BUMN Bisa Tak Tersentuh BPK
Berita

BUMN Bisa Tak Tersentuh BPK

Jika tak lagi menjadi keuangan negara, semua tindakan korupsi yang terjadi di BUMN tidak lagi bisa diaudit BPK.

CR15
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua BPK Hasan Bisri (tengah). Foto: SGP
Wakil Ketua BPK Hasan Bisri (tengah). Foto: SGP

Badan usaha milik negara (BUMN) bisa tidak tersentuh oleh BPK. Hal ini terjadi jika permohonan Forum Hukum BUMN dan Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia yang mengajukan uji materi Pasal 2 huruf g dan i UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Para pemohon mempermasalahkan kekayaan yang dihasilkan oleh perusahaan negara atau perusahaan daerah. Menurut pemohon, dalam menghasilkan kekayaan tersebut perusahaan negara atau perusahaan daerah menggunakan fasilitas yang diberikan negara seperti permodalan, sehingga pasal tersebut dinilai menciptakan diskriminasi.

Hal itu lantaran kekayaan negara hanya dihitung sebatas modal, sedangkan sebagian besar keuntungan yang dihasilkan perusahaan negara atau perusahaan daerah digunakan untuk kepentingan pengelolaan perusahaan.

Jika permohonan tersebut dikabulkan, maka semua lembaga negara pemerintah yang dibentuk oleh undang-undang menjadi kekayaan yang dipisahkan atau bukan lagi kekayaan negara.

Konsekuensi lanjutannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun tidak bisa melakukan audit terhadap institusi-institusi seperti LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Bank Indonesia, BUMN dan keuangan daerah APBD yang berasal dari APBN ini semuanya dipisahkan.

"Jika kekayaan negara dipisahkan dari keuangan negara, maka BPK tidak bisa lagi memeriksa keuangan lembaga-lembaga ini," kata Wakil Ketua BPK Hasan Bisri dalam 'Kekayaan Negara yang Dipisahkan', di Auditorium BPK, Jakarta, Kamis (12/9).

Semua lembaga yang tidak menjadi bagian keuangan negara, otomatis akan menjadi keuangan privat. Hasan mengkhawatiran praktik manipulasi dan rekayasa yang dilakukan sejumlah BUMN pada periode 1998-1999 bakal terulang. Sementara itu, semua tindakan korupsi yang terjadi pada perusahaan privat tidak akan bisa diaudit lagi oleh BPK. Dengan demikian, keputusan tersebut tidak sejalan lagi dengan program pemberantasan korupsi.

"Semua korupsi pada perusahaan privat tidak masuk kategori Tindak Pidana Korupsi (TPK), tapi Tindak Pidana Pencucian Umum (TPPU)," ujarnya.

Hasan berharap MK menolak permohonan tersebut, khususnya pada pengertian kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN pada Pasal 2 huruf g dan huruf i. Sebab, jika BUMN yang mendapat kekayaan negara yang dipisahkan tidak lagi menjadi bagian keuangan negara, menurut Hasan, tidak akan sejalan dengan perang bangsa ini pada tindakan korupsi.

"Jika dikabulkan maka ini tidak sejalan dengan pemberantasan korupsi yang saat ini kita galakkan, kita perjuangkan," tandasnya.

Lebih jauh, Hasan menilai seharusnya direksi atau komisaris BUMN tidak perlu khawatir akan terjerat tindak pidana korupsi jika perusahaan merugi. Sebab, BPK telah membedakan secara tegas antara kerugian BUMN yang timbul karena risiko bisnis dan kerugian BUMN yang timbul karena berkurangnya kekayaan BUMN akibat perbuatan melawan hukum.

Sementara itu, Direktur Utama Bank Negara Indonesia Gatot Suwondo mengaku ketakutan setiap hendak mengambil keputusan bisnis karena khawatir dituduh melakukan korupsi bila di kemudian hari keputusannya dinilai menyebabkan kerugian negara.

Selama ini, bank swasta hanya terikat tiga aturan yakni UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal jika perusahaan terbuka.

Sementara itu, bank BUMN terikat oleh delapan aturan. Selain tiga aturan yang sama mengikat bank swasta, ada UU lain yang mengikat bank BUMN seperti UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

"Kita tidak masalah mau kita diikat sepuluh atau dua puluh aturan pun asalkan antara aturan ini berharmonis dan tidak bertambarakan," papar Gatot.

Gatot mengatakan, direksi BUMN sering bingung dengan ketidakharmonisan pengaturan UU yang mengikat BUMN. Ia mencontohkan, batasan  aset perusahaan dalam UU PT diatur merupakan milik perusahan sedangkan pemilik hanya sebatas sampai pemegang saham. Akan tetapi, Gatot melihat, UU BUMN mengatur hal yang bertentangan.

"Dalam undang-undang BUMN, aset perusahaan merupakan aset negara, jadi ini seperti aset itu milik istri tapi liability milik suami. Ada pula undang-undang kekayaan negara dengan undang-undang Bapepam, kalau aturan ini bisa harmonisasi maka Bank BUMN bisa jauh lebih besar lagi," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait