BPJS Perlu Perhatikan Penanganan Penyakit Katatrospik
Berita

BPJS Perlu Perhatikan Penanganan Penyakit Katatrospik

Untuk menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien kepada peserta BPJS.

ADY
Bacaan 2 Menit
BPJS Perlu Perhatikan Penanganan Penyakit Katatrospik
Hukumonline

BPJS Kesehatanyang akan beroperasipada tahun 2014diharapkan memperhatikan pelaksanaan penanganan penyakit-penyakit yang memakan biaya besar atau disebut katastropik. Soalnya, masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah kerap kesulitan mendapat akses pelayanan kesehatan. Menurut direktur pelayanan PT Askes, Fajriadinur, itulah yang menjadi sorotan pemerintah saat ini dalam mempersiapkan pelaksanaan BPJS.

Fajriadinur menyebut beberapa jenis penyakit katatrospik yang paling banyak diderita masyarakat Indonesia diantaranya terkait jantung dan ginjal. Misalnya, untuk orang yang terkena gagal ginjal, dalam kurun waktu yang sangat lama perlu mendapat pelayanan kesehatan yang rutin. Seperti cuci darah, biayanya untuk satu kali pelayanan mencapai Rp600 ribu atau transplantasi ginjal yang memakan biaya mencapai ratusan juta rupiah.

Mengingat BPJS mencakup pelayanan penyakit katatrospik, maka penting untuk diperhatikan efesiensi dan efektifitas pelayanan yang bakal diberikan. Dengan begitu, diharapkan anggaran yang dikeluarkan oleh BPJS akan efektif dengan mutu pelayanan yang bagus. Apalagi, sekarang masyarakat yang menderita gagal ginjal lebih memilih metode cuci darah lewat mesin hemodialisa ketimbang cara lainnya seperti Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan transplantasi ginjal.

Untuk mewujudkan harapan itu, Fajriadinur mengatakan semua pihak harus berperan aktif membantu persiapan pelaksanaan BPJS sesuai keahliannya masing-masing. Mulai dari dokter, rumah sakit (RS) sampai masyarakat. Misalnya, organisasi profesi kedokteran lebih mengerti bagaimana memberi pelayanan kesehatan sesuai dengan panduan klinis. Seperti penanganan kasus gagal ginjal, perihal apa yang mampu dilakukan pelayanan kesehatan dari tingkat dasar sampai lanjutan.

“Diharapkan organisasi profesi dapat membentuk road map untuk pelaksanaan BPJS nanti. Seperti apa pelayanan kesehatan untuk gagal ginjal yang memungkinkan dilakukan agar efektif dan efisien sesuai kendali mutu dan biaya,” katanya dalam acara diskusi yang digelar PT Askes di Jakarta, Rabu (26/6).

Setelah organisasi profesi mampu membentuk konsensus tentang panduan klinis dalam melakukan pelayanan kesehatan, Fajriadinur melanjutkan, pemerintah perlu menerbitkan peraturan untuk menetapkannya. Kemudian BPJS selaku badan penyelenggara tinggal melanjutkan untuk menerbitkan kebijakan operasional yang digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan tugas-tugasnya setiap hari. Jika hal tersebut mampu diwujudkan dengan baik, maka jalan menuju jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia dapat dicapai tanpa hambatan besar.

Walau begitu Fajriadinur mengakui, untuk menyiapkan dan menjalankan BPJS pada tahun depan bukan tugas yang mudah dan butuh kerja keras. Apalagi, pemerintah akan menanggung iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang jumlahnya 86,4 juta orang. “Peserta PBI juga mendapat pelayanan kesehatan yang sama dengan peserta lainnya, termasuk penanganan penyakit katatrospik,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Sub Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Rujukan di Rumah Sakit Pendidikan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), B Eka Anoegrahi Wahjoeni, mengatakan biaya penanganan gagal ginjal berkisar Rp80-250 juta. Selama ini, Kemenkes mencatat mayoritas masyarakat yang mendapat pelayanan kesehatan gagal ginjal menjadi peserta jaminan kesehatan yang biayanya ditanggung pemerintah. Sampai sekarang, ada 11 RS yang mampu menangani transplantasi ginjal di Indonesia. Sedangkan jumlah kasus terkait gagal ginjal mencapai 20 ribu kasus setahun.

Eka melihat dari segi regulasi, masih tergolong minim mengatur soal penanganan kasus gagal ginjal, misalnya transplantasi atau cangkok ginjal. Apalagi, pada pasal 64 UU Kesehatan ditegaskan jual beli organ tubuh, dilarang. Kemudian, regulasi mewajibkan organ tubuh yang didonorkan harus tergolong donor hidup. Sayangnya, di Indonesia jumlah orang yang mendonorkan organ tubuhnya sangat sedikit, rata-rata 15 orang setahun.

Persoalan lainnya dalam menangani gagal ginjal yaitu ketersediaan mesin dialisis atau cuci darah masih terbatas. Sehingga pasien baru yang membutuhkan bantuan mesin tersebut harus mengantri. “Dalam sehari, satu mesin dialisis hanya mampu menangani 6 pasien,” tukasnya.

Dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan tahun depan, Eka mengatakan pelayanan kesehatan yang dicakup meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis habis pakai. Sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Serta manfaat jaminan kesehatan yang akan diperoleh terdiri dari manfaat medis dan non medis. Cakupan tersebut juga berlaku untuk peserta yang mengidap penyakit katastropik seperti terapi kanker, operasi jantung, thalassemia, hemodialisa dan transplantasi organ.

Sementara dokter ahli ginjal sekaligus pengurus PB Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), Rully Roesli, mengatakan sebagai organisasi profesi dokter ginjal Pernefri sudah menyiapkan sistem rujukan sebagaimana diatur dalam Permenkes tentang Persyaratan Membuat Unit Dialisis. Sehingga, pada pelaksanaan BPJS nanti ada tahapan rujukan yang akan ditangani oleh dokter pelaksana dan penanggungjawab yaitu dokter umum yang mendapat pendidikan khusus hemodialisis.

Sayangnya, pelaksanaan sistem rujukan itu pada praktiknya di lapangan kurang maksimal. Sehingga Rully menganggap Kemenkes perlu memperkuat sistem rujukan tersebut agar mampu berjalan baik. Selain itu Rully melihat ada penanganan yang luput diperhatikan selama ini, yaitu menyangkut penderita gagal ginjal akut. Pasalnya, pasien tersebut membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih intensif. Untuk itu, ke depan dalam pelaksanaan BPJS, penderita gagal ginjal akut perlu diatur agar mendapat pelayanan kesehatan.

Tak ketinggalan Rully mengingatkan pemerintah sebagai regulator dan PT Askes selaku badan pelaksana BPJS Kesehatan harus memperhatikan dampak lainnya dalam melakukan penanganan penyakit gagal ginjal. Seperti memperbaiki dan meningkatkan infrastruktur misalnya mesin cuci darah dan sumber daya manusia. Hal tersebut dirasa penting untuk menjamin berjalannya BPJS Kesehatan dalam menangani penyakit katatrospik, khususnya gagal ginjal.

Serta perlu mencegah potensi ledakan pasien gagal ginjal yang membutuhkan pelayanan kesehatan ketika BPJS beroperasi tahun depan. Pasalnya, Rully mencatat setiap satu juta penduduk diperkirakan ada 400 orang menderita gagal ginjal. “BPJS kan tidak boleh menolak peserta yang membutuhkan pelayanan kesehatan, termasuk cuci darah akan dicakup BPJS. Untuk hal itu, siap apa tidak pemerintah menganggarkan dana talangan untuk tangani kasus katastropik,” pungkasnya.

Tags: