Boediono Patahkan Klaim Syafruddin Soal Persetujuan Penghapusbukuan Hutang Petambak
Berita

Boediono Patahkan Klaim Syafruddin Soal Persetujuan Penghapusbukuan Hutang Petambak

Boediono mengaku dalam Ratas tanggal 11 Februari 2004 tidak pernah mengambil keputusan untuk dilakukan penghapusan hutang petambak sebesar Rp 2,8 triliun.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Mantan Wakil Presiden Boediono saat bersaksi di sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7). Foto: RES
Mantan Wakil Presiden Boediono saat bersaksi di sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7). Foto: RES

Mantan Wakil Presiden RI Boediono dihadirkan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi atas dugaan kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. Boediono hadir dalam kapasitasnya sebagai mantan Menteri Keuangan sekaligus mantan anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

 

Dalam keterangannya, Boediono mengatakan ada pembahasan mengenai kewajiban penyelesaian hutang petambak. Usulan dari BPPN saat itu agar utang tersebut diperingan, namun Boediono mengaku lupa berapa jumlahnya.

 

Selain itu, BPPN yang dipimpin Syafruddin tidak pernah membahas adanya utang petambak yang macet sebesar Rp4,8 triliun. Belakangan, jumlah ini menjadi akibat misspresentasi yang dilakukan Sjamsul Nursalim.

 

"Yang dibahas beban petambak Rp135 juta menjadi Rp100 juta, semacam itu kalau gambaran besarnya itu. (Misspresentasi) tidak pernah dibahas," ujar Boediono di persidangan, Kamis (19/7/2018). Baca Juga: Syafruddin Tak Ingin Sjamsul Nursalim Tanggung Hutang Petambak

 

Penuntut umum KPK Haeruddin pun memastikan hal ini dengan membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). "Apakah Kepala BPPN SAT melaporkan kepada KKSK mengenai temuan misrep tentang PT DCD dan PT WM (perusahaan Sjamsul Nursalim), jelaskan? Kepala BPPN SAT tidak melaporkan kepada KKSK tentang misrepresentasi DCD dan WM sebesar Rp4,8 triliun atas pelaksanaan FGD Ernest and Young?" tanya Jaksa yang langsung dibenarkan Boediono.

 

Boediono juga membenarkan adanya saran dari Syafruddin agar hutang petambak sebesar Rp2,8 triliun dihapusbukukan. Usulan itu disampaikan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 di Istana Negara.

 

Penuntut umum kembali membacakan BAP milik Boediono. "Benar saya pernah ikut ratas 11 Februari 2004 yang membahas utang petambak plasma Rp4,8 triliun. Adapun pembahasan Kepala BPPN menjelaskan utang petambak Rp3,9 triliun dan atas Rp3,9 triliun itu dihitung utang petambak Rp1,1 triliun. Dan sisanya Rp2,8 triliun diusulkan Kepala BPPN diusulkan write off?" kata Jaksa membacakan BAP Boediono.

 

"Saya kira memang begitu kalau seingat saya memang ada usulan write off angkanya," jawab Boediono membenarkan keterangannya.

 

Selanjutnya, dalam rapat tersebut ternyata juga tidak pernah diputuskan jika usulan penghapusbukuan itu disetujui. "Kemudian bahwa sampai akhir sidang kabinet, tidak ada kesimpulan yang dibacakan. Jadi sampai selesai (tidak ada keputusan)," kata Boediono.

 

Menurut Boediono, Syafruddin tidak pernah menjelaskan soal landasan hukum dalam usulannya tersebut. Seingatnya, Syafruddin memberikan penjelasan yang terkesan tidak ada masalah misrepresentasi dalam utang BDNI.

 

"Kesan kami, dianggap tidak ada masalah, misrepresentasi itu kami tidak mengetahui," kata Boediono.

 

Menurut jaksa, pada kenyataannya Syafruddin tetap melakukan penghapusbukuan yang hingga saat ini pun penghapusbukuan itu sudah seperti penghapustagihan, sebab hutang Sjamsul Nursalim itu belum kunjung dibayar.

 

Dalam surat dakwaan Syafruddin mengklaim ia sudah mendapat persetujuan penghapusbukuan hutang petambak sebesar Rp2,8 triliun. Pada tanggal 12 Februari 2004, Syafruddin mengirimkan Ringkasan Eksekutif BPPN tertanggal 12 Februari 2004 yang isinya hampir sama dengan dokumen Ringkasan Eksekutif BPPN tanggal 16 Januari 2004 kepada KKSK.

 

Pada pokoknya, ia selaku Ketua BPPN mengusulkan agar KKSK memutuskan antara lain penghapusan atas porsi hutang unsustainable petambak plasma + Rp. 2,8 Triliun sesuai Sidang Kabinet Terbatas pada tanggal 11 Februari 2004 dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN, khususnya Pasal 26 dan Pasal 53. Padahal, Ratas tanggal 11 Februari 2004 tidak pernah mengambil keputusan untuk dilakukan penghapusan.

 

Selanjutnya, pada tanggal 13 Februari 2004, dengan berpedoman pada usulan Ringkasan Eksekutif BPPN yang dibuat dan ditandatangani Syafruddin, Dorojatun Kuntjoro-jakti selaku Ketua KKSK melalui Keputusan No. KEP. 02/K.KKSK/02/2004 yang menyetujui nilai hutang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp100 juta.

 

Dengan penetapan nilai hutang maksimal tersebut, maka dilakukan penghapusan atas sebagian hutang pokok secara proporsional sesuai beban hutang masing-masing petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta denda.

Tags:

Berita Terkait