BPHN Dorong Lahirnya RUU Perikatan
Utama

BPHN Dorong Lahirnya RUU Perikatan

RUU tentang Perikatan didesain sebagai sub kodifikasi dan kodifikasi hukum perikatan nasional.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Seiring berkembang pesatnya aspek-aspek hukum perikatan yang diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) akhirnya mendorong Rancangan Undang-Undangan (RUU) tentang Perikatan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Usul tersebut lahir atas berbagai pertimbangan dari berbagai aspek serta kajian baik teoritis maupun empiris.

 

Kepala BPHN Prof R. Benny Riyanto mengatakan, BPHN melihat ada beberapa hal baru yang memang perlu diakomodir dalam RUU Perikatan, antara lain perkembangan penggunaan asas-asas hukum kontrak yang bersumber pada konsep ekonomi Syariah seperti pada kegiatan keuangan dan perbankan. RUU tentang Perikatan, katanya, didesain sebagai sub kodifikasi dan kodifikasi hukum perikatan nasional.

 

Penting dipikirkan, lanjutnya, perlu dipertimbangkan apakah nantinya RUU tentang Perikatan tersebut akan didorong menjadi suatu kodifikasi atau sebatas modifikasi. Jika diKodifikasi, maka dilakukan penyusunan atau penetapan peraturan perundang-undangan secara sistematis mengenai bidang hukum yang luas dan dikumpulkan dalam suatu kitab. Sedangkan jika sistem pengaturan RUUnya adalah modifikasi, maka arah pengaturannya lebih condong pada peraturan perundang-undangan yang menetapkan peraturan baru.

 

Baik itu kodifikasi maupun modifikasi, tentu tetap ada kelebihan maupun kekurangan dari masing-masing skema tersebut. Bila konsep kodifikasi yang digunakan, maka kekurangannya, butuh waktu lama untuk membentukan dan seringkali lebih lambat dari perkembangan hukum itu sendiri. Akan tetapi, sekalipun kosep modifikasi tidak membutuhkan waktu lama untuk membentuknya, akan tetapi pengubahan yang dilakukan bersifat tambal sulam atau sektoral dan tersebar di beberapa undang-undang.

 

“Teuku  M Radhie (Kepala BPHN Periode 1984-1988) meyakini perlunya kodifikasi dilakukan terhadap area-area hukum yang mendasar (basic law) seperti hukum pidana, perdata, acara pidana, dan acara perdata. Namun, pendapat Hamid S. Attamimi (Wakil Sekretaris Kabinet) memiliki pandangan mendahulukan modifikasi, dalam arti membuat undang-undang tersendiri yang mencabut atau mengubah kodifikasi dan/atau membentuk undang-undang sektoral sebanyak mungkin guna mengisi kebutuhan yang lebih pragmatis dalam rangka mendukung pembangunan nasional,” kata Prof R Benny dalam rilis sewaktu menjadi narasumber salam Seminar Nasional Pembentukan UU tentang Perikatan Nasional di Universitas Airlangga, Sabtu (27/4).

 

No.

Perkembangan Isu Pengaturan RUU tentang Hukum Perikatan

1

Semakin banyak upaya atau kecenderungan privatisasi berbagai urusan-urusan publik dan/atau yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang sebenarnya menjadi tugas dan wewenang badan-badan publik (government contracts, project financing, dsb)

2

Terjadi proses konvergensi asas-asas dan aturan yang bersumber pada KUHPerdata (yang berakar dari tradisi Civil Law dengan asas-asas dan aturan yang tumbuh di dalam tradisi Common Law)

3

Terjadi proses divergensi yang cukup signifikan di dalam praktik terhadap asas-asas dan aturan-aturan hukum kontrak yang dimuat dalam Buku III KUH Perdata melalui Yurisprudensi

4

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963, perihal gagasan menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai undang-undang

5

Perkembangan penggunaan asas-asas hukum kontrak yang bersumber pada ekonomi Syariah di berbagai aktivitas komersial

6

Tumbuhnya pandangan-pandangan berbagai kalangan yang mengingatkan pentingnya

 

BPHN sebetulnya telah memiliki inisiatif menyusun Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan tentang Hukum Perikatan tersebut sejak 1994 silam. Kurang dua dekade kemudian, tepatnya tahun 2013 BPHN mendorong kembali konsep tersebut dengan menerbitkan Naskah Akademik tentang RUU Hukum Kontrak. Disebut Benny, terdapat dua perbedaan cukup mendasar dalam poin-poin Naskah Akademik 1994 dengan Naskah Akademik 2013. Setidaknya ada tiga kata yang menjadi kunci: perikatan, perjanjian, dan kontrak.

 

“BPHN mendorong pembaharuan hukum keperdataan, khususnya terkait Perikatan di Buku III KUH Perdata, dengan cara mendorong masuk Prolegnas Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024. Apabila sudah berhasil masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 maka perlu strategi persiapan untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahunan,” ungkapnya.

 

(Baca: Urgensi UU Perikatan Bergema dalam Konferensi Pengajar Hukum Keperdataan)

 

Sebelumnya, Ketua Umum APHK, Yohannes Sogar Simamora, mengatakan BW atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata warisan Belada yang disusun pada 1848 sudah sangat usang, sehingga diperlukan aturan-aturan baru untuk mengatur fenomena-fenomena hukum yang tidak diatur dalam KUH Perdata.

 

“BW yang jadi sumber hukum perjanjian kita itu sudah sangat usang. Apalagi sekarang di Belanda sudah dibikin kitab UU Hukum Perdata yang baru termasuk di dalamnya tentang hukum perjanjian atau hukum kontrak,” kata Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya itu.

 

Belanda sendiri memang sudah memiliki Nieuw Burgerlijk Wetboek yang sudah mengakomodasi perkembangan hukum perdata terbaru. Isinya sudah sangat berbeda dibanding BW yang dulu diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Meskipun demikian, APHK tak melakukan revisi terhadap hukum perjanjian Buku III BW.

 

Menurut Sogar, APHK lebih ingin membuat suatu RUU Perikatan tersendiri. Dalam proses pembentukannya, mau tidak mau, tetap harus merujuk pada BW, ditambah yurisprudensi dan perbandingan dengan beberapa negara lain seperti Jerman, Belanda, Perancis, dan Jepang, dan sumber hukum dari model-model hukum termasuk perkembangan kontrak dagang internasional.

 

Tags:

Berita Terkait