Ketua MK: Bubarkan Pengadilan Tipikor Daerah
Utama

Ketua MK: Bubarkan Pengadilan Tipikor Daerah

MA diminta mengevaluasi keberadaan pengadilan tipikor termasuk sistem seleksi calon hakim adhoc.

Agus Sahbani/Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Diusulkan agar semua perkara korupsi kembali ditangani Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Foto: Sgp
Diusulkan agar semua perkara korupsi kembali ditangani Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Foto: Sgp

Fenomena meningkatnya jumlah vonis bebas terdakwa korupsi di sejumlah daerah mendapat kritikan tajam dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD. Ekstremnya, Mahfud mengusulkan agar seluruh pengadilan tipikor di daerah yang baru dibentuk itu dibubarkan.

 

“Sekarang ini kita kecewa karena pengadilan tipikor di tingkat daerah kecenderungannya membebaskan para koruptor dan ini justru lebih jelek daripada pengadilan umum. Karena itu, gagasan untuk meninjau kembali atau membubarkan pengadilan tipikor di daerah masuk akal dan lebih baik dikembalikan ke pengadilan umum,” kata Mahfud kepada wartawan di ruang kerjanya, Jumat (4/11).

 

Mahfud menilai pembentukan pengadilan tipikor daerah terkesan terburu-buru dan asal-asalan sehingga merusak sistem hukum yang ada. Sebab, pembentukan pengadilan tipikor daerah tidak diamanatkan dalam putusan MK atas pengujian Pasal 53 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK pada 19 Desember 2006 yang menyatakan keberadaan Pengadilan Tipikor Jakarta dianggap inkonstitusional karena dibentuk hanya berdasar Pasal 53 itu.

 

“Menurut MK pengadilan tipikor itu harus dibentuk berdasarkan undang-undang tersendiri. Jadi saat itu MK hanya memerintahkan agar memberi payung hukum kepada pengadilan tipikor Jakarta itu agar menjadi konstitusional dalam jangka waktu tiga tahun. MK tidak memerintahkan pembentukan pengadilan tipikor di daerah,” ujar Mahfud

 

Namun, dalam tenggang waktu tiga tahun itu penyusunan UU Pengadilan Tipikor untuk memperkuat pengadilan tipikor Jakarta berjalan lamban. Baru beberapa bulan sebelum masa tenggang tiga tahun itu berakhir UU Pengadilan Tipikor disahkan menjadi UU No 46 Tahun 2009 yang mengamanatkan pembentukan pengadilan tipikor daerah. Padahal, hal itu bukan perintah putusan MK untuk membentuk pengadilan tipikor daerah  

 

“Lalu, DPR dan pemerintah berkreasi untuk membentuk pengadilan tipikor di setiap daerah. Nah, malah kacau, seperti sekarang ini, sehingga berakibat semakin mengacaukan sistem hukum dengan adanya pengadilan tipikor di daerah itu,” kata Guru Besar FH UII Yogyakarta dan FH UGM itu.

 

Untuk itu, ia menyarankan agar pengadilan tipikor di daerah dibubarkan dan setiap perkara tindak pidana korupsi tetap ditangani oleh Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebab, politik hukumnya, KPK merupakan lembaga transisional hingga kejaksaan dan kepolisian lebih efektif dalam menangani kasus korupsi. Hal ini diyakini tidak akan melanggar putusan MK No 16-19/PUU/2006.       

 

“Pengadilan Tipikor seharusnya tetap di Jakarta saja, bagi kasus-kasus korupsi yang tidak bisa diadili Pengadilan Tipikor Jakarta, bisa dialihkan pengadilan negeri daerah masing-masing, seperti sekarang ini, ini lebih murah, efektif, profesional, dan lebih mudah mengawasinya,” sarannya.

 

Namun, penghapusan keberadaan pengadilan tipikor daerah ini perlu merevisi UU Pengadilan Tipikor dengan menghapus eksistensi pengadilan tipikor daerah dan mengembalikan ke pengadilan umum lewat legislative review. “Kalau untuk menghapus itu lewat judicial review ke MK agak sulit karena menjadi pilihan hukum pembentuk undang-undang (legal policy), jadi lebih baik legislative review.”

 

Berdasarkan catatan hukumonline, pengadilan tipikor daerah setidaknya baru-baru ini telah membebaskan 29 terdakwa korupsi. Rinciannya, Pengadilan Tipikor Bandung telah membebaskan tiga terdakwa korupsi; Walikota Bekasi Mochtar Mohammad, Bupati Subang Eep Hidayat, Wakil Walikota Bogor. Lalu, Pengadilan Tipikor Surabaya telah membebaskan sembilan terdakwa, Pengadilan Semarang satu terdakwa.

 

Sementara, Pengadilan Tipikor Tanjung Karang membebaskan dua terdakwa; Bupati Lampung Timur Satono dan mantan Bupati Lampung Tengah Andi Ahmad Sampurna. Terakhir, Pengadilan Tipikor Samarinda telah membebaskan 14 dari 15 terdakwa korupsi dana operasional DPRD Kutai Kartanegara pada 2005 senilai Rp2,6 miliar. Mereka adalah Mus Mulyadi, Abdul Rachman, G Asman Gilir, Suriadi, Suwaji, Sudarto, Rusliandi, Salehuddin, Abu Bakar Has, Abdul Sani, Mahdalena, Sutopo Gasip, Idrus Tanjung, dan Saiful Aduar.  

   

Seleksi ‘abal-abal’

Selain itu, Mahfud juga mengkritik sistem seleksi hakim adhoc tipikor yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) yang terkesan asal-asalan. Pasalnya, sebagian hakim adhoc pengadilan tipikor tidak memiliki pengalaman yang memadai dan pemahaman hukum yang baik.

 

“Sistem seleksinya juga ‘abal-abal’, hakim adhoc tipikor di daerah kadang-kadang ada yang pengangguran, nggak punya pengalaman sebagai jaksa atau hakim, lalu bagaimana bisa membuat pertimbangan hukum yang baik. Ada juga keluhan masyarakat pendaftar dan peminat hakim adhoc di daerah minim, bahkan hakim adhoc tipikor Pengadilan Tipikor  Bandung (Ramlan Comel) pernah jadi terpidana korupsi, tetapi kemudian dibebaskan.”

 

Kritik senada juga dilontarkan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Faridz. Ia menilai secara umum hasil seleksi hakim adhoc tipikor yang dilakukan MA jauh dari harapan. “Kualitas hakim adhoc tipikor jauh dari harapan untuk mengimbangi hakim karier,” kata Donald saat mengajukan permintaan informasi data jumlah hakim tipikor dan kasus-korupsi yang dibebaskan di gedung MA.

 

Menurutnya, figur-figur hakim adhoc tipikor yang dihasilkan banyak diisi para pencari kerja lantaran mengejar target untuk mengisi pembentukan pengadilan tipikor di 33 provinsi. “Makanya wajar banyak terdakwa korupsi yang dibebaskan karena minim kualitas,” katanya.  

 

Ia mengaku pernah memantau proses seleksi wawancara akhir seleksi hakim adhoc tipikor pertengahan 2010 di Mega Mendung. Di situ, dia melihat ada beberapa calon hakim adhoc yang tak bisa membedakan unsur-unsur Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor. “Karena itu, pengadilan tipikor daerah perlu dievaluasi secara menyeluruh termasuk seleksi calon hakim adhoc tipikornya,” sarannya.

 

Melalui pesan singkat (SMS), Juru Bicara MA Hatta Ali mengatakan MA menyerahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang terkait usulan pembubaran pengadilan tipikor daerah. MA, lanjut Hatta, hanya menjalankan perintah undang-undang bahwa dalam kurun waktu dua tahun, pengadilan tipikor di setiap provinsi sudah harus terbentuk.

 

“Kalau ada pemikiran untuk menghapuskan ya tentunya tergantung dari pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR dengan merevisi undang-undang tersebut (UU Pengadilan Tipikor, red),” ujarnya.

Tags: