Buah Pemikiran Prof Retno Murni Soal Penguatan Perlindungan Konsumen
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Buah Pemikiran Prof Retno Murni Soal Penguatan Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen harus didasarkan pada prinsip manfaat, keadilan, harmonis, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum. Sejak 10 tahun lalu, pemerintah disarankan membentuk Kementerian Konsumen seperti di Malaysia dan merevisi UU Perlindungan Konsumen serta aturan lain yang terkait.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof Retno Murni. Foto: Istimewa
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof Retno Murni. Foto: Istimewa

Konsumen sejatinya memiliki hak yang dilindungi secara nasional dan internasional. Salah satunya, pemerintah telah mengatur perlindungan konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, jika dibanding negara lain, praktik perlindungan konsumen di Indonesia masih memprihatinkan.

 

Seperti di Inggris, Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan Jepang, serta beberapa negara di Asia dimana perlindungan konsumen sudah berjalan baik. Persoalan minimnya perlindungan konsumen ini sudah “dipotret” sejak 10 tahun lalu oleh Prof Retno Murni saat pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana pada 21 September 2009 silam. 

 

Dalam orasi ilmiah berjudul “Perlindungan Konsumen Menuju Konsumen Cerdas”, Retno mengupas pentingnya penegakkan hukum terhadap perlindungan konsumen. Dia melihat saat itu ada banyak kasus terkait pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia. Sayangnya, kasus pelanggaran itu belum mendapat perhatian serius, bahkan dianggap sebagai kasus biasa.

 

Kondisi itu yang mendorong Retno mengangkat isu perlindungan konsumen dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar 10 tahun silam itu. “Ketika masih studi doktoral di Newcastle, Inggris, saya melihat perlindungan konsumen disana sangat baik, berbeda dengan di Indonesia,” kata Retno ketika dihubungi belum lama ini.

 

Wanita kelahiran Yogyakarta 26 November 1945 ini melihat kasus perlindungan konsumen di Indonesia terkesan menghebohkan sesaat, tapi kemudian lenyap dan meninggalkan masalah. Ada banyak alasan kenapa konsumen perlu dilindungi. Mengutip Harvey dan Parry (1996), Retno beralasan konsumen perlu dilindungi dari praktik curang atau membahayakan karena tidak ada kesetaraan kekuatan posisi tawar dan keterbatasan pengetahuan.

 

Mengutip Klein (2000), Retno menyebut pada umumnya konsumen menginginkan produk dan jasa yang berkualitas, aman, baik dalam transaksi sederhana maupun kompleks. Namun, ketidakseimbangan di bidang ekonomi, pendidikan, dan posisi tawar sering terjadi di negara berkembang. Ditambah masalah kondisi produksi besar-besaran (mass production), monopoli, dan persaingan korporasi besar.  

 

“Globalisasi semakin memudahkan keluar-masuknya barang, dan transaksinya sekarang berkembang secara daring (cyber), misalnya transaksi bisnis e-commerce,” paparnya. Baca Juga: BPHN Dorong Lahirnya RUU Perikatan

 

Namun, Retno memandang bagaimanapun kondisinya konsumen harus tetap dilindungi dari eksploitasi keuntungan dan kepentingan pelaku bisnis baik nasional maupun multinasional sebagai korban liberalisasi dan berbagai kesepakatan organisasi perdagangan dunia, seperti WTO (World Trade Organization) dan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade).

 

“Tanpa posisi konsumen kuat dan setara dengan pelaku usaha, maka pelaku usaha tidak akan kompetitif, yang tentunya (sebagai salah satu faktor) akan berdampak pada kuat-lemahnya fundamen perekonomian suatu negara,” dalihnya.

 

Alumnus sarjana dan magister Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 1971 dan 1997 ini mengungkapkan dalam ranah hukum internasional, perlindungan konsumen masuk dalam isu HAM. Mengacu deklarasi universal HAM (Duham) dan kovenan Ekosob, setiap orang memiliki hak atas kebutuhan dasar manusia, seperti makanan yang cukup, pakaian, rumah, dan pelayanan sosial lain.

 

Karena itu, Duham dan konvensi PBB mengusulkan seluruh negara untuk merumuskan regulasi perlindungan konsumen. “Konsumen harus mendapat hak mengakses produk-produk tidak berbahaya; mendapat perlindungan terhadap lingkungan; hak sosial dan ekonomi yang layak dan berkelanjutan,” papar wanita yang dikenal sebagai Guru Besar Hukum Bisnis FH Universitas Udayana ini.

 

Dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Retno menilai mayoritas konsumen di Indonesia tidak berdaya menghadapi pelaku usaha karena beberapa faktor. Misalnya, konsumen belum memahami hak-haknya; tingkat pendidikan rendah dan pengaruh budaya safe face; bertendensi menerima apa adanya; terbatasnya peraturan konsumen dan lembaga perlindungan konsumen.

 

Retno mencontohkan konsumen di Bali, sebagian besar tidak tidak mengetahui adanya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, faktor kultur menyebabkan konsumen enggan mengeluh atau komplain. Tidak seperti konsumen di negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat yang berani menuntut dan menggugat. Kalaupun mau menuntut, konsumen di Indonesia umumnya bingung kemana mengadu. Jika melalui mekanisme peradilan juga bakal memakan waktu dan biaya serta belum tentu menang.

 

“Dengan kondisi ini, pelaku usaha memanfaatkan kelemahan konsumen itu untuk mencari keuntungan semaksimal mungkin karena apapun produk dan jasa yang ditawarkan, pada akhirnya konsumen akan menerima apa adanya,” tutur Retno yang tercatat pernah sebagai narasumber dalam Konferensi Nasional Hukum Keperdataan VI dengan topik “Perkembangan Doktrin Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Pembatalan Perjanjian (2019).”

 

Perlindungan konsumen di Indonesia, menurut Retno masih jauh dari harapan. Hanya konsumen tertentu yang kuat ekonominya dan mendapat privilege (hak istimewa). Karena itu, banyak ditemui kasus pelanggaran hak konsumen seperti makanan mengandung formalin atau pengawet lain; makanan dan minuman menggunakan pewarna berbahaya; uang kembalian receh diganti permen yang secara hukum ini pelanggaran karena permen bukan alat tukar yang sah.

 

Lalu, kejahatan yang terjadi di dunia maya; masalah pembelian rumah melalui mekanisme KPR dimana konsumen dirugikan karena tanahnya fiktif; kualitas rumah rendah; dan sertifikat bermasalah. Ada juga kasus pemadaman listrik mendadak, bahkan dalam waktu lama. Kasus fenomenal yang disorot publik yakni kasus Prita Mulyasari. Baca Juga: Urgensi RUU Perlindungan Data Pribadi Masuk Prolegnas Prioritas 2020

 

Penyebab lemahnya perlindungan 

Menurutnya, UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mengatur hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, tapi pelaksanaannya belum optimal, sehingga banyak ditemukan pelanggaran. Salah satu sebab sering terjadinya pelanggaran hak konsumen di Indonesia karena rendahnya tanggung jawab pelaku usaha.

 

Dia menilai regulasi yang ada belum efektif dan saling tumpang tindih, seperti antara UU No.8 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) dan UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ditambah lemahnya penegakan hukum; minimnya perhatian pemerintah terhadap perlindungan konsumen dan badan perlindungan konsumen; serta rendahnya daya kritis konsumen.

 

“Tanpa adanya political will dari pemerintah, model pengaturan yang efektif; penegakkan hukum; penguatan dan pemberdayaan konsumen; pendidikan; kesadaran konsumen sendiri untuk proaktif dan kritis, maka pelanggaran demi pelanggaran akan terus terjadi,” papar Retno yang tercatat sebagai Penasihat Penyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Perikatan yang digagas Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) ini.  

 

Retno mengusulkan pemerintah melakukan kajian dan reformasi (revisi) terhadap UU No.8 Tahun 1999 dan UU/peraturan lain yang terkait perlindungan konsumen. Mengkoordinasikan kebijakan antara lembaga seperti Kementerian Perdagangan, dengan BPOM. Kemudian mengefektifkan dan mengalokasikan anggaran untuk lembaga perlindungan konsumen seperti BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), dan YLPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Masyarakat).

 

Rumitnya masalah konsumen di Indonesia, Retno menyarankan pemerintah membentuk Kementerian Konsumen seperti di Malaysia. Lembaga ini nantinya membuat posisi konsumen sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya. Retno mencontohkan di Inggris, ada program tv di BBC berperan sebagai watchdog yang menayangkan nama-nama produsen yang merugikan konsumen. Ada juga lembaga nonprofit seperti TSI (Trading Standard Institute) yang mengawasi kegiatan bisnis. Lembaga ini memberi pelayanan gratis terhadap konsumen antara lain nasihat, konsultasi, dan penyelesaian sengketa.

 

Dalam memberi perlindungan terhadap konsumen, negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Retno menilai UU No.8 Tahun 1999 juga menganut prinsip tanggung jawab mutlak dan pembuktian terbalik. Dia sependapat perlindungan konsumen tetap harus menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak karena keterbatasan konsumen di bidang pendidikan, informasi, seluk-beluk produksi, dan lainnya, sehingga berat bagi konsumen membuktikan kesalahan produsen.

 

“Perlindungan konsumen juga harus didasarkan pada prinsip manfaat, keadilan, harmonis, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum,” usul Retno kala itu. Baca Juga: Pesan YLKI Agar Konsumen Tak Terjebak Perilaku Komsumtif di Era Digital   

 

Dia juga mendorong kampus dan lembaga penelitian dapat berperan membantu masyarakat mendapat produk berkualitas. Seperti penelitian pakar lingkungan Universitas California, Amerika Serikat, Dara O’Rourke tahun 2009 yang menganalisa dampak sosial dan lingkungan dari rantai penyaluran produk global seperti sabun dan shampo merek tertentu serta produk daur ulang lain. Melalui panduan GoodGuide yang mudah diakses, peneliti itu membantu konsumen memilih produk terbaik.

 

Usulan lain, Retno mengingatkan pendidikan konsumen sangat dibutuhkan. Globalisasi menjadikan para pelaku usaha semakin ketat berkompetisi. Tanpa political will pemerintah mengakomodasi kepentingan dan pencerdasan konsumen (smart consumer) melalui berbagai lini, Indonesia semakin jauh tertinggal dalam aspek perlindungan konsumen dan daya saing pelaku ekonomi yang berakibat lemahnya daya saing Indonesia di bidang ekonomi global.

 

Lalu, bagaimana dengan kondisi perlindungan konsumen di tengah belum direvisinya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan maraknya transaksi bisnis e-commerce (ekonomi digital) dewasa ini?   

Tags:

Berita Terkait