BNI Syariah Keberatan Disebut Badan Publik
Sengketa Informasi:

BNI Syariah Keberatan Disebut Badan Publik

BNI Syariah ajukan keberatan atas putusan KIP.

HRS
Bacaan 2 Menit
BNI. Foto: SGP
BNI. Foto: SGP

PT Bank BNI Syariah memutuskan menempuh keberatan terhadap putusan Komisi Informasi Pusat (KIP). Bank ini juga menuding Komisi melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Sidang atas upaya keberatan itu berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (19/11).

Sebagaimana ditulis dalam berkas keberatan, sengketa informasi berawal pada 19 Januari 2012. Kala itu, PT Rolika Caterindo mengajukan permohonan informasi verifikasi jaminan suatu perusahaan ke BNI Syariah. Permohonan itu ditolak sehingga berbuntut sengketa informasi publik. Rolika membawa kasus ini ke Komisi Informasi Pusat.

Dalam proses sidang di KIP, BNI Syariah memakai ‘amunisi’ Pasal 1 angka 3 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. BNI Syariah mengklaim tak bisa dikualifikasi sebagai Badan Publik apalagi BUMN yang dibebani kewajiban memberikan informasi publik.

Perwakilan BNI Syariah berargumen bahwa perusahaannya adalah Bank Umum Swasta yang hanya tunduk pada tiga regulasi, yaitu UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Ahli yang didatangkan BNI Syariah juga memperkuat argumen itu dengan menyatakan BNI Syariah adalah bank swasta nasional, sedangkan BNI (Persero) Tbk adalah BUMN.

Status BNI Syariah juga diperkuat dengan Surat Keterangan dari Kementerian BUMN tertanggal 31 Agustus 2012. Surat keterangan tersebut menyatakan BNI Syariah bukanlah BUMN karena modalnya sebagian besar tidak dimiliki oleh negara, melainkan oleh BNI sehingga tidak ada penyertaan modal secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan di dalam anak perusahaan BUMN.

Majelis komisioner KIP menepis argumen termohon, dan menyatakan Komisi berwenang memeriksa permohonan. Majelis komisioner dipimpin Amiruddin, pada 18 Desember 2012, memutuskan memerintahkan BNI Syariah untuk memberikan dokumen yang diminta pemohon.

Putusan itu dinilai BNI Syariah menyalahi aturan. “Ini bertentangan dengan Pasal 1 angka 3 UU KIP,” tulis kuasa hukum BNI Syariah, Bayu Septian dalam permohonan keberatannya.

Lantaran melanggar ketentuan itu, lanjut Bayu, KIP telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Karenanya, BNI Syariah meminta ganti rugi material sejumlah Rp500 juta dan ganti rugi immaterial senilai Rp1 miliar.

Kuasa Hukum KIP Nawawi Bahrudin menilai argumentasi BNI Syariah tidak berdasar hukum. Menurutnya, meskipun suatu lembaga bukanlah BUMN atau badan hukum publik, sepanjang institusi tersebut mendapatkan aliran dana dari APBN/APBD, KIP berwenang memeriksa perkara.

“Mereka (BNI Syariah, red) mendapatkan pendanaan dari bank induknya, yaitu dari bank BNI konvensional,” tutur Nawawi kepada hukumonline ketika ditemui di PN Jakarta Pusat, Selasa (19/11).

Begitu pula dengan argumentasi BNI Syariah yang menyatakan tidak tunduk pada UU KIP. Menurutnya, pernyataan tersebut mengandung nuansa perlawanan terhadap keterbukaan informasi publik. Apabila BNI Syariah berkeberatan untuk memberikan informasi kepada Rolika, BNI Syariah seharusnya dapat memberikan bukti yang kuat jika informasi yang diminta termasuk dalam informasi yang dikecualikan menurut UU KIP. Dengan demikian, BNI Syariah tidak berkewajiban untuk membuka informasi tersebut.

Pasal 17 UU KIP mengecualikan informasi yang boleh tak dibuka ke publik, di antaranya (i) informasi publik yang apabila dibuka dan diberikankepada pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakan hukum; (ii) Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat, dan (iii) Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara.

“Apabila Pengadilan Negeri mengalahkan Komisi Informasi Pusat, ini bisa membahayakan keterbukaan informasi publik. Ini bisa jadi modus, yaitu perusahaan BUMN yang ingin menyembunyikan informasi dapat berlindung dengan cara membuat anak-anak perusahaan,” pungkasnya.

Tags: