BPN Segera Tuntaskan Revisi UU Pokok Agraria
Utama

BPN Segera Tuntaskan Revisi UU Pokok Agraria

Badan Pertanahan Nasional hampir menuntaskan draf final revisi Undang-undang Pokok Agraria. Rencananya, dalam waktu dekat draf itu akan segera disampaikan pemerintah ke DPR untuk dilakukan pembahasan.

Tri
Bacaan 2 Menit
BPN Segera Tuntaskan Revisi UU Pokok Agraria
Hukumonline

Berbeda dengan tanah perkotaan, penguasaan terhadap tanah pertanian sudah diatur jelas dalam Undang-undang No.56/Prp/1960. Pembatasan tersebut didasarkan pada tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi, kepadatan penduduk, jenis-jenis dan kesuburan tanahnya, besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya (the best farmsize), serta tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini.

 

Artinya, penetapan maksimum berdasarkan undang-undang adalah paling banyak ( untuk daerah-daerah yang tidak padat) 15 hektar sawah atau 20 hektar tanah kering. Untuk daerah-daerah yang sangat padat, penetapan angka-angka maksimum  adalah masing-masing 5 hektar dan 6 hektar. Jika sawah dipunyai bersama-sama dengan tanah kering, maka batasnya adalah paling banyak 20 hektar, baik di daerah yang padat maupun tidak padat.

 

Sertifikasi

Selain menyiapkan draf RUU revisi UUPA, saat ini BPN juga telah menyiapkan sebuah metode untuk melakukan sertifikasi terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat. Berdasarkan catatan BPN, saat ini baru 25 juta bidang tanah dari 85 juta bidang tanah, yang telah bersertifikat.

 

Untuk meningkatkan kemampuan BPN melakukan sertifikasi terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat, BPN bekerja sama dengan citra lintas satelit sebagai peta dasar. "Kami berharap dengan teknologi yang kami digunakan, BPN bisa melakukan sertifikasi terhadap 2 juta sampai dengan 2,5 juta bidang tanah pertahun," papar Lutfi.

 

Soal sertifikasi ini, beberapa anggota komisi II menyoroti perilaku BPN yang sering mengeluarkan sertifikat ganda terhadap satu bidang tanah. Akibatnya, sering kali terjadi sengketa di pengadilan karena ketidakjelasan kepemilikan atas suatu bidang tanah.

 

Atas pertanyaan-pertanyaan anggota Komisi II itu,  Lutfi mengatakan bahwa saat ini, untuk pendaftaran tanah, BPN merujuk pada sistem dalam UUPA yang mempergunakan sistem stelsel negatif yang bertendensi positif. Artinya, BPN akan mematuhi putusan pengadilan untuk membatalkan penerbitan sertifikat yang ternyata diputuskan cacat hukum. 

 

Namun Lutfi mengeluhkan bahwa tidak jarang putusan pengadilan sulit untuk dilaksanakan. Pasalnya, ternyata ada beberapa putusan pengadilan lain terhadap objek yang sama yang saling bertentangan. Atau objek perkara tidak ada atau telah berubah, sehingga secara teknis maupun yuridis tidak mungkin dilaksanakan eksekusi.

Komisi II DPR selaku pasangan kerja Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kamis (5/02) telah meminta secara tegas agar draf RUU revisi UU Pokok Agraria (UUPA) segera bisa disampaikan ke DPR. "Ini merupakan bagian dari kesimpulan kami dalam rapat kerja dengan BPN," ujar  Abdurrahman Gafar, yang memimpin rapat kerja DPR dengan BPN.

 

Berdasarkan paparan ketua BPN, Prof. Ir. Lutfi I.Nasoetion, ada beberapa perubahan mendasar dalam revisi UUPA yang sedang disiapkan BPN. Salah satunya adalah mengenai penghapusan beberapa hak dalam penguasaan atas tanah. "Saya belum bisa menjelaskan detilnya. Tetapi  ada beberapa hak dalam penguasaan tanah yang akan disatukan," tutur Lutfi dalam rapat kerja dengan komisi II DPR.

 

Selain itu, berdasarkan masukan dari DPR, BPN juga akan mempertimbangkan pembatasan terhadap kepemilikan atas tanah. Namun Lutfi mengungkapkan, bahwa terhadap tanah pertanian, sebenarnya telah ada undang-undang yang membatasi penguasaan tanah oleh seseorang atau badan hukum.

 

Sedangkan mengenai kepemilikan atas tanah perkotaan, BPN mengakui sampai saat ini belum ada pengaturannya. "Kami sebenarnya pernah mengusulkan ada peraturan pemerintah (PP) soal pembatasan kepemilikan atas tanah perkotaan. Yah, maksimum lima kavling atau 5000 m2. Tapi tampaknya itu tidak dipedulikan," tutur  Lutfi.

Tags: