenai aturan main industri fintech. Peraturan yang salah satunya mewajibkan seluruh penyelenggara fintech mendaftarkan ke OJK tersebut akan terbit pada Agustus ini. “Dalam waktu dekat akan terbit. Semoga Agustus ini bisa keluar peraturannya,” harap Nurhaida.

 

Kesulitan mengatur geliat perkembangan industri fintech juga dirasakan Bank Indonesia (BI) yang memiliki domain pengawasan fintech dalam sistem pembayaran digital seperti e-payment dan mata uang virtual. Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Erwin Haryono mengatakan meski peran fintech saat ini terbilang masih kecil, namun pertumbuhan industrinya sangat pesat dibandingkan layanan jasa keuangan lain.

 

Karena itu, Erwin khawatir tanpa ada pengaturan yang tepat, fintech nantinya bisa berperan sebagai shadow banking yang justru memilki potensi risiko krisis lebih tinggi. Hal ini bisa terjadi karena kegiatan usaha shadow banking tidak terpantau regulator. Menurut Erwin, semakin menjamurnya penyelenggara fintech di Indonesia perlu diimbangi dengan pengawasan regulator yang efektif.  

 

“Tren ini jadi perhatian regulator. Apalagi saat ini banyak yang menerbitkan uang-uang digital baru. Apa mereka punya dampak yang besar (bagi stabilitas perekonomian), bisa kita lihat apa yang terjadi di Cina dengan shadow banking,” kata Erwin mencontohkan.  

 

Sulit pungut pajak

Tak hanya itu, sulitnya merumuskan aturan main pada industri fintech juga dirasakan Direktorat Jenderal Perpajakan, Kementerian Keuangan. Staf Ahli Dirjen Pajak, Suryo Utomo menyatakan pihaknya saat ini masih terkendala memungut pajak pada perusahaan fintech di luar negeri, namun perusahaan tersebut bertransaksi di Indonesia.  

 

“Kalau semua pemain (perusahaan fintech) ada di Indonesia lebih mudah dikejar. Kalau pemain di luar negeri akan lebih susah. Sama case-nya dengan e-commerce. Mungkin saja ada pemain yang di luar negeri seperti Singapura dan Malaysia yang tidak tercatat di BI dan OJK,” kata Suryo.

 

Suryo melanjutkan tidak ada perbedaan penerapan pajak antara perusahaan fintech dengan perusahaan konvensional. Menurut Suryo, perbedaan antara perusahaan fintech dengan konvensional hanya terletak hanya pada proses bisnisnya saja. “Tetap ada kewajiban PPh dan PPn. Keberadaan fintech tidak ada perbedaan dengan badan usaha pada umumnya,” tambah Suryo.

 

Seperti diketahui, sebagai regulator fintech saat ini ada dua lembaga yang berwenang mengatur fintech yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, ada Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai lembaga yang bertanggung jawab menangani perkembangan industri digital.

 

Hingga saat ini, baru BI yang secara khusus menerbitkan empat peraturan soal penyelenggaraan fintech. Pertama, PBI No 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraaan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Kedua, PBI Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Ketiga, PADG Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial. Keempat, PADG Nomor 19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi dan Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial.

 

Sementara itu, OJK baru menerbitkan satu peraturan yang berkaitan dengan salah satu produk fintech melalui POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (peer to peer lending).   

Tags:

Berita Terkait