BPJPH Belum Siap, Sertifikasi Halal Dikembalikan ke LPPOM MUI
Berita

BPJPH Belum Siap, Sertifikasi Halal Dikembalikan ke LPPOM MUI

Keputusan ini dinilai tepat agar tidak mengganggu iklim bisnis dan usaha di Indonesia.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW

Tertanggal 17 Oktober 2019 lalu, proses pengurusan sertifikasi halal resmi beralih ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Beralihnya fungsi sertifikasi halal yang sebelumnya berada di Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) adalah amanat dari UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

 

Jauh hari sebelum BPJPH mendapatkan mandat mengurusi soal sertifikasi halal, banyak pihak yang mempertanyakan kesiapan lembaga di bawah Kementerian Agama tersebut. BPJPH dinilai belum layak untuk menyelenggarakan sertifikasi halal lantaran sistem dan infrastruktur yang belum memadai.

 

Setelah melihat banyaknya hambatan pelaksanaan sertifikasi halal di bawah BPJPH, Kementerian Agama (Kemenag) akhirnya mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal. Aturan ini diterbitkan oleh Kemenag sebagai bentuk diskresi untuk melaksanakan UU JPH.

 

KMA itu berisi delapan poin yang pada intinya mendistribusikan tugas dan wewenang BPJPH tentang pemeriksaan dan pengujian kehalalan produk. Jika merujuk pada UU JPH, BPJPH bertugas untuk membentuk 57 Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), namun sayangnya hingga hari ini LPH yang dimaksud belum tersedia. Sehingga, Kemenag memutuskan untuk mengembalikan kewenangan tersebut kepada LPPOM MUI.

 

KMA 982 Tahun 2019:

KESATU: Menetapkan Iayanan sertihkasi halal meliputi kegiatan:

  1. pengajuan permohonan sertifikat halal;
  2. pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk;
  3. pengkajian ilmiah terhadap hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk;
  4. pelaksanaan sidang fatwa halal; dan
  5. penerbitan sertifikat halal.

KEDUA: Kegiatan layanan sertifikasi halal sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU dilaksanakan oleh:

  1. BPJPH untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KBSATU huruf a dan huruf e;
  2. MUI untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU huruf c dan huruf d; dan
  3. LPPOM-MUI untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU huruf b.

KETIGA: Layanan sertifikasi halal sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU dikenakan tarif layanan yang dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertilikat halal.

KEEMPAT: Besaran tarif layanan sertifikasi halal sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

KELIMA: Dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai besaran tarif layanan sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPAT belum ditetapkan, besaran tarif layanan sertifikasi halal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada MUI dan LPPOM-MUI yang memberikan layanan sertifikasi halal sebelum ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan terkait jaminan produk halal berlaku.

KEENAM: Dalam hal besaran tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KELIMA lebih rendah atau lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan terkait tarif iayanan sertilikasi halal yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, pengenaan tarif layanan sertifikasi halal akan disesuaikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud.

KETUJUH: Ketentuan teknis pelaksanaan layanan sertifikasi halal akan dibahas dan disepakati dalam bentuk Perjanjian Kerja Sama antara BPJPH, MUI, dan LPPOM-MUI.

KEDELAPAN: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan terkait tarif layanan sertifikasi halal.

 

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, menilai jika keputusan Kemenag untuk mengembalikan kewenangan pemeriksaan dan pengujian halal ke LPPOM MUI adalah keputusan yang tepat. Hal tersebut bertujuan agar UU JPH tetap dapat dijalankan sekalipun BPJPH dan infrastruktur lainnya belum siap.

 

“Itu sudah tepat. Dengan begitu, UU JPH tetap dapat dijalankan dengan memberikan kewenangan kepada LPPOM MUI yang selama ini menjalankan fungsi tersebut,” katanya di Jakarta, Senin (23/12).

 

Dengan demikian, lanjutnya, proses sertifikasi halal tetap bisa berjalan tanpa harus mengganggu iklim bisnis dan usaha di Indonesia. (Baca: Kesiapan Pemerintah Terapkan Kewajiban Sertifikasi Halal Dipertanyakan)

 

Sebelumnya, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Ahmad Suaedy, mengatakan pemerintah melalui BPJPH belum memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanan program wajib sertfikasi halal kepada seluruh pelaku usaha nasional.

 

Pasalnya, terdapat lonjakan besar jutaan pelaku usaha mendaftarkan produknya untuk memperoleh sertifikasi halal. Namun, komponen penting seperti auditor, lembaga penjamin halal serta aturan teknis belum terpenuhi hingga saat ini.

 

“Kami sejak 2016 pantau persiapan Kemenag mengenai implementasi jaminan produk halal. Kami temukan LPH dan kantor wilayah BPJPH belum siap yang seharusnya tersebar di daerah. Lalu juga auditor belum merata masing-masing wilayah. Aturannya (teknis) juga belum ada harus dipersiapkan,” jelas Suaedy saat ditemui di Jakarta, Rabu (25/9) lalu.

 

Menurut Suaedy, kondisi tersebut akan mengganggu dunia usaha sebab pemerintah tidak mampu melayani pelaku usaha yang ingin mendapatkan sertifikasi halal. “Ini (aturan) belum komprehensif. Bagaimana dengan usaha mikro dan UMKM? Kami tanya ada 70 juta UMKM ternyata baru 1 juta yang terfasilitasi,” jelas Suaedy.

 

Sejak berlakunya aturan ini, pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikasi halal akan mendapatkan sanksi pidana dan denda. Lebih lanjut, Suaedy mengkhawatirkan akan ada jutaan pelaku usaha terancam sanksi akibat belum memenuhi kewajiban tersebut. Dia mengimbau agar pemerintah menyosialisasikan tenggat waktu kepada para pihak agar tidak terjadi kriminalisasi.

 

Kami khawatir kalau ada main hakim sendiri. Jangan sampai masyarakat yang paham UU menyatakan bagi mereka yang belum ada label halal digeruduk (kriminalisasi). Ini harus diwaspadai jangan sampai merugikan masyarakat,” tambahnya.

 

Keraguan terhadap pemerintah menerapkan sertifikasi halal ini juga disampaikan pelaku usaha. Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Rachmat Hidayat, menjelaskan aturan ini dapat mengancam bisnis UMKM.

 

“Usaha mikro terancam karena sertifikasi halal ini jadi license to operate atau tidak boleh jualan lagi kalau tidak sertifikasi halal,” jelasnya.

 

Dia juga menyambut baik ada komitmen pemerintah untuk memberi tenggat waktu selama lima tahun kepada pelaku usaha dalam memberlakukan sanksi tersebut. Menurutnya, selama periode tersebut, pemerintah harus gencar menyosialisasikan aturan dan membina pelaku usaha kecil untuk memenuhi kewajiban sertifikasi halal.   

 

Tags:

Berita Terkait