Buntut Perpanjangan Pengelolaan Blok Corridor, ESDM Dilaporkan ke KPK
Berita

Buntut Perpanjangan Pengelolaan Blok Corridor, ESDM Dilaporkan ke KPK

Adanya potensi kerugian negara karena proses perpanjangan pengelolaan tersebut menggunakan mekanisme penunjukkan langsung tanpa adanya proses tender terlebih dahulu.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Marwan Batubara (kemeja putih). Foto: Dok. HOL/SGP
Marwan Batubara (kemeja putih). Foto: Dok. HOL/SGP

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (29/7), oleh koalisi masyarakat sipil untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Hal ini buntut dari perpanjangan pengelolaan Wilayah Kerja Blok Corridor di Sumatera Selatan yang diberikan ESDM kepada ConocoPhillips. Menurut pelapor, setidaknya terdapat dua hal yang menjadi dasar laporan tersebut.

 

Direktur Eksekutif Indonesia Resourcess Studies (IRESS) Marwan Batubara mewakili koalisi mengungkap dua hal yang mendasari laporan terhadap ESDM. Pertama, terkait dasar hukum langkah ESDM yang memberikan perpanjangan pengelolaan Blok Corridor.

 

Menurut Marwan, Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas Yang Akan Berakhir Kontrak Kerja Samanya yang dipandang sebagai dasar perpanjangan pengelolaan Blok Corridor telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).

 

“Itukan Permen 23 Tahun 2018 sudah dibatalkan oleh MA,” ujar Marwan saat dihubungi hukumonline, Senin (29/7).

 

Alasan kedua, adanya potensi kerugian negara karena proses perpanjangan pengelolaan tersebut menggunakan mekanisme penunjukkan langsung tanpa adanya proses tender terlebih dahulu.

 

Berdasarkan aturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas Yang Akan Berakhir Kontrak Kerja Samanya, blok wilayah kerja Migas yang akan habis kontraknya harus diberikan pengelolaannya kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

 

Selain itu, untuk menjamin transparansi proses dan biaya akuisisi, seharusnya disebutkan berapa nilai cadangan terbukti yang masih terkandung di Blok Corridor. Dikarenakan pengelolaan Blok Corridor sendiri saat ini memang berada di tangan ConocoPhillips, untuk itu Marwan menginginkan agar pengeloaan Blok Corridor dijalankan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Indonesia.

 

“Nah ini kan ternyata cukup bayar signature bonus 250 juta untuk tiga perusahaan, baru ke asingnya itu kalau dikalikan 70 persen dikali 250 juta. Padahal potensi itu bisa sampai 2 atau 3 milyar dolar,” ujar Marwan menjelaskan potensi perolehan negara.

 

Menurut Marwan, Blok Corridor merupakan blok migas penghasil gas terbesar ketiga di Indonesia setelah Blok Tangguh dan Blok Mahakam. Sampai akhir Juni 2019, realisasi lifting gas dari Blok Corridor tercatat sebesar 827 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMSCFD). Dengan keputusan Menteri ESDM yang pro-asing tersebut, maka posisi operator Blok Corridor akan tetap di berada di tangan ConocoPhillips.

 

(Baca: Ada Kritik atas Keputusan Perpanjangan Pengelolaan Blok Corridor)

 

Terkait nilai cadangan, dalam perhitungan Marwan, jika diasumsikan cadangan tersisa Blok Corridor sekitar 3 TCF dan harga rata-rata gas adalah US$ 8-10/mmbtu, maka potensi pendapatan kotor Blok Corridor (sebelum dipotong biaya eksploitasi) adalah sekitar US 24 – US$ 30 miliar atau sekitar Rp 336 – Rp 420 triliun, pada kurs Rp 14.000 per US$. 

 

Padahal, biaya akuisisi cadangan terbukti suatu blok migas umumnya berkisar antara 10% hingga 15% dari nilai cadangan terbukti. Oleh sebab itu, maka biaya akuisisi 100% cadangan Blok Corridor seharusnya adalah (10% – 15%) x US (24-30) miliar = US$ 2,4 miliar – US$ 4,5 miliar.

 

“Nah jadi dua hal itu menjadi dasar adanya pelanggaran hukum dari pada potensi kerugian negara,” ujar Marwan.

 

Sebelumnya, melalui Siaran Pers No.463/Pers 04/SJI 2019 tertanggal 22 Juli 2019, Menteri ESDM Ignasius Jonan menginformasikan telah menandatangani Surat Keputusan (SK) No.128 K/10/MEM/2019 tentang Perpanjangan dan Penetapan Ketentuan-Ketentuan Pokok Kontrak Kerja Sama (KKS) pada Wilayah Kerja (WK) Blok Corridor, Sumatera Selatan. Dengan SK tersebut maka Pertamina sebagai BUMN migas nasional akan kehilangan kesempatan untuk mengelola Blok Corridor secara penuh, 100% sebagaimana telah diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945.

 

Menteri ESDM menyatakan pemberian perpanjangan pengelolaan Blok Corridor selama 20 tahun hingga 2043 didasari antara lain oleh pertimbangan pembayaran signature bonus sebesar US$ 250 juta dan komitmen kerja pasti sebesar US$ 250 juta. Blok Corridor disebutkan akan menggunakan skema bagi hasil kotor (gross split). Dengan skema gross split tersebut, maka KKKS memperoleh bagian pendapatan sebesar 48,5% untuk produksi minyak dan 53,5% untuk produksi gas.

 

“Ini aturannya kami tawarkan ke existing termasuk Pertamina. Kalau tidak, oke lelang. Tapi ini oke, sampai saat ini tidak ada tawaran lain yang lebih baik,” ujar Jonan.

 

Kontrak awal Blok Corridor ditandatangani oleh pemerintah pada 21 Desember 1983 dengan tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), yaitu ConocoPhillips (54%), Talisman (36%) dan Pertamina (10%). Kontrak blok migas tersebut akan berakhir pada 19 Desember 2023. Dengan perpanjangan kontrak sesuai SKNo.128/K/10/MEM/2019, KESDM menetapkan komposisi pemilikan saham berubah menjadi ConocoPhilips 46%, Pertamina 30%, dan Repsol 24%.

 

Terkait dengan langkah ESDM ini, Marwan mengakui sebelumnya koalisi telah menuntut kepada Presiden Jokowi untuk segera membatalkan perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Corridor kepada ConocoPhillips, melalui surat terbuka yang diterbitkan pada 23 Juli 2019.

 

Koalisi menyampaikan antara lain keputusan perpanjangan kontrak bertentangan dengan konstitusi, mengurangi potensi pendapatan negara dan tidak sejalan dengan upaya peningkatan ketahanan energi nasional, serta melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Tags:

Berita Terkait