Blokir 803 Aplikasi, Pemerintah Diminta Proaktif Cegah Fintech Ilegal
Berita

Blokir 803 Aplikasi, Pemerintah Diminta Proaktif Cegah Fintech Ilegal

Karena berbagai pelanggaran hukum kerap terjadi pada perusahaan penyelenggara fintech ilegal.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika. Foto: RES
Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika. Foto: RES

Praktik layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (pinjaman onlineatau financial technology peer to peer lending terus mendapat sorotan berbagai pihak karena terus menimbulkan masalah. Mulai dari tingkat suku bunga yang tidak wajar, penggunaan data pribadi yang merupakan pelanggaran yang berujung merugikan masyarakat sebagai nasabah.

 

Kepala Sub Direktorat Pengendalian Konten Internet, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Anthonius Malau mengatakan pihaknya akan menindak tegas bagi para perusahaan fintech yang melanggar hukum dalam kegiatan usahanya. Dia menilai seharusnya kehadiran fintech memberi dampak positif bagi perekonomian masyarakat.

 

"Kami mendorong pemanfaatan teknologi untuk memajukan perekonomian. Namun, akan bertindak tegas jika industri fintech ini disalahgunakan," kata Malau usai diskusi mengenai Fintech Lending dan Permasalahannya di Kantor Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta, Jumat (08/03/2019) seperti dikutip dari situs Kemenkominfo.

 

Kegiatan diskusi itu dihadiri oleh perwakilan Ombudsman RI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Bank Indonesia.

 

Sebagai salah satu upaya mengantisipasi kegiatan fintech ilegal, Kemenkominfo dapat melakukan pemblokiran aplikasi tersebut. Kemenkominfo mengingatkan akan memblokir aplikasi financial technology ilegal sesuai laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, hingga saat ini, total sebanyak 803 aplikasi fintech ilegal telah diblokir.

 

"Setelah mendapatkan laporan dari OJK. OJK beri data untuk diblokir lalu dilakukan pemblokiran," kata Antonius Malau. Baca Juga: Miliki Potensi Besar di Pasar Fintech, OJK Concern Lindungi Masyarakat

 

Bahkan, Malau menegaskan saat ini Kemenkominfo terus melakukan penyisirian di media online dengan mesin artificial intelligence (AI) untuk mencegah munculnya aplikasi layanan fintech ilegal baru. "Kominfo crawling media online untuk mencari fintech-fintech yang ilegal," tegasnya.

 

Di sisi lain, kata Malau, pemerintah terus berupaya memberikan perlindungan kepada konsumen melalui pembuatan regulasi di sektor ini. "Pemerintah sudah berupaya untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi ke Prolegnas 2019," paparnya.

 

Lebih lanjut, Malau melanjutkan tidak semua penyelenggara fintech melakukan pelanggaran hukum. Dia pun mengingatkan agar masyarakat memanfaatkan fintech terdaftar dan berizin dari OJK. Menurutnya, fintech terdaftar dan berizin tersebut lebih aman karena mendapat pengawasan dari otoritas dibanding perusahaan fintech yang belum berizin (ilegal).

 

Sementara itu, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menyebutkan keberadaan fintech diperlukan di Indonesia karena akan memudahkan transaksi industri keuangan. "Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, apabila dilakukan secara konvensional atau offline akan memerlukan biaya yang tentunya tidak sedikit. Disinilah fintech hadir untuk mengurangi beban biaya itu,” katanya.

 

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih meminta pemerintah untuk lebih proaktif mencegah maraknya fintech ilegal. "Pemerintah harus memperketat registrasi kartu prabayar untuk mengurangi potensi penyebaran fintech ilegal melalui pesan singkat (SMS). Registrasi kartu prabayar diperketat lagi," sarannya. 

 

Sebelumnya, LBH Jakarta mencatat telah menerima 1.330 pengaduan korban pinjaman online dari 25 Provinsi di Indonesia. Berdasarkan pengaduan yang diterima, LBH Jakarta mendapati setidaknya 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online.

 

Pengacara Publik LBH, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online. Hal ini terbukti dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan foto KTP dan foto diri peminjam.

 

Alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP dan foto diri peminjam kemudian disimpan, malah disebarkan bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online. LBH Jakarta juga mencatat penyelenggara aplikasi pinjaman online mengakses hampir seluruh data pada gawai peminjam. Hal ini menjadi akar masalah penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam yang tentunya pelanggaran hak atas privasi.

 

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, 48 persen pengadu menggunakan 1-5 aplikasi pinjaman online. Bahkan, ada juga pengadu yang menggunakan hingga 36-40 aplikasi pinjaman online. Banyaknya aplikasi pinjaman online yang digunakan karena pengadu harus mengajukan pinjaman pada aplikasi lain untuk menutupi bunga, denda atau bahkan provisi pada pinjaman sebelumnya.

 

“Hal ini menyebabkan pengguna aplikasi pinjaman online terjerat lingkaran setan penggunaan aplikasi pinjaman online,” kata Jeany seperti dikutip dari website LBH Jakarta.

 

Ironisnya dan lebih buruk, 25 dari 89 penyelenggara aplikasi pinjaman online yang dilaporkan kepada LBH Jakarta merupakan penyelenggara aplikasi yang terdaftar di OJK. Hal ini menunjukan bahwa terdaftarnya penyelenggara aplikasi pinjaman online di OJK, tidak menjamin minimnya terjadinya pelanggaran di industri bisnis model ini.

 

Untuk diketahui, sebagai bentuk perlindungan kepada konsumen dan masyarakat secara berkelanjutan, Satgas Waspada Investasi memberi tiga tips pinjaman Fintech Peer-To-Peer Lending. Pertama, lakukanlah pinjaman pada fintech yang terdaftar di OJK. Kedua, pinjaman sesuai kebutuhan dan kemampuan. Ketiga, pinjaman untuk kepentingan produktif. Keempat, pahami manfaat, biaya, bunga, jangka waktu, denda dan risiko.

 

Informasi mengenai daftar entitas fintech peer-to-peer lending yang terdaftar di OJK dapat diakses melalui www.ojk.go.id. Masyarakat juga dapat berkonsultasi kepada OJK sebelum memanfaatkan layanan fintech peer to peer lending melalui kontak OJK 157 atau email ke [email protected].

 

Hingga Februari 2019, sudah terdapat 99 perusahaan fintech peer-to-peer lending yang terdaftar dan berizin OJK. Khusus untuk perusahaan yang berizin dan terdaftar di OJK, berbagai ketentuan sudah dikeluarkan oleh OJK dan AFPI dalam rangka untuk melindungi konsumen peminjam (deditur) dan pemberi pinjaman (kreditur). 

Tags:

Berita Terkait