Blokir 803 Aplikasi, Pemerintah Diminta Proaktif Cegah Fintech Ilegal
Berita

Blokir 803 Aplikasi, Pemerintah Diminta Proaktif Cegah Fintech Ilegal

Karena berbagai pelanggaran hukum kerap terjadi pada perusahaan penyelenggara fintech ilegal.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Di sisi lain, kata Malau, pemerintah terus berupaya memberikan perlindungan kepada konsumen melalui pembuatan regulasi di sektor ini. "Pemerintah sudah berupaya untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi ke Prolegnas 2019," paparnya.

 

Lebih lanjut, Malau melanjutkan tidak semua penyelenggara fintech melakukan pelanggaran hukum. Dia pun mengingatkan agar masyarakat memanfaatkan fintech terdaftar dan berizin dari OJK. Menurutnya, fintech terdaftar dan berizin tersebut lebih aman karena mendapat pengawasan dari otoritas dibanding perusahaan fintech yang belum berizin (ilegal).

 

Sementara itu, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menyebutkan keberadaan fintech diperlukan di Indonesia karena akan memudahkan transaksi industri keuangan. "Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, apabila dilakukan secara konvensional atau offline akan memerlukan biaya yang tentunya tidak sedikit. Disinilah fintech hadir untuk mengurangi beban biaya itu,” katanya.

 

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih meminta pemerintah untuk lebih proaktif mencegah maraknya fintech ilegal. "Pemerintah harus memperketat registrasi kartu prabayar untuk mengurangi potensi penyebaran fintech ilegal melalui pesan singkat (SMS). Registrasi kartu prabayar diperketat lagi," sarannya. 

 

Sebelumnya, LBH Jakarta mencatat telah menerima 1.330 pengaduan korban pinjaman online dari 25 Provinsi di Indonesia. Berdasarkan pengaduan yang diterima, LBH Jakarta mendapati setidaknya 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online.

 

Pengacara Publik LBH, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online. Hal ini terbukti dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan foto KTP dan foto diri peminjam.

 

Alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP dan foto diri peminjam kemudian disimpan, malah disebarkan bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online. LBH Jakarta juga mencatat penyelenggara aplikasi pinjaman online mengakses hampir seluruh data pada gawai peminjam. Hal ini menjadi akar masalah penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam yang tentunya pelanggaran hak atas privasi.

Tags:

Berita Terkait