BPOM Beberkan 4 Langkah Penting Terkait Keamanan dan Mutu Obat
Terbaru

BPOM Beberkan 4 Langkah Penting Terkait Keamanan dan Mutu Obat

Belum ada standar baik nasional dan internasional tentang batas cemaran EG/DEG dalam produk jadi. Standar atau batas cemaran itu hanya ada untuk bahan baku. Akibatnya BPOM tidak punya landasan untuk mengecek cemaran EG/DEG dalam produk jadi seperti obat sirop.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito. Foto: ADY
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito. Foto: ADY

Pemerintah masih berupaya menangani kasus gagal ginjal akut yang dialami ratusan anak di tanah air. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus bekerja keras menelusuri berbagai obat sirop. Sebelumnya BPOM melansir ada 133 obat sirop yang tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol sehingga aman sepanjang digunakan sesuai aturan pakai.

Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito, mengatakan akan ada 65 obat sirop lagi yang ditambahkan dalam kategori obat sirop yang aman dikonsumsi itu. Lembaganya sebagai institusi yang melakukan pengawasan obat yang merupakan bagian dari sistem jaminan keamanan dan mutu obat, penting untuk memastikan kejadian serupa tidak berulang kembali.

Sebagaimana diketahui, salah satu penyebab terjadinya peningkatan kasus gagal ginjal akut pada anak sampai menimbulkan ratusan korban tewas yakni adanya obat sirop yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas aman untuk dikonsumsi.

Baca Juga:

Menurut Penny, setidaknya ada 4 langkah yang perlu dilakukan ke depan terkait keamanan dan mutu obat. Pertama, dalam kasus ini ada dugaan kuat terjadi konsentrasi cemaran yang tinggi pada bahan baku atau sumber bahan baku obat sirop. Pada intinya zat pelarut bisa digunakan, tapi batas aman pencemar yang terkandung tidak boleh lebih dari 0,1 persen.

Selain ditemukan pada obat sirop, Penny mengatakan lembaganya menelusuri produk lainnya yang berpotensi menggunakan bahan baku yang mengandung cemaran tersebut. Ke depan, dia berharap BPOM bisa mengendalikan izin impor untuk bahan pelarut tersebut.

Bahan baku yang terkonsentrasi cemaran tinggi itu masuk dalam kategori bahan kimia lainnya, sehingga bukan dalam ranah pengawalan BPOM. Surat Keterangan Impor (SKI) BPOM hanya untuk bahan baku yang digunakan untuk industri farmasi dan obat.

“Cemaran dalam bahan baku itu sebenarnya bisa hilang jika menggunakan proses pemurnian yang tinggi (sehingga layak untuk kebutuhan farmasi dan obat, red), tapi harganya memang tinggi. Hal ini yang menyebabkan penggunaan secara ilegal bisa terjadi,” kata Penny dalam konferensi pers, Kamis (27/10/2022).

Kedua, Penny mengingatkan kewajiban industri, khususnya farmasi dan obat untuk menegakan kendali mutu (quality control). Ketentuan tentang Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) yang diterbitkan BPOM harus dipatuhi. Dalam ketentuan itu mengatur misalnya industri yang menerima bahan baku harus meyakini bahan tersebut aman dan tidak ada pencemarnya. Bahkan jika diperlukan menyambangi produksi bahan baku tersebut. Pada prinsipnya pengawasan obat sangat ketat mulai dari bahan baku yang digunakan.

Ketiga, selama ini belum ada standar baik nasional dan internasional tentang batas cemaran EG/DEG dalam produk jadi. Standar atau batas cemaran itu hanya ada untuk bahan baku. Akibatnya, BPOM tidak punya landasan (kewenangan) untuk mengecek cemaran EG/DEG dalam produk jadi seperti obat sirop. Oleh karena itu, dia mengusulkan Kementerian Kesehatan untuk memasukan standar cemaran EG/DEG itu dalam Farmakope Indonesia.

“Sehingga ke depan BPOM bisa mengawasi cemaran ini pada produk jadi,” ujar Penny.

Keempat, pengawasan salah satunya pada tahap post market. Penny menyebut sistem farmakovigilans dimana ketika ada kejadian yang tidak diinginkan, maka tenaga kesehatan bisa melaporkan secepatnya data dan obat yang digunakan pasien. Dengan pelaporan itu, BPOM bisa menelusuri apakah penyebab sakit atau kematian itu akibat obat atau bukan.

Tags:

Berita Terkait