BPK Tolak Audit Ulang 8 Obligor Penerima BLBI
Berita

BPK Tolak Audit Ulang 8 Obligor Penerima BLBI

BPK menolak permintaan Menkeu untuk melakukan audit ulang terhadap 8 obligor BLBI. Hingga Oktober 2006, tak satu pun dari 8 obligor yang menandatangani PKPS-APU

Lut
Bacaan 2 Menit
BPK Tolak Audit Ulang 8 Obligor Penerima BLBI
Hukumonline

Angbintama II BPK I Gusti Agung Made Rai menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan pengauditan ulang terhadap kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Khususnya terhadap permintaan Menteri Keuangan (Menkeu) agar BPK mengaudit ulang 8 obligor penerima BLBI.

 

Agung beralasan, selama ini BPK telah mengaudit semua obligor penerima BLBI. Hasil audit tersebut bahkan sudah diserahkan kepada pemerintah 7 tahun yang lalu. Kalau kami diminta untuk mengaudit ulang, kami tidak memiliki bukti-bukti baru. Karena kalau mengaudit itu perlu adanya bukti baru, wawancara dengan yang diaudit dan bukti-bukti lainnya, ujarnya kepada Hukumonlie di ruang kerjanya di Gedung Utama BPK lantai 8, Jakarta, Selasa (11/10).

 

Kami tidak ingin disalahkan karena kami tidak memiliki bukti-bukti baru. Kami menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Silahkan pemerintah mengaudit ulang sendiri, tambah Agung.

 

Penegasan Agung ini sekaligus menjawab permintaan Menkeu agar BPK memberikan pendapat terkait belum ada kesepakatan mengenai jumlah utang yang harus dibayar dengan para obligor.

 

Kami waktu itu berkomunikasi dengan BPK. Kita sudah dalam rangka untuk mendapatkan suatu posisi apakah para obligornya sudah dianggap pada posisi default (gagal bayar utang, red) atau tidak. Karena dua posisi itu akan menentukan berapa jumlah yang harus dibayarkan para obligor, kata Menkeu Sri Mulyani Indrawati di DPR, Rabu (10/10).

 

Karena adanya perselisihan soal angka yang harus dibayar, Menkeu mengatakan, pihaknya meminta BPK untuk memberikan pandangannya. Dan sesudah itu prosedur selanjutnya adalah akan disampaikan ke DPR.

 

Karena waktu itu rezim pemikirannya apabila ada perbedaan antara klaim yang dianggap oleh obligor sebagai kewajiban mereka dengan klaim yang dianggap pe­merintah, maka ini masuk dalam kriteria perlu masuk dalam UU Nomor 1 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ucap Ani, panggilan akrab Sri Mulyani.

 

Ani mengatakan, pihaknya terus bekerja menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut proses pengembalian uang negara itu. Ada beberapa kemajuan termasuk ada beberapa obligor yang sudah mulai akan membayar kewajibannya. Hanya jumlah kewajiban terakhirnya yang akan kita lihat lagi, ucapnya.

 

Terkait dengan permintaan Menkeu tersebut, anggota BPK ini mengatakan bahwa posisi BPK saat ini tidak akan melakukan audit. Kami hanya akan mereview ulang hasil audit yang pernah kami lakukan, tandasnya.

 

Karena itu, lanjut Agung, jika pemerintah ingin mencocokkan hasil audit BPK dengan hasil audit Departemen Keuangan (Depkeu) harus pada posisi yang sama. Misalnya, BPK terakhir mengaudit BLBI pada 31 Desember 1999, maka hasil audit Depkeu pada tanggal yang sama, baru bisa dicocokkan.

 

Untuk periode 1 Januari 2000 sampai sekarang, Agung mempersilahkan pemerintah untuk mengauditnya sendiri. Jadi, posisinya terserah kepada pemerintah. Kami hanya bertanggung jawab terhadap hasil audit yang kami lakukan sendiri, ujarnya.

 

Mengenai apakah hasil audit BPK ini akan dipakai atau tidak oleh pemerintah, Agung juga menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah.

 

Deadline-nya Desember 2006

Hingga Oktober 2006 belum satu pun dari delapan debitor penerima BLBI yang menandatangani Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham-Akta Pengakuan Utang atau PKPS-APU melunasi utang. Padahal, batas waktu pelunasan adalah Desember 2006. Masalahnya, belum ada titik temu antara pemerintah dan kedelapan debitor tersebut mengenai bentuk pembayaran utang.

 

Upaya penyelesaian ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor 151/KMK.01.2006 tertanggal 16 Maret 2006. Dalam KMK yang mengatur PKPS-APU itu, para debitur harus membayar utang dengan 100 persen tunai, atau campuran dengan near cash.

 

Campuran near cash di sini ditentukan berupa 70 persen tunai dan 30 persen selebihnya dapat dibayar dengan Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Besarnya jumlah uang tunai yang dibayarkan dan aturan komposisi near cash inilah yang kemudian menjadi alasan baru para debitur untuk tak segera melunasi utangnya.

 

Penyelesaian 8 debitur BLBI dalam mekanisme PKPS-APU

 

Nama

Instansi

Besarnya BLBI

Marimutu Sinivasan

Bank Putra Multikarsa

Rp 1,13 triliun

Ulung Bursa

Bank Lautan Berlian

Rp 615,443 miliar

Atang Latief

Bank Indonesia Raya

Rp 325,45 miliar

Lidia Muchtar

Bank Tamara

Rp 202,802 miliar

Omar Putirai

Bank Tamara

Rp 190,169 miliar

Adisaputra Januardy dan James January

Bank Namura Yasonta

Rp 123,042 miliar

Agus Anwar

Bank Pelita dan Bank Istimarat

Rp 1,9 triliun

 

Pemberian kesempatan kepada delapan debitur ini merupakan tindak lanjut rapat koordinasi Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, Kapolri, dan Jaksa Agung, pada 10 Februari 2006, yang memberikan kesempatan pada debitur untuk melunasi utang hingga akhir Desember 2006.

 

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung, Hendarman Supandji, mengatakan komposisi pembayaran utang ini menjadi kendala para debitur untuk melunasi utangnya. Dari semua debitur itu belum ada yang bayar atau berniat melunasi. Niat saja ada, tapi jumlahnya tidak pas, kata Hendarman, Senin (9/10).

 

Menurut Hendarman, pemerintah tetap menginginkan pengembalian utang dalam bentuk cash money alias uang tunai. Sementara, para debitur berkeinginan pembayaran dalam bentuk aset dengan penambahan uang. Hal inilah yang menurut Hendarman belum ditemukan titik temunya.

 

Untuk menyelesaikan masalah ini, sebuah tim kecil lintas sektoral akan dibentuk. Tim kecil ini terdiri dari Kejaksaan, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, BUMN, dan Departemen Luar Negeri, ujar Deputi Senior BI, Miranda Swaray Goeltom.

 

Menurut Miranda, keputusan itu diambil dalam pertemuan yang membahas penanganan permasalahan ekonomi dan perbankan Indonesia, di Kejaksaan Agung. Rapat itu, kata Miranda, belum spesifik membicarakan permasalahan tentang seretnya pengembalian BLBI yang ditargetkan dapat mengembalikan uang negara hingga Rp 4,4 Triliun. Tim kecil yang dibentuk itulah yang diharapkkan dapat mengoptimalkan upaya pengembalian uang negara menurut mekanisme PKPS-APU.  

Tags: