Aneka Perjanjian, Bukan Bahasa Masa Kini
Edisi Lebaran 2011:

Aneka Perjanjian, Bukan Bahasa Masa Kini

Banyak peristilahan dalam buku ini yang tidak lagi sesuai perkembangan ilmu hukum perjanjian.

MVT
Bacaan 2 Menit
Profesor Raden Subekti penulis buku berjudul Aneka Perjanjian. Foto: SGP
Profesor Raden Subekti penulis buku berjudul Aneka Perjanjian. Foto: SGP

Mereka yang belajar mengenai hukum di Indonesia, mustahil jika tidak mengenal nama Raden Subekti. Profesor kelahiran Solo, 14 Mei 1914 ini punya berbagai kontribusi positif dalam dunia hukum Indonesia, khususnya ilmu keperdataan. Sepanjang hayatnya, Subekti telah menelurkan puluhan buku yang sering jadi acuan.

 

Selain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang jadi ‘monumen’ karya ilmiahnya, Subekti juga menulis buku berjudul Aneka Perjanjian. Buku setebal 204 halaman ini tergolong wajib dibaca bagi mereka yang ingin mengetahui perkembangan hukum perjanjian di Indonesia.

 

Ada tujuh belas bab dalam buku ini, masing-masing menjelaskan topik yang spesifik dan berbeda. Subekti membahas secara mendalam dan terperinci bagian-bagian penting dalam hukum perjanjian, seperti hukum pinjam-pakai, sewa-menyewa, hibah, hingga arbitrase dan perdamaian.

 

Beberapa advokat yang dihubungi hukumonline mengakui buku ini cukup membantu pemahaman mereka dalam melakukan riset. Apalagi, banyak bagian dari pekerjaan mereka berkaitan dengan pembuatan kontrak perjanjian.

 

“Buku ini termasuk yang sangat membantu dalam menunjang pekerjaan,” kata Shely Selvianah, paralegal salah satu kantor hukum di bilangan SCBD, Jakarta.

 

Apalagi, katanya, buku Aneka Perjanjian ini salah satu yang direkomendasikan dosen perkuliahan hukum perjanjian saat ia kuliah dulu. “Jadi saya baca buku itu sebelum buku-buku lain mengenai hukum perjanjian,” katanya.

 

Begitupun disampaikan Andy Rifai. Advokat di salah satu kantor hukum besar Indonesia ini mengatakan buku Aneka Perjanjian ini jadi salah satu acuannya dalam menangani berbagai pembuatan kontrak. “Saya terbantu dengan materi yang ada di buku ini meski tidak jadi acuan utama,” ujarnya.

 

Sayangnya, buku ini semakin tidak diminati kalangan akademis. Keluhan utama muncul terkait penggunaan istilah dan pilihan kalimat. Pengajar Hukum Perjanjian di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Veronica Komalawati, mengatakan ia tak lagi menyarankan buku ini digunakan oleh mahasiswa. “Buku itu tidak lagi populer, tidak lagi banyak dipakai,” ujar wanita peraih gelar profesor di bidang ilmu hukum ketika dihubungi hukumonline via telepon.

 

Menurut Veronica, banyak peristilahan yang dipakai di buku ini yang tidak mengikuti perkembangan hukum perjanjian. Hal ini tentunya mempersulit dosen ketika mengajar mahasiswa.

 

“Apalagi di Indonesia pengaruh hukum anglo-saxon mulai kental sehingga banyak peristilahan dan konstruksi hukum yang harus di-update namun tidak ditemukan di buku ini. Cuma kalau sebagai bahan bacaan, tambahan literatur, saya kira tidak masalah,” jelasnya.

 

Kesulitan memahami buku ini juga diakui Intan, mahasiswi semester tujuh Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurutnya, materi dalam buku ini agak sukar dipahami karena penggunaan bahasanya yang rumit.

 

“Contohnya di halaman 103, ada kalimat tidak telah dilakukan, terkemudian, dan beberapa lainnya. Saya harus baca berulang-ulang untuk bisa memahami, namun tetap agak sulit. Jadi saya menambah bahan bacaan dari buku lain untuk menunjang,” keluhnya.

 

Ketertinggalan materi buku ini mungkin bisa dimaklumi karena Subekti sudah lama meninggal dunia. Mantan Hakim Agung RI (1968-1974) ini berpulang pada bulan Desember 1992, hampir 19 tahun yang lalu. Rentang waktu 19 tahun tentu bukan waktu yang singkat untuk perkembangan ilmu hukum yang perlu dicermati.

 

Karena itu pula, buku Aneka Perjanjian ini tidak lagi dicetak. PT Citra Aditya Bakti yang bertanggung jawab untuk urusan penerbitannya, menyatakan pilihan itu dilakukan sejak tahun 1995. Edisi cetakan terakhir adalah bulan Agustus 1995. “Itupun hanya perubahan wajah sampul, tanpa ada revisi isi buku,” kata Juariah, pegawai Citra Aditya Bakti.

 

Terlepas dari hal itu, Veronica memuji sosok Subekti sebagai ilmuwan sejati. Selain sebagai Guru Besar Hukum Perdata di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Subekti juga pernah menjadi Rektor Universitas Krisnadwipayana Jakarta. Karya monumentalnya, terjemahan Burgelijk Wetboek (BW), menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dibuat bersama R  Tjitrosudiro, menjadi acuan akademis dan praktis hingga saat ini.

 

“Saya kenal beliau, kebetulan teman dekat saya asisten beliau. Pak Subekti itu benar-benar ilmuwan pada masanya. Apa yang beliau kembangkan, beliau rekomendasikan, jadi dasar pengembangan lebih jauh oleh ilmuwan lainnya,” pungkasnya.

Tags: