Bukti Rekam Medik Harusnya Dibuka Sejak Penyidikan
Berita

Bukti Rekam Medik Harusnya Dibuka Sejak Penyidikan

Agar dokter bertindak ekstra hati-hati.

ASH
Bacaan 2 Menit
Bukti Rekam Medik Harusnya Dibuka Sejak Penyidikan
Hukumonline

Kamar Pidana MA kembali menggelar diskusi untuk menyamakan persepsi. Kali ini topik diskusi yang dibahas menyangkut hukum kesehatan yang menghadirkan beberapa narasumber yaitu, dr. Sofyan Dahlan dari Ikatan Dokter Indonesia, Dosen Hukum Kesehatan, M. Nasser, dan Hakim Agung Andi Abu Ayyub Saleh.

Dalam diskusi yang dipandu Ketua Kamar Pidana Artidjo Alkostar ini terungkap persoalan sulitnya dokter dipidana jika melakukan tindakan malpraktik yang diduga dilakukan dengan sengaja. Sebab, dalam beberapa kasus sangat jarang seorang dokter dijatuhi sanksi pidana ketika melakukan tindak malpraktik terhadap pasiennya. Tindakan dokter malpraktik biasanya berhenti pada sanksi etik oleh Majelis Kehormatan Dewan.

Peserta diskusi, Hakim Agung Prof Suryajaya mengungkapkan sudah seharusnya tindakan malpraktik yang dilakukan dokter bisa dipidanakan tak hanya berhenti sebatas sanksi etik. Menurut dia, tidak terungkapnya unsur pidana dalam praktik terkait tindakan malpraktik kedokteran disebabkan bukti medical record (rekam medis) tidak pernah dibuka dalam proses penyidikan dengan dalih kerahasiaan praktik kedokteran.

“Dokter seharusnya bisa dipidana, karena dokter juga bukan malaikat yang luput dari kesalahan. Dalam beberapa kasus jarang sekali dokter dipidana, ini gara-gara bukti rekam medis tidak pernah dibuka sejak penyidikan, sehingga sulit dibuktikan. Seharusnya rekam medis sudah dibuka saat penyidikan. Ini agar dokter bertindak ekstra hati-hati,” kata Suryajaya.

Pada prinsipnya rekam medis merupakan dokumen yang bersifat rahasia. Hal ini diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Namun, dalam Pasal 48 ayat (2) UU Praktik Kedokteran sendiri memberi ruang aparat penegak hukum untuk membuka rekam medis untuk kepentingan penegakan hukum.

Sementara Nasser menjelaskan seorang dokter dikatakan melakukan malpraktik jika ia bertindak di luar standar profesi yang berlaku. Dalam praktiknya, seorang dokter atau dokter gigi bisa berhadapan dengan tuntutan pidana, gugatan perdata, gugatan administratif, aduan pelanggaran disiplin, dan aduan pelanggaran etika. Sebab, dalam praktik kedokteran menyangkut penerapan disiplin ilmu kedokteran, etika Kedokteran (Kodeki), dan hukum.

Penerapan etika dan disiplin ini diperiksa oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), suatu organ di bawah Konsil Kedokteran Indonesia. MKDKI ini yang memutus pelanggaran etika dan disiplin standar profesi ini. MKDKI ini bisa menjatuhkan sanksi pencabutan izin praktik. Pengaduan kepada MKDKI tak menghilangkan hak korban malpraktik untuk menuntut secara pidana dan gugatan perdata. Hal ini dijamin Pasal 66 UU Praktik Kedokteran.

“Korban malpraktik bisa juga menggugat secara perdata dan menuntut secara pidana dengan sankaan Pasal 369, 360 KUHP, dan Pasal 304 KUHP,” kata mantan Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia ini.

Dia mengungkapkan tuntutan pidana semakin sering digunakan dalam kasus malpraktik medik. Asumsinya, jika tuntutan pidana malpraktik bisa dibuktikan akan dilanjutkan dengan gugatan perdata. Seorang dokter atau dokter gigi dapat dipidana jika terbukti ada unsur kesengajaan atau niat/motif jahat, kelalaian berat, pembiaran yang bisa berakibat fatal, kelalaian yang berulang.

Jadi, seorang dokter harus dipidana jika memenuhi unsur-unsur itu. Namun, faktanya sangat sulit untuk membuktikan unsur kesengajaan dalam tindak pidana di bidang kesehatan. Sebab, tidak ada dokter yang berniat mau menjahati pasiennya. Anggota Komisioner Kepolisian Nasional ini menambahkan jika sebuah rekam medis dan informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) belum dibuka dalam proses penyidikan, bukti bisa dibuka dalam sidang pengadilan.

Hakim Agung Andi Ayyub menambahkan pembuktian terhadap rekam medik kedokteran haruslah merujuk pada informed consent, perjanjian terapeutik, dan visum et repertum yang dapat dijadikan alat bukti surat, keterangan ahli, atau petunjuk. Meski begitu, pertanggungjawaban pidana malpraktik, medical error, harus dilihat sisi pencegahan oleh dokter, tenaga kesehatan dengan melihat indikator ketelitian dalam pelayanan kesehatan.

Dia mengingatkan mengacu SEMA Tahun 1982, penyelesaian tindakan malpraktik tidak langsung dipeoses melalui jalur hukum, tetapi seharusnya diperiksa terlebih dahulu Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Sebab, kedua organ itu yang berwenang menentukan apakah dokter atau tenaga kesehatan telah melakukan perbuatan melawan hukum, pelanggaran disiplin, dan atau etika kedokteran.

Tags: