Boy Mardjono, Soe Hok-Gie, dan Keadilan Bagi Orang Miskin
Profil

Boy Mardjono, Soe Hok-Gie, dan Keadilan Bagi Orang Miskin

Semasa hidupnya, Soe Hok-Gie pernah mengungkapkan keprihatinannya atas hukum dan keadilan, lalu bercerita tentang Boy Mardjono dan Yap Thiam Hien.

Mys/Amr-Klinik
Bacaan 2 Menit

 

“Hok-Gie memikirkan nasib orang yang tertindas,” Madjono melanjutkan ceritanya. Dan ketertindasan yang dihujat Hok-Gie itu sering ditimbulkan oleh lulusan sarjana hukum yang kebetulan menjalankan profesi polisi, jaksa, atau hakim. Mengapa sarjana hukum kok terkesan membiarkan ketertindasan itu terjadi?

 

Hok-Gie menuliskan kegelisahannya melihat para sarjana hukum. “Ada suatu hal yang saya tidak mengerti tentang Fakultas Hukum di Indonesia,” ia memulai. “Begitu banyak tahanan yang ada, yang terkatung-katung nasibnya di penjara. Dan ada begitu banyak mahasiswa Fakultas Hukum, beribu-ribu, dan hampir tiap universitas (entah berapa ratus jumlahnya) mempunyai fakultas hukum”.

 

Sebaiknya, kata Hok-Gie, ribuan mahasiswa harus mengurus suatu perkara yang terkatung-katung di kotanya sebelum mereka lulus, atau mengurus sebuah kasus pelanggaran hukum, katakanlah penyerobotan. Sehingga, mahasiswa hukum tadi dapat melihat secara konkrit “tahanan-tahanan yang kurus, polisi-polisi yang menjadi maling, ibu-ibu yang kemudian menghayatinya secara lebih emosional”. Tentu tujuannya jelas: “agar hukum tidak menjadi teori-teori yang njlimet dan pasal-pasal sekian, dan nomor-nomor mati dari suatu Undang-Undang”.

 

Bagi Hok-Gie, “lebih berguna mengurus perkara seorang tukang sayur yang disewenang-wenangi oleh polisi daripada mengurus suatu seminar besar yang tak dapat dilaksanakan”.

 

Itulah kegelisahan Hok-Gie melihat pendidikan hukum dan orang-orang yang bergelut di dalamnya. Itu pula sebabnya ia begitu tergugah melihat kiprah advokat Yap Thiam Hien membela orang-orang yang diperlakukan tidak adil. Hok-Gie ingat betul pesan Yap. “Tiap hari saya menghadapi ketidakadilan. Dari jam delapan sampai jam dua belas, orang-orang datang pada saya, menceritakan, dan meminta tolong mengurus perkaranya”. Tapi, Yap hanya satu dari sekian banyak sarjana hukum yang idealismenya terbakar melihat kenyataan sehari-hari melihat ketidakadilan. Yang lain? Begitu banyak lembaga pendidikan melahirkan sarjana hukum, namun ketidakadilan itu masih saja menghantui. Apakah pendidikan hukum tidak berhasil?

 

*****

 

Kegelisahan Hok-Gie tentang pendidikan hukum mengingatkan Mardjono tentang perjalanan dan dinamika pendidikan hukum di Indonesia. Selesai memangku jabatan Dekan Fakultas Hukum UI, Mardjono diminta Prof. Mochtar Kusumaatmadja menjadi Sekretaris Konsorsium Ilmu Hukum. Konsorsium ini bertugas menyusun kurikulum fakultas hukum. Hasil kerja tim ini dikenal sebagai Kurikulum Fakultas Hukum 1992.

 

Mardjono mengakui ada kelemahan pada Kurikulum 1992. Pertama, tidak mempersiapkan mahasiswa untuk praktik. Dengan kata lain, pendekatannya sangat teoritis. Kedua, tidak memperhitungkan pengenalan atau respon mahasiswa terhadap masalah-masalah sosial yang ada di sekitarnya. Ketiga, masa belajar terlalu lama.

Tags: