BPJS Dituntut Tegakkan Hukum
Berita

BPJS Dituntut Tegakkan Hukum

Tindak tegas fasilitas kesehatan yang tidak menunaikan kewajiban sesuai perjanjian kerjasama.

ADY
Bacaan 2 Menit
BPJS Dituntut Tegakkan Hukum
Hukumonline
Sebagai badan penyelenggara program jaminan kesehatan nasional (JKN) BPJS Kesehatan punya kewenangan untuk mewakili peserta ketika berhadapan dengan pihak ketiga. Misalnya, berhadapan dengan fasilitas kesehatan (faskes) dan penyedia obat-obatan. Karena itu tidak ada alasan untuk tidak menegakkan hukum bagi pihak ketiga yang tidak menjalankan isi perjanjian.

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Budi Hidayat, mengatakan BPJS Kesehatan bisa mewakili peserta untuk mencari "produk" yang sesuai dengan kebutuhan pesertanya. Sehingga dalam menjalin kerjasama dengan pihak ketiga BPJS Kesehatan dapat menegaskan kalau peserta harus dilayani. Ketika faskes tidak menjalankan kewajiban, misalnya tidak bersedia melayani peserta, BPJS harus berani melakukan tindakan tegas.

Budi yakin BPJS punya ‘modal’ besar untuk melakukan tindakan tegas. Selain mewakili kepentingan peserta, BPJS adalah badan hukum publik independen yang punya kewenangan berdasarkan undang-undang. "Harus ada instrumen yang memberi hukuman kepada faskes tersebut," kata Budi dalam acara yang diselenggarakan Elkape di Jakarta, Kamis (10/12).

Jika persoalan teknis semacam itu tidak segera diselesaikan Budi khawatir peserta JKN tidak puas. Lambat laun masyarakat menilai program JKN buruk secara keseluruhan. Padahal asuransi sosial bermanfaat, dan berkontribusi besar mengubah sistem kesehatan di Indonesia, termasuk pembiayaan. Selama ini pembiayaan mengacu pada banyaknya tindakan dan obat yang diberikan kepada pasien. Sebaliknya, JKN menggunakan mekanisme pembayaran borongan atau paket yang tercantum dalam INA-CBGs. Untuk faskes tingkat pertama seperti klinik dan puskesmas menggunakan kapitasi. Sistem pembiayaan itu menuntut faskes untuk efektif dan efisien dalam melayani pasien.

Walau begitu Budi mengakui mekanisme pembiayaan itu mengakibatkan faskes mengubah praktik pelayanan. Misalnya, mengingat dibayar secara kapitasi ada klinik yang tidak melayani peserta selama 24 jam, tapi dibatasi hanya jam tertentu. Begitu pula dengan RS yang dibayar lewat INA-CBGs, ada pasien yang tindakan medisnya harus diberikan dalam beberapa episode. Sehingga pasien harus kembali lagi ke RS dengan membawa rujukan baru.

Dalam sejarah perasuransian, baik komersil dan sosial, Budi melihat selalu ada pertentangan antara badan penyelenggara asuransi dengan penyedia pelayanan kesehatan. Itu terjadi secara alamiah karena masing-masing pihak punya pandangan berbeda. Penyedia layanan biasanya ingin semua klaim dibayar, sebaliknya badan penyelenggara ingin biaya yang dikelola cukup untuk membayar klaim. Untuk itu harus ada tata kelola yang baik guna meminimalisasi pertentangan tersebut.

Budi mengusulkan rasionalisasi tarif. Besaran iuran JKN harus bisa membiayai manfaat atau pelayanan yang diperoleh peserta sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan. Rasionalisasi tarif tidak melulu menaikan besarannya, tapi memperkecil jarak tarif antara diagnosis penyakit. Misalnya, RS swasta dan pemerintah yang kelasnya setara dibayar dalam paket tarif yang sama. Padahal beban biaya di RS swasta lebih tinggi karena tidak mendapat subsidi atau bantuan dari pemerintah.

Budi berharap panitia seleksi (pansel) calon anggota direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan bisa mencermati persoalan itu dengan baik. Sehingga mampu memilih calon yang dapat membenahi berbagai masalah yang dihadapi dalam implementasi JKN. "BPJS punya posisi tawar yang kuat untuk menghadapi penyedia pelayanan kesehatan karena mewakili pembeli (peserta)," ujarnya.

Anggota DJSN, Ahmad Anshori, mendukung upaya penegakan hukum harus dilakukan dalam implementasi JKN. Untuk tata kelola, ia melihat BPJS Kesehatan berpeluang besar melakukan pembenahan dalam komunikasi dan edukasi kepada masyarakat. Sejalan dengan itu peserta penerima upah (PPU) harus ditingkatkan kepesertaannya. Menurutnya peserta PPU relatif sehat, sehingga iurannya bisa dikelola untuk memperkuat keuangan BPJS Kesehatan. "Upaya BPJS Kesehatan untuk mendorong peningkatan PPU selama ini belum cukup. Harusnya BPJS Kesehatan lebih banyak lagi merekrut peserta sehat," urainya.

Untuk fasilitas dan infrastruktur pelayanan kesehatan Anshori menilai jumlahnya belum cukup memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebarannya belum merata. Bagi DJSN masalah ini harus jadi prioritas pemerintah untuk diselesaikan tahun depan. Untungnya, anggaran Kementerian Kesehatan dalam RAPBN 2016 cukup besar. Diharapkan anggaran itu dapat digunakan secara maksimal untuk meningkatkan fasilitas dan infrastruktur pelayanan kesehatan.

Selain itu DJSN menilai orang lanjut usia (lansia) belum mendapat perhatian khusus dalam pelayanan kesehatan. Misalnya, masih banyak faskes yang tidak menyediakan loket pelayanan khusus untuk lansia. Kemudian, Anshori menyebut biaya kesehatan semakin meningkat karena inflasi. Hal itu ditengarai mempengaruhi kecukupan tarif INA-CBGs terhadap realisasi pelayanan kesehatan di RS.

Persoalan juga dihadapi dalam ketersediaan obat. Anshori mengatakan tidak semua obat yang tercantum dalam formularium nasional masuk dalam e-catalog. Padahal pengadaan obat, khususnya untuk program JKN harus mengacu pada e-catalog. Akibatnya ada sebagian peserta JKN yang harus membeli obat sendiri.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mendukung BPJS Kesehatan menegakkan hukum dalam rangka memberi kepastian terhadap peserta untuk memperoleh pelayanan terbaik. Namun, ia mengingatkan agar penegakan hukum dilakukan secara obyektif sehingga tidak merugikan peserta. Misalnya, ketika ada RS yang melakukan kecurangan (fraud) seperti mengajukan klaim ganda. BPJS harus menindak oknumnya, bukan RS secara kelembagaan.

"Kalau kerjasama dengan RS itu diputus dikhawatirkan mengurangi ketersediaan faskes untuk peserta. Saya usulkan oknumnya saja yang dipidanakan," tukasnya.

Timboel menegaskan agar BPJS Kesehatan melayani peserta selama 24 jam setiap hari. Harus ada petugas BPJS Kesehatan yang berjaga di faskes seperti RS selama 24 jam. Sehingga peserta yang mengalami kendala dapat langsung ditangani oleh petugas tersebut. Dengan begitu diharapkan peserta tidak kesulitan ketika menghadapi masalah untuk mendapat pelayanan kesehatan.
Tags:

Berita Terkait