Budi Susanto Dituntut 12 Tahun Penjara
Berita

Budi Susanto Dituntut 12 Tahun Penjara

Terdakwa merasa tuntutan terlalu berat.

NOV
Bacaan 2 Menit
Terdakwa Budi Susanto diperkenankan minum di sela-sela pembacaan tuntutan. Foto: NOV
Terdakwa Budi Susanto diperkenankan minum di sela-sela pembacaan tuntutan. Foto: NOV
Penuntut umum KPK, Riyono meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Amin Ismanto menghukum Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto dengan pidana penjara selama 12 tahun. Rekanan Korlantas Polri ini juga diminta membayar denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan.

Budi dituntut pidana tambahan uang pengganti Rp88,446 miliar. Menurut Riyono, Apabila Budi tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita dan dilelang. Dalam hal harta tersebut tidak mencukupi, Budi akan dipidana penjara selam enam tahun.

Perbuatan Budi dianggap telah memenuhi semua unsur dalam dakwaan primair. Riyono meminta majelis menyatakan Budi terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Sebelum menjatuhkan tuntutan, Riyono mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal yang memberatkan diantaranya, perbuatan Budi dinilai tidak mendukung program pemerintah yang sedang giat memberantas tipikor dan melakukan efisiensi, serta efektifitas penggunaan anggaran.

“Perbuatan terdakwa telah melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dengan cara terdakwa menggunakan anggaran negara secara tidak bertanggung jawab. Perbuatan terdakwa merusak citra institusi Polri sebagai aparat penegak hukum,” kata Riyono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (2/1)

Berdasarkan fakta yuridis, penuntut umum berkesimpulan Budi bersama-sama Djoko Susilo, Wakakorlantas Didik Purnomo, Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo S Bambang, dan Ketua Panitia Pengadaan Simulator Teddy Rusmawan melakukan korupsi dalam pengadaan driving simulator tahun anggaran (TA) 2011.

Target PNBP
Penuntut umum Iskandar Marwanto menguraikan, peristiwa ini bermula setelah Budi mengetahui rencana pengadaan driving simulator R2 dan R4 di Korlantas Polri sekitar Agustus 2010. Bambang bertemu Sukotjo di TIS, Tebet untuk membicarakan pengadaan pekerjaan R2 sebanyak 1000 unit dan R4 1000 unit.

Sukotjo menyatakan perusahannya, PT ITI tidak sanggup mengerjakan pekerjaan tersebut karena keterbatasan tempat, pegawai, dan dana. Namun, Budi meminta Sukotjo hanya menyiapkan tempat dan pegawainya, sedangkan dana akan disediakan Budi. Selanjutnya pertemuan berlangsung di di ruang kerja Teddy Rusmawan.

Pada kesempatan itu, menurut Iskandar, Sukotjo bersedia membantu Budi dalam pekerjaan pengadaan driving simulator R2 dan R4. Untuk menindaklanjuti kesepakatan, sekitar September 2010, Budi meminta Sukotjo membantu panitia pengadaan membuat usulan pengajuan anggaran pengadaan driving simulator TA 2010.

Mengingat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebelumnya tidak memenuhi target, maka realisasi R2 hanya sebanyak 700 unit dan R4 556 unit. Kemudian, Sukotjo menemui bagian keuangan Mabes Polri, Darsian untuk meminta informasi mengenai jumlah dana yang akan dialokasikan untuk pengadaan driving simulator TA 2011.

Sukotjo lalu memberikan Rp50 juta kepada Darsian dan stafnya Rp15 juta. Sebelum penyusunan Pagu anggaran definitif Korlantas Polri TA 2011, Djoko Susilo yang ketika itu menjabat Kakorlantas memerintahkan para Kasubbag, Kasubid di bagian Renmin, dan Ni Nyoman Suartini menyusun kebutuhan driving simulator TA 2011.

Para Kasubbag, Kasubid, dan Ni Nyoman dibantu Sukotjo melakukan penghitungan harga satuan driving simulator R2 dan R4 TA 2011 dengan mengacu Pagu anggaran pengadaan 2010. Ketika itu, harga satuan driving simulator R2 dibanderol dengan harga Rp80 juta per unit, sedangkan R4 Rp260 juta per unit.

Djoko kemudian menyetujui dan mengesahkan dalam bentuk RKA-KL. Dalam rangka menyiapkan dana, sekitar November 2010, Budi mengajukan kredit modal kerja (KMK) sebesar Rp101 miliar atas nama PT CMMA dengan menjaminkan Surat Perintah Kerja pengadaan simulator ke PT BNI Tbk. Namun, BNI hanya menyetujui Rp100 miliar.

Setelah KMK cair, Budi mentransfer Rp35 miliar ke rekening PT ITI. Sukotjo diperintahkan Budi mentransfer kembali Rp8 miliar dan Rp7 miliar ke rekening Primkoppol Ditlantas Mabes Polri, serta mengeluarkan dana Rp4 miliar untuk Budi dan Djoko. Dana Rp2 miliar dibawa sendiri oleh Sukotjo ke kantor Djoko di Korlantas.

Untuk melaksanakan proyek simulator, Korlantas membentuk Panitia Pengadaan yang diketuai Teddy. Sebelum lelang, Djoko menyampaikan kepada Teddy bahwa proyek simulator dikerjakan oleh Budi. Pernyataan Djoko diteruskan ke Kabag Renmin Budi Setyadi dan dia memperingatkan, barang perusahaan Budi tidak bagus.

Budi Setyadi meminta driving simulator mengacu pada spesifikasi yang ada di Singapura. Permintaan itu disetujui, sehingga diberangkatkan tim untuk studi banding ke Singapura. Tapi, Teddy melaporkan kepada Djoko anggaran yang tersedia tidak cukup untuk membeli driving simulator seperti yang dimiliki Singapura.

Djoko lalu memerintahkan spesifikasi teknis driving simulator tahun 2011 disamakan dengan pengadaan tahun 2010. Teddy menindaklanjutinya dengan mengadakan pembahasan spesifikasi bersama Sukotjo dan teknisi PT ITI. Djoko bersama-sama Budi melanjutkan kesepakatan mengenai penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

“Agar tidak menimbulkan kecurigaan, HPS untuk R2 ditentukan Rp79,930 juta per unit, sedangkan HPS untuk R4 Rp258,917 juta per unit. HPS digelembungkan dengan cara, menaikan harga satuan komponen dari harga sebenarnya, memasukan komponen serupa dua kali, serta memasukan komponen yang tidak perlu,” ujar Iskandar.

Kemudian, agar PT CMMA menjadi pemenang lelang, sekitar Januari 2011, Budi atas sepengetahuan Teddy memerintahkan Sukotjo menyiapkan beberapa perusahaan pendamping. Mereka meminjam bendera perusahaan, PT Bentina Agung, PT Digo Mitra Slogan, PT Kolam Intan Prima, dan PT Pharma Kasih Sentosa.

Saat evaluasi administrasi, sejumlah perusahaan itu sengaja tidak memberikan dokumen dan spesifikasi lengkap, sehingga PT CMMA memenangkan lelang pengadaan driving simulator. Sekitar Maret 2011, Teddy dipanggil Djoko untuk membahas perintah Kapolri mengenai pembentukan tim sepak bola PS Bhayangkara.

Djoko menanyakan mengenai dana yang dapat dicairkan dalam waktu dekat dan Teddy menjawab dana simulator. Selain itu, Budi meminta kepada Sukotjo uang Rp1,5 miliar untuk Tim Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri guna memenangkan PT CMMA sebagai pelaksana pekerjaan simulator.

Atas dasar rekomendasi Tim Itwasum, Kapolri selaku Pengguna Anggaran mengeluarkan Surat Keputusan yang menetapkan PT CMMA sebagai pemenang lelang, dimana selanjutnya ditandatangani Teddy selaku ketua panitia pengadaan. Setelah pencairan anggaran pengadaan, Budi menyambangi Djoko di ruang kerjanya.

Djoko meminta stafnya, Legimo supaya tetap di kantor karena akan ada titipan dari Budi. Sore harinya, staf Budi, Wahyudi datang ke kantor Korlantas menitipkan sejumlah kardus berisi uang Rp30 miliar kepada Legimo untuk diberikan kepada Djoko. Uang itu diduga sebagai fee atas pemenangan PT CMMA sebagai pemenang lelang.

Memperkaya Primkoppol
Iskandar menuturkan, penyimpangan dalam pengadaan simulator TA 2011 telah memperkaya Budi selaku Direktur PT CMMA sebesar Rp88,446 miliar, Djoko Susilo Rp36,934 miliar, Didik Purnomo Rp50 juta, dan Sukotjo S Bambang Rp3,933 miliar. Ada beberapa pihak lain yang diperkaya akibat perbuatan Budi.

“Pihak lain yang diperkaya adalah Primkoppol Rp15 miliar, Wahyu Indra Rp500 juta, Gusti Ketut Gunawa Rp50 juta, Darsian Rp50 juta, dan Warsono Sugantoro alias Jumadi Rp20 juta. Akibat perbuatan terdakwa, negara dirugikan Rp144,984 miliar atau setidak-tidaknya Rp121,83 miliar sebagaimana penghitungan BPK,” terangnya.

Ketua Majelis Hakim Amin Ismanto memberikan kesempatan satu minggu kepada Budi dan pengacaranya untuk menyusun nota pembelaan (pledoi). Usai sidang, Budi menyatakan tuntutan 12 tahun terlalu berat. Padahal, Budi merasa dirinya hanya sebagai korban penipuan dari mantan rekannya, Sukotjo S Bambang.

“Saya ini ditipu orang. Saya masuk penjara. Saya serahkan Tuhan saja. Saya berani sumpah tujuh turunan kalau ada saya mengatur proyek itu. Semua kerjaan Sukotjo. Kalau dia berani sumpah tujuh turunan. Saya mau bersumpah. Sukotjo itu pemain. Teddy itu juga pemain. Proyek simulator, semua kerjaan Teddy,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait