BPK Kurangi Porsi Audit Laporan Keuangan BUMN
Berita

BPK Kurangi Porsi Audit Laporan Keuangan BUMN

Karena terbentur UU BUMN, BPK merasa terhalang mengaudit laporan keuangan seluruh BUMN. Pasalnya, BUMN sudah menunjuk akuntan publik swasta.

Ycb
Bacaan 2 Menit
BPK Kurangi Porsi Audit Laporan Keuangan BUMN
Hukumonline

Nampaknya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) makin gerah. Peran lembaga tinggi negara ini makin terpreteli. Sebelumnya, BPK merasa terhalangi tugasnya mengaudit laporan keuangan pemerintah daerah (pemda). Kali ini, giliran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dianggap coba menjegal BPK.

 

Banyak perusahaan plat merah yang enggan diobok-obok oleh para auditor dari ujung Jalan Gatot Subroto itu. Maklum, BUMN sendiri diatur oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 (UU BUMN). Dalam peraturan perundangan itu, BUMN diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) milik swasta.

 

Padahal, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK mengamanatkan lembaga auditor eksternal pemerintahan ini berhak mengaudit BUMN. Akibatnya timbul inefisiensi lantaran dua auditor masuk, ungkap Widodo H. Mumpuni, Auditor Utama Keuangan Negara V BPK. Bidang V adalah masalah BUMN. Widodo menyampaikannya dalam forum temu wartawan di Gedung BPK, Kamis (31/5).

 

Karena itulah badan yang dipimpin Anwar Nasution ini mulai mengurangi perannya mengulik laporan keuangan BUMN. Jumlah BUMN yang kita audit makin berkurang. Tahun ini cukup sembilan, sambung Widodo. Widodo mencontohkan Perum Bulog dan Perum Peruri, target tahun ini.

 

Tahun lalu, BPK menyatroni empat BUMN. Keempatnya adalah PT PLN, PT Sarana Karya, Perum Perusahaan Film Nasional (PFN), serta Perjan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dari kuartet perusahaan plat merah itu, BPK menemukan Rp221,18 triliun aktiva, Rp81,1 triliun kewajiban, serta modal sebesar Rp139,78 triliun. Total kerugian keempatnya adalah Rp4,92 triliun serta aliran kas Rp5,50 triliun.

 

PLN memperoleh rapor paling cemerlang dengan opini wajar tanpa perkecualian. PFN menyusul dengan pendapat wajar tanpa perkecualian dengan paragraf penjelasan. Sarana Karya beroleh opini tidak wajar. Dan yang terburuk adalah RSCM karena mendapat opini disclaimer (tidak bersedia berpendapat).

 

Ekonom Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM), Revrisond Baswir, menilai BPK harus terus mengawasi keuangan BUMN. Menurut Sonny, panggilan akrabnya, BUMN menghindari BPK lantaran guliran gelombang privatisasi.

 

Padahal, transparansi BUMN lebih terbuka daripada pihak swasta. Mana mau laporan keuangan swasta dibuka luas kepada publik? ujar Sonny. Sonny menduga jajaran pimpinan BUMN cenderung tertutup karena ada pola setoran kepada penguasa politik. BUMN masih jadi sapi perahan.

 

Sonny membantah privatisasi menjamin transparansi dan efisiensi BUMN. Ujar Sonny, keterbukaan tak ada kaitannya dengan penswastaan. KAP yang mengaudit BUMN belum tentu bagus kinerjanya.

 

Pemerintah punya mekanisme transparansi sendiri terhadap BUMN, sambung Sonny. Artinya yah itu tadi. Lewat tangan BPK, kondisi keuangan BUMN bisa dibuka di muka publik. Lebih penting lagi, menurut Sonny, transparansi tidak ada kaitannya dengan untung-rugi sebuah perusahaan. Rapor BUMN ditentukan oleh kualitas laporan keuangan. Buktinya, PLN yang merugi melulu dapat rapor bagus.

 

Sonny mengusulkan adanya penguatan peran BPK via revisi UU BUMN. Atau, kalau masih ngebet memakai jasa KAP, akuntan swasta itu atas tunjukan BPK, bukan rapat umum pemegang saham (RUPS), tuturnya dengan nada menekankan.

 

Menanggapi usulan Sonny, Widodo menjelaskan saat ini memang BPK sedang ancang-ancang membentuk sebuah komite. Komite tersebut bertugas mengevaluasi kinerja KAP yang memeriksa laporan keuangan BUMN.

 

Sonny juga mengusulkan adanya sebuah holding besar yang memayungi BUMN. Tak usah ada Kementerian Negara BUMN. Menurut Sonny, jabatan menteri sarat muatan politik. Karena itulah, BUMN tak akan lepas dari nuansa politik.

 

Bentuklah Badan Pengelola BUMN, atau apapun namanya, ucap Sonny. Tapi, dengan catatan badan tersebut independen seperti BPK. Dengan demikian, tata kelola BUMN bisa steril dari maksud-maksud politis. Dengan demikian, BUMN tak perlu takut lagi diperiksa oleh BPK.

 

Beralih ke Audit Investigasi

Meski mengurangi jatah audit laporan keuangan, bukan berarti BPK lepas tangan dari BUMN. Widodo dan kawan-kawan akan mengutamakan jenis audit dengan tujuan khusus. Tujuan khusus ini sering dikenal dengan audit investigasi. BPK sendiri memang mengenal tiga jenis audit. Selain laporan keuangan dan investigasi, ada lagi jenis pemeriksaan kinerja.

 

Selain bakal uber-uberan dengan manajemen BUMN, audit laporan keuangan butuh waktu lama.

Lagi pula, jenis satu ini hanya menyoroti permukaan. Sedangkan audit investigasi cuma butuh waktu singkat namun bisa mendalam, tukas Widodo memberi alasan.

 

Selama ini, BPK menggunakan jurus investigasi untuk memeriksa pengadaan barang, pemasaran atau penjualan yang menyebabkan piutang negara macet, produksi, serta penghitungan subsidi (BBM, pupuk, listrik, dan kewajiban kepada publik lainnya).

 

Pada semester akhir tahun lalu BPK memindai 28 BUMN dengan realisasi Rp312,10 triliun. Cakupan pemeriksaan BPK mencapai 70,28 persen atau Rp219,35 triliun. BPK menemukan 73 kasus kerugian negara senilai Rp2,48 triliun.

 

Salah satu temuan yang menarik adalah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Perusahaan ini hasil leburan PT Cipta Niaga, Dharma Niaga, Panca Niaga, dan lain-lain. Perusahaan ini mengimpor minuman beralkohol. Pemerintah mendirikan perusahaan ini untuk mengontrol dan membatasi impor serta distribusi minuman yang memabukkan itu.

 

Rupanya, BPK menemukan potensi kerugian negara minimal sebesar Rp19,95 miliar. Dengan perhitungan rata-rata, kerugian negara keseluruhan ditaksir sebesar Rp391,13 miliar. Itu jelas lebih besar dari aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Tapi jauh lebih kecil daripada impor migas, komentar Sonny.

 

BPK memeriksa kegiatan impor anggur, bir, dan semacamnya pada semester akhir 2003 hingga semester awal 2005. BPK menduga adanya kerugian negara lantaran harga impor yang terlalu murah. Padahal, impor minuman alkohol dikenai pungutan, ujar Iman Sufrian, Auditor Bidang V BPK yang terjun langsung menangani PPI. Menurut Iman, pungutan tersebut meliputi bea cukai, bea masuk, pajak penjualan barang mewah (PpnBM), serta pajak pertambahan nilai (PPN).

 

Widodo mengakui bukti transaksi (invoice) memang resmi. Tapi masak harga anggur semurah itu? tukasnya. PPI sendiri mengedarkan komoditasnya kepada Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) serta toko bebas bea. Lantas, Iman cs membandingkan harga per botol dari dua  pihak tersebut. Rupanya memang terdapat selisih harga yang cukup besar. Widodo menjelaskan hasil temuan ini sudah dilempar ke kepolisian untuk penyelidikan lebih lanjut.

 

Apapun caranya, entah dengan pemeriksaan laporan keuangan maupun audit khusus, uang rakyat dalam BUMN kudu terus kita awasi. Benar kan? 

Tags: