Buruh Outsourcing Petrokimia Gresik Gugat Diskriminasi Kerja
Berita

Buruh Outsourcing Petrokimia Gresik Gugat Diskriminasi Kerja

Ada perlakuan berbeda yang dialami pekerja outsourcing dan pekerja tetap.

Ady
Bacaan 2 Menit
Demo Buruh di depan istana negara. Foto: SGP
Demo Buruh di depan istana negara. Foto: SGP

Sungguh malang nasib pekerja outsourcing di PT Petrokimia Gresik. Walaupun secara jumlah mereka mayoritas, tapi ternyata mereka tidak beroleh hak yang sama seperti pekerja tetap lainnya di perusahaan penghasil pupuk itu. Ribuan pekerja akhirnya melakukan mogok kerja di lokasi kerja sejak 29 Februari hingga 2 Maret 2012. Sementara puluhan lainnya berdemo ke Kementerian BUMN dan Kemenakertrans di Jakarta, Kamis (1/3).

Para buruh outsourcing yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) Gresik ini telah berkali-kali mengadakan perundingan mengenai perkara ini sejak 2010. Perundingan dengan manajemen Petrokimia ataupun perusahaan outsourcing, tak berbuah hasil. Berulang kali demonstrasi digelar tapi tetap saja tak mendapat tanggapan yang memuaskan. Sampai akhirnya aksi mogok kerja ini terlaksana.

Perlakuan diskriminatif yang diterima para pekerja outsourcing ini misalnya mengenai upah, perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan kepastian kerja sampai usia pensiun.

“Kami menuntut persamaan hak, keselamatan dan kesehatan kerja, kenaikan upah, jaminan keberlangsungan kerja sampai usia pensiun, jaminan atas pesangon ketika di-PHK dan bonus tahunan,” tutur Ketua SPBI Gresik Agus kepada hukumonline di tengah massa aksi yang melakukan demonstrasi di depan gedung Kementerian BUMN Jakarta, Kamis (1/3).

Agus mencontohkan soal diskriminasi perlindungan kerja. Para pekerja tetap mendapat sepatu kerja yang memberi keamanan lebih, sedangkan pekerja outsourcing hanya sepatu karet. Selain itu, pekerja tetap mendapat masker yang lebih berkualitas dan diganti tiap tiga bulan. Sedangkan pekerja outsourcing mendapat masker namun dengan kualitas rendah. Begitu juga dengan helm kerja, pekerja outsourcing menggunakan helm berkualitas rendah. Saking rendahnya sampai para pekerja Petrokimia menjulukinya dengan helm rempeyek, alias mudah hancur.

Perbedaan perlakuan yang lain misalnya terkait besaran upah. Para pekerja outsourcing misalnya yang hanya menerima upah sekitar Rp1,34 juta per bulan. Sedangkan gaji buruh tetap Petrokimia berkisar Rp3,84 juta tiap bulan.

Bila usaha menuntut perbaikan nasib selalu dikandaskan Petrokimia, tidak demikian dengan usaha menuntut kepada perusahaan outsourcing. SPBI berhasil membuat pihak manajemen di perusahaan outsourcing memberikan Jamsostek dan pesangon jika ada pekerja yang di-PHK serta menaikan upah. Tapi pekerja merasa hal itu belum cukup karena masih terdapat sejumlah hak normatif yang belum terpenuhi, sebagaimana yang mereka perjuangkan kali ini.

Selain masalah diskriminasi kerja, SPBI juga menyoroti praktik outsourcing di Petrokimia yang dianggap menyalahi aturan UU Ketenagakerjaan yaitu karena menerapkan outsourcing pada jenis pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi Petrokimia (core business). Sementara pekerja merasa pekerjaan yang selama ini mereka lakukan berkaitan langsung dengan proses produksi. Sehingga jika ada salah satu pekerjaan yang tidak dilakukan, maka pekerjaan lain akan terganggu dan mengakibatkan mesin-mesin tidak dapat berfungsi.

Agus misalnya yang bekerja sejak 1999. Tugasnya memasukkan bahan baku pupuk (asam fosfat) dan menjalankan mesin produksi. Secara logis ketika bahan baku tidak dimasukan ke dalam mesin, maka produk utama Petrokimia Gresik berupa pupuk tidak dapat dihasilkan. Menurut pekerja pekerjaan ini dikategorikan pekerjaan pokok (core), sedangkan bagi pihak manajemen melihat sebaliknya. Pekerjaan yang Agus lakukan sama seperti pekerjaan pekerja tetap di posisi yang sama. Ironisnya, para pekerja outsourcing dapat dikatakan tulang punggung produksi sebab lebih dari 60 persen tenaga kerja yang bekerja di Petrokimia Gresik adalah pekerja outsourcing.

Setelah merasa instansi di tingkat daerah tidak mampu menyelesaikan masalah maka Agus dan puluhan pekerja outsourcing Petrokimia akhirnya berupaya mengadu ke Kementerian BUMN dan Kemenakertrans di Jakarta.

Sayangnya, Kementerian BUMN tak bisa memenuhi tuntutan Agus dkk agar Kementerian langsug ‘menjewer’ Petrokimia. Pasalnya, status Petrokimia kini bukan lagi BUMN, melainkan anak BUMN. Seluruh saham Petrokimia dimiliki oleh PT Pupuk Sriwijaya.

“Kami tidak mau menyalahi aturan hukum. Kami tidak bisa langsung (mengintervensi, -red) menyurati pihak PT Petrokimia Gresik,” tutur staf Humas Tedy Purnama.

Terpisah, Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemenakertrans Sahat Sinurat, menuturkan bahwa Kemenakertrans pernah mengirimkan surat kepada Dinas Tenaga Kerja Gresik pada 9 Februari 2012 lalu. Isinya meminta Dinas Tenaga Kerja mengirimkan pengawas ketenagakerjaan ke Petrokimia untuk memantau situasi. Namun SPBI tak mengetahui keberadaan surat itu.

Setelah mendengarkan keluhan dan masukan dari para pekerja, Kemenakertrans memutuskan akan melakukan supervisi terhadap bagian pengawas dan mediator Disnakertrans Gresik dengan cara turun langsung ke lokasi.

Tags: