BPK Beri Opini LKPP 2013 Wajar Dengan Pengecualian
Utama

BPK Beri Opini LKPP 2013 Wajar Dengan Pengecualian

Terdapat sejumlah persoalan dan perlu evaluasi menyeluruh.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Gedung BPK. Foto: SGP
Gedung BPK. Foto: SGP
Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundangan lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan Hasil Pemeriksaan atas  Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2013 kepada DPR. Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion). Demikian disampaikan Ketua BPK Rizal Djalil dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Selasa (10/9).

Menurut Rizal, terdapat dua permasalahan yang menjadi pengecualian atas kewajaran LKPP tahun 2013, yaitu permasalahan piutang bukan pajak pada Bendahara Umum Negara (BUN) dan permasalahan Saldo Anggaran Lebih (SAL).  Menurutnya, selain opini LKPP hasil pemeriksaan pengedalian intern dan kepatuhan terhadap peraturan perundangan dalam kerangka pemeriksaan laporan keuangan juga terdapat permasalahan yang signifikan.

Pertama, permasalahan subsidi. Dikatakan Rizal, subsidi energi dan subsidi non energi. Perkembangan selama periode 2009 direalisasikan sebesar Rp138,1 triliun. Periode 2010, direalisasikan sebesar Rp192,7 trilun, periode 2011 sebesar Rp295,4 triliun, periode 2012 sebesar Rp346,4 triliun. Sementara 2013 dianggarkan Rp348,1 triliun, dan 2014 dianggarkan Rp333,7 triliun.

Dengan demikian, sepanjang lima tahun terakhir alokasi subsidi berkisar 20 sampai dengan 30 persen total belanja pemerintah pusat. Sedangkan subsisi energi terdiri dari subsidi BBM dan subsidi listrik. Kemudian, subsidi non energi antara lain subsidi pangan termasuk subsidi pupuk.

“Kami mengingatkan kembali hasil pemeriksaan BPK sebelumnya yang menunjukan pemerintah belum memiliki kebijakan dan kriteria yang jelas untuk memastikan ketepatan sasaran realisasi subsidi energi,” ujarnya.

Kedua, permasalahan penerimaan pajak. Menurutnya, realisasi pendapatan pajak tahun 2013 sebesar Rp1,099 triliun. Penerimaan pajak itu dinilai lebih kecil 4 persen dari target yang ditetapkan. Kondisi penerimaan perpajakan dipengaruhi oleh kebijakan pajak, institusi pemungutan pajak dan wajib pajak.

Rizal berpandangan kebijakan perpajakan semestinya mampu mendorong kepatuhan agar masyarakat melaporkan dan membayar kewajiban pajak tepat waktu dan tepat jumlah. Terhadap institusi pajak perlu mendapat perhatian khusus. Apalagi, situasi internal relatif belum kondusif pasca munculnya berbagai kasus pidana yang melibatkan aparatur pajak.

“Internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diharapkan melakukan evaluasi menyeluruh atas kebijakan dan restitusi pajak sehingga mampu memitigasi restitusi pajak yang mengurangi penerimaan pajak dengan tidak semestinya bahkan merugikan keuangan negara,” ujarnya.

Ketiga, permasalahan dana otonomi khusus (Otsus) Papua. Menurutnya, persoalan tersebut disebabkan kelemahan dalam perencanaan dan grand desain kebijakan, kelemahan regulasi pelaksanaan, ketidakcukupan ruang dan peran kekhususan masyarakat Papua dalam pengelolaan dana Otsus. Selama ini, pemerintah dinilai belum melakukan evaluasi bersama dengan pemerintah daerah atas pelaksaan Otsus dan pemberian dana Otsus.

Keempat, permasalahan ketahanan bangsa berupa pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista). Alokasi belanja APBN di bidang pertahanan meningkat tiga kali lipat dari Rp30,7 triliun pada 2007, menjadi Rp92,1 triliun pada 2013. Namun, realisasinya hanyalah sebesar Rp27,8 triliun. Rizal menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi dan kajian terkait komposisi alokasi anggaran belanja di Kementerian Pertahanan.

Kelima, permasalahan pelaksanaan Badan penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menurut pengamatan BPK, kata Rizal, masih terdapat banyak kendala. Misalnya, belum lengkapnya  peraturan pelaksanaan yang mengatur mekanisme BPJS. Selain itu, belum sinkronnya aspek teknis dalam  pelayanan di lapangan. Begitu pula permasalahan dalam proses migrasi dari pengguna Askes menjadi pengguna BPJS kesehatan.

“Untuk itu kami mengharapkan Kementerian Kesehatan dan kementerian terkait untuk bersama-sama membuat mekanisme tersendiri,” ujarnya.

Terhadap laporan tersebut, BPK meminta DPR agar menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKPP oleh pemerintah. Sehingga pemerintahan ke depan dalam mengelola APBN tidak mendapat permasalahan yang sama pada tahun sebelumnya. “Dan kualitas LKPP dapat terus ditingkatkan oleh pemerintah,” ujarnya.

Pimpinan rapat paripurna Sohibul Iman mengatakan, DPR akan menindaklanjuti LHP tersebut. Menurutnya, laporan BPK menjadi evaluasi penting bagi pemerintah ke depan. Setidaknya, opini terhadap LKPP ke depan  menjadi lebih baik. “Ini akan menjadi evaluasi bagi pemerintah,” pungkas Wakil Ketua DPR itu.
Tags:

Berita Terkait