Borosnya Biaya Pembuatan Undang-Undang
Berita

Borosnya Biaya Pembuatan Undang-Undang

Sebuah undang-undang minimal menghabiskan Rp1 miliar.

ADY
Bacaan 2 Menit
Uchok Sky Khadafi, Koordinator Investigasi dan advokasi Seknas FITRA. Foto: Sgp
Uchok Sky Khadafi, Koordinator Investigasi dan advokasi Seknas FITRA. Foto: Sgp

Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebut Pemerintah dan DPR menghamburkan uang rakyat dengan cara tak masuk akal. Pasalnya, anggaran miliaran rupiah dari APBN digunakan hanya untuk menyusun dan membahas sebuah rancangan Undang-Undang (RUU).

Koordinator Investigasi dan advokasi Seknas FITRA, Uchok Sky Khadafi mengatakan, untuk menyusun satu RUU usulan DPR, anggaran yang digunakan sekitar Rp1,8 miliar di tahun 2011 dan meningkat menjadi Rp5,2 miliar pada tahun 2012.  Itu baru tahap penyusunan.

Uchok menandaskan, dalam proses pembentukan sebuah RUU melewati beberapa tahapan. Lagi-lagi APBN kembali disedot untuk membiayai berbagai tahapan yang dilewati itu. Dari data yang dihimpun, Ucok menjelaskan tiap Komisi di DPR mempunyai patokan ‘tarif’ yang berbeda-beda untuk membahas sebuah RUU.

Selain Komisi, jenis RUU yang dibahas pun mempengaruhi harga. Misalnya, RUU ratifikasi pada tahun 2012 dibandrol Rp1 miliar dan RUU pemekaran wilayah Rp2,8 Miliar. “Seperti pembentukan Kabupaten atau Provinsi baru,” kata Uchok dalam jumpa pers di kantor FITRA Jakarta, Minggu (30/12).

Kegiatan lain yang berhubungan dengan pembahasan RUU juga menghabiskan biaya yang tak sedikit. Misalkan kegiatan rapat untuk membentuk RUU memakan anggaran Rp114 juta. Pencetakan Rp44 Juta, mengundang pakar Rp100 Juta dan konsinering (jalan-jalan) Rp567 juta. Serta kunjungan kerja di dalam negeri Rp843 juta dan luar negeri Rp3,2 miliar. 

Dari sederetan RUU yang dibahas di DPR, Uchok menambahkan, ongkos paling besar yang dialokasikan negara digunakan untuk membahas RAPBN, besarannya lebih dari Rp20 miliar.

Pemborosan anggaran itu menurut Uchok bukan hanya dalam membahas RUU usulan DPR, tapi juga usulan Pemerintah.  Bahkan juga tak jarang terjadi dobel anggaran dalam pembahasan RUU usulan pemerintah. Pasalnya, Kementerian yang bersangkutan mengalokasikan anggaran untuk pembahasan RUU yang mereka usulkan.

Bagi Uchok, rakyat jelas dirugikan dengan adanya dobel alokasi anggaran RUU, karena alokasi anggaran itu ada di DPR dan Pemerintah. Serta, besaran anggaran yang dikeluarkan negara kadang tak berbanding lurus dengan kualitas UU yang dihasilkan.

Lemahnya pengawasan dan pengawalan masyarakat atas alokasi anggaran itu menurut Uchok membuka potensi besar penghamburan uang rakyat. Uchok menilai selama ini mekanisme pertanggungjawaban yang ada atas alokasi anggaran tersebut kepada masyarakat, tidak jelas. 

Anggaran Operasional Presiden
Selain itu Uchok menyoroti anggaran operasional taktis Presiden yang terealisasi sebesar Rp102 miliar. Karena, mengacu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I 2012, penggunaan dana operasional taktis yang berkode BA 999.08 tak sesuai dengan peruntukkannya.

Menurutnya, dana operasional taktis Presiden itu mestinya untuk membiayai kegiatan yang sifatnya sangat penting dan insidensial atau ad hoc. Tapi praktiknya, dana itu digunakan Presiden untuk biaya operasional rutin seperti kunjungan kerja VVIP Presiden beserta rombongan, rapat kerja pemerintah dan bantuan sosial.

Dana operasional taktis itu bukan hanya digunakan Presiden, tapi juga Wakil Presiden. Uchok menjelaskan, Wakil Presiden menggunakan dana itu untuk bantuan kemasyarakatan dan biaya operasional Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Khusus untuk bantuan kemasyarakatan, besaran dana yang terealisasi dari BA.999.08 sebesar Rp11,5 miliar. 

Uchok menjelaskan pemberian bantuan itu diberikan kepada anggota masyarakat atas persetujuan Wakil Presiden. Biasanya, anggota masyarakat yang ingin meminta bantuan, meminta permohonan kepada Wakil Presiden lewat Sekretaris Wakil Presiden atau pejabat tertentu.

Alih-alih membantu masyarakat lewat dana operasional taktis itu, Uchok justru menilai hal itu hanya digunakan Presiden dan Wakilnya untuk pencitraan. Baik di dalam atau luar negeri. Apalagi penggunaan dana tersebut menabrak sejumlah peraturan yang ada seperti UU keuangan Negara. Uchok mengimbau agar Presiden dan Wakilnya menjadi contoh baik bagi jajaran kabinetnya, sehingga tidak menghamburkan uang negara dan tak menyalahi aturan yang ada. “Presiden memboroskan anggaran untuk pencitraan,” ucapnya.

Atas dasar itu Uchok mengusulkan agar dana operasional taktis itu dikembalikan ke pos yang semestinya, yaitu berkode BA.007. Pos anggaran BA.007, mengacu aturan yang ada, menurut uchok memang dikhususkan untuk belanja rutin kepentingan operasional Presiden.

Jika sudah dikembalikan, maka dana itu tak bermasalah digunakan untuk belanja operasional rutin Presiden.

Tags: