Boy Mardjono, Soe Hok-Gie, dan Keadilan Bagi Orang Miskin
Profil

Boy Mardjono, Soe Hok-Gie, dan Keadilan Bagi Orang Miskin

Semasa hidupnya, Soe Hok-Gie pernah mengungkapkan keprihatinannya atas hukum dan keadilan, lalu bercerita tentang Boy Mardjono dan Yap Thiam Hien.

Mys/Amr-Klinik
Bacaan 2 Menit

 

Pertemuannya dengan Hok-Gie terjadi puluhan tahun silam. Adalah buku “Soe Hok-Gie…Sekali Lagi” terbitan Desember 2009 yang kembali memutar kenangan Mardjono. Bertepatan pula, pada bulan yang sama, Mardjono meluncurkan bukunya “Menyelaraskan Pembaruan Hukum”. Diluncurkan Komisi Hukum Nasional (KHN) bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia 2009, buku Mardjono memuat kegelisahan intelektualnya atas perkembangan hukum di Tanah Air, kegelisahan yang pernah dirasakan pula oleh Hok-Gie.

 

 

******

Memori tentang diskusi-diskusi kecilnya dengan Hok-Gie terungkap kembali ketika kami menemuinya suatu siang di lantai tiga kantor Komisi Hukum Nasional, awal Februari 2010. Sebelum kami tiba, rupanya ia sudah menunggu beberapa menit. Tepat pada waktu yang dijanjikan, ia datang menyambut kami di ruang tamu. “Selesai wawancara, saya masih harus rapat.” Kalimat Profesor Mardjono Reksodiputro itu menggambarkan kesibukan dan kesungguhannya memanfaatkan waktu.

 

Ia seorang yang berdisiplin dengan waktu, rupanya. Sehari sebelum pertemuan, ia menghubungi kami, memastikan waktu wawancara. Selagi wawancara berlangsung, ia didampingi dua orang staf.

 

Sesekali memorinya kembali ke masa-masa setelah ia pulang dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Tak lama setelah pulang dari sana tahun 1967, Mardjono diserahi tugas mengepalai Lembaga Kriminologi UI. Kantornya tak jauh dari kantor rektor UI di Salemba. Sekarang gedung kriminologi itu dipakai sebagai toko buku-buku hukum dan kafe. Pada saat mendapatkan amanah tugas itulah ia berkenalan dengan Hok-Gie. “Saya kenal dengan Hok-Gie setelah pulang dari Amerika Serikat,” ujarnya.

 

Boy Mardjono –begitu ia dikenal- mengingat-ingat lagi perkenalannya pertama kali. “Saya memang dekat dengan sejawaran Onghokham. Ia sering main ke rumah. Onghokham itu kenal dekat dengan Soe Hok-Gie. Dari Onghokham pula saya kenal Parsudi Suparlan, yang pernah nulis tentang gembel dan orang-orang miskin di kolong jembatan”.

 

Pertautan lain datang dari nama Syahrir dan Marsillam Simanjuntak. Keduanya adalah aktivis kampus dan pengurus Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada). Mardjono juga pengurus organisasi mahasiswa itu. Karena itu, Syahrir dan Marsillam sering datang ke kantor Mardjono. Pada saat bersamaan, Hok-Gie adalah teman dekat Syahrir dan Marsillam.

 

Bukan sekali saja Hok-Gie menyambangi Mardjono di kantornya. Kalau lagi diskusi, Hok-Gie biasanya banyak berbicara tentang keadilan—tema yang juga diangkat advokat Yap Thiam Hien. Hok-Gie geram dan acapkali menanyakan hakim-hakim Indonesia yang terlalu berpikir positivistik. “Kalau dihubungkan dengan pemikiran sekarang, pemikiran dan keprihatinan Hok-Gie mungkin bisa dicocokkan dengan hukum progresif buah pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo”.

Tags: