Blak-blakan Pengurus Soal Fee dalam Perkara PKPU
Feature

Blak-blakan Pengurus Soal Fee dalam Perkara PKPU

Pembayaran fee pengurus dalam perkara PKPU tak selamanya berjalan mulus. Meski terlihat mendapatkan bayaran dengan angka fantastis, namun nyatanya proses pembayarannya kerap mengalami berbagai kendala. Bahkan ada pengurus yang harus mengikhlaskan hak atas jasanya karena kondisi debitur yang sudah tidak sanggup membayar.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 6 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Kira-kira tiga tahun silam, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat) menunda membacakan putusan pada salah satu perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Penyebabnya karena belum ditemukan kesepakatan antar para pihak mengenai besaran nilai imbal jasa atau fee untukPengurus. Adapun debitur yang dimaksud dalam perkara PKPU tersebut adalah PT Karya Citra Nusantara (KCN). Sementara pihak yang memohonkan PKPU adalah advokat Juniver Girsang.

PKPU tersebut pun berakhir damai. Hakim pengawas mengambil jalan tengah dengan merekomendasikan fee pengurus sebesar 1,5 persen dari total tagihan, jauh dari usulan yang diajukan pengurus sebelumnya yakni sebesar 5 persen. Jika sudah ditetapkan oleh hakim pengawas, maka semua pihak, baik itu kreditur maupun pengurus wajib menjalankan putusan.

Persoalan fee pengurus ini memang kerap menjadi perdebatan. Manakala di saat debitur berada dalam situasi keuangan yang sulit, mereka juga dibebankan untuk membayar fee pengurus saat PKPU berakhir damai. Namun penetapan fee ini rupanya memiliki mekanisme tersendiri. Pengurus tak serta merta mendapatkan bayaran atas jasa yang mereka berikan pasca PKPU berakhir damai. Dalam proses pembayarannya, pengurus tidak selalu menerima bayaran dalam bentuk cash, tetapi juga menggunakan sistem cicil.

Baca Juga:

Sebenarnya, penetapan besaran fee pengurus disepakati melalui negosiasi antara kedua belah pihak, untuk kemudian diserahkan kepada hakim pengawas. Dalam sesi wawancara bersama Hukumonline, Sekjen Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Nien Rafles Siregar, menyebut bahwa penetapan fee pengurus didasarkan pada Permenkumham No.18 Tahun 2021 tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus.

Penetapan angka fee pengurus tentu tak bisa dilakukan secara suka-suka atau pukul rata. Rafles mengatakan ada variabel-variabel tertentu yang menjadi pertimbangan pengurus dan juga debitur untuk menyepakati besaran fee. Rafles pun memiliki standar sendiri saat bernegosiasi terkait fee, yakni menggunakan perhitungan hourly basis.

Saat menangani perkara PKPU, Rafles mengaku dirinya selalu melihat dari dua sisi, baik sisi debitur maupun pengurus saat negosiasi fee. Beban pekerjaan yang dia lakukan dalam penyelesaian PKPU hingga berakhir dengan perdamaian sangat mempengaruhi fee yang dia tawarkan. Fee PKPU yang diselesaikan dalam kurun waktu 45 hari, lanjutnya, tidak akan sama dengan fee PKPU yang diselesaikan dalam waktu yang lebih lama, bahkan mencapai waktu maksimal. Kemudian kondisi keuangan dan kemampuan debitur dalam membayar fee pengurus turut menjadi faktor lain dalam negosiasi.

“Kasus-kasus PKPU itu nggak bisa dipukul rata, ada yang 45 hari selesai, ada yang sampai 270 hari selesai, ada yang krediturnya cuma 10, ada yang krediturnya 1000, ada yang asetnya sedikit, ada asetnya banyak, ada yang proposal perdamaiannya sederhana dan problem yang kompleks. Nah ini tentu menentukan ya, jadi tidak bisa pukul rata. Dan kemampuan bayar juga. Dari dua faktor ini bernegosiasi lah pengurus dengan debitor,” terang Rafles.

Hukumonline.com

Sekjen Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Nien Rafles Siregar.

Namun dengan selesainya negosiasi, nyatanya tidak menjamin pengurus akan langsung mendapatkan bayaran atas jasanya. Raffles mengaku, tak sedikit debitur yang mengajukan skema cicilan untuk membayar fee yang pengurus terima. Dan ini merupakan hal lumrah dalam PKPU yang selama ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat awam.

Hal senada juga disampaikan oleh praktisi hukum kepailitan Resha Agriansyah. Saat menjadi pengurus dalam berbagai kasus PKPU, memang dilakukan negosiasi saat menentukan besaran fee. Pada pembicaraan itu, kata Resha, tak hanya sekedar membahas fee tapi juga menentukan mekanisme pembayaran yang disanggupi oleh debitur, apakah bisa dilakukan secara cash atau dengan cicilan. Tentunya terdapat jaminan bahwa fee tersebut akan dibayarkan oleh debitur.

“Dari kasus PKPU yang saya ditangani, 50:50 persen lah (antara cash dan cicilan),” aku Resha.

Setelah menemukan angka yang cocok dalam bernegosiasi, hakim pengawas-lah pada akhirnya yang akan menentukan, apakah fee pengurus tersebut dirasa pantas diterima atau tidak. Resha menegaskan dirinya selalu menempatkan rasa kemanusiaan dalam bernegosiasi terkait fee dan mengedepankan keberlangsungan usaha debitur.

Tapi tak jarang terjadi wanprestasi dari debitur. Jika pengurus berada dalam situasi ini, maka posisi pengurus adalah menjadi pihak yang menunggu sembari mengingatkan debitur untuk menyelesaikan kewajibannya. Sebagai pengurus, Resha selalu berupaya memahami kondisi debitur yang mengalami kesulitan ekonomi. Tak sedikit dirinya menerima pembayaran fee melewati waktu yang disepakati. Pun demikian, Resha menolak untuk melakukan upaya hukum, meskipun hal itu dimungkinkan.

“Kalau saya sih tidak pernah melakukan itu, meskipun ada beberapa debitur yang terlambat atau tidak bayar sama sekali. Menunggu saja,” tutur Founder and Managing Partner Resha Agriansyah Partnership.

Dicicil Hingga Mengikhlaskan Fee

Selama berkarier menjadi pengurus PKPU, Resha mengalami banyak hal. Salah satunya adalah kehilangan fee yang selayaknya diterima. Hal itu terjadi ketika finansial debitur tak kunjung membaik, atau mungkin usaha debitur tutup. Keputusannya untuk tak mengambil langkah hukum lantaran adanya pertimbangan tak ingin menyulitkan debitur yang sudah dalam keadaan tidak mampu membayar, meskipun dirinya berhak menagih imbalan jasa tersebut.

 Fee yang tidak dibayarkan dianggap Resha sebagai ladang ibadah baginya. Upaya yang dia lakukan hanyalah mengingatkan debitur untuk segera melunasi kewajibannya tanpa melakukan upaya hukum. Jika tak kunjung dilunasi, dia memilih untuk mengikhlaskan. Baginya, gugatan perdata kepada debitur pun dirasa akan percuma jika kondisi keuangan debitur sudah memprihatinkan, bahkan tak lagi memiliki aset.

Hukumonline.com

Founder and Managing Partner Resha Agriansyah Partnership, Resha Agriansyah. Foto: Istimewa

“Perusahaan itu kan di awal mengalami kesusahan, kemudian memakai jasa kami sebagai pengurus. Misalnya mereka tidak mampu membayar, ya mau bagaimana lagi. Karena kami kan profesi, biasalah, ada yang bayar ada yang tidak,” jelasnya.

Jika debitur meminta skema cicilan, maka dirinya pun membuka kesempatan itu. Tenor pembayaran fee yang dia terima maksimal adalah tiga tahun. Tapi dalam skema ini, tak semuanya pembayaran berjalan lancar. Ada fee yang dibayarkan sesuai perjanjian, namun banyak juga cicilan fee yang mogok di tengah jalan, tapi tetap dilunasi debitur. Dan terakhir, debitur tidak membayar sama sekali.

Sementara bagi Rafles, skema cicilan dalam pembayaran fee pengurus sangat dipengaruhi oleh kompleksitas perkara PKPU. Semakin rumit dan panjangnya proses penyelesaian perkara, maka fee bisa saja semakin besar. Jika situasi ini terjadi, biasanya debitur akan mengajukan skema pembayaran fee secara cicilan, tentu saja dengan syarat harus ada pembayaran di awal sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

“Jika jumlah tagihan besar, tetapi keadaan keuangan debitur tidak baik atau sulit, ya itu tidak bisa memberikan keleluasaan dalam bernegosiasi. Biasanya dibagi pembayarannya dalam beberapa tahap,” ucap Rafles.

Namun baik Rafles maupun Resha sepakat bahwa sebagai pengurus, keduanya tidak ingin menyulitkan kondisi debitur dengan persoalan fee. Karena ketidaksepakatan atas fee pengurus, dapat membatalkan perdamaian PKPU debitur. Bagi Resha, jangan sampai keinginan atas fee pengurus yang tidak terwujud, membuat homologasi tidak terjadi.

Rafles menuturkan, sebagai pengurus dirinya menerima pembayaran fee secara mencicil untuk meringankan beban debitur. Meski belum pernah mengalami peristiwa fee yang tidak dibayar debitur, Rafles juga pernah mendapatkan fee secara penuh setelah tiga tahun pasca homologasi. Karena baginya, semangat dari PKPU adalah going concern, di mana perusahaan dapat mempertahankan kehidupan dan beroperasi kembali.

Di sisi lain, Rafles dan Resha juga menegaskan bahwa fee yang mereka dapatkan sebagai pengurus tidak mutlak seperti yang diatur oleh Permenkumham. Bahkan sangat jarang sekali hakim pengawas mengabulkan fee maksimal. Apalagi jika jumlah tagihan debitur cukup besar, maka persenan fee yang pengurus terima akan semakin kecil.

“Bahkan kalau total tagihannya besar, tidak sampai 1%. Kadang cuma nol koma,” ucap Rafles.

Fee Pengurus dan Kurator

Mungkin banyak yang tidak memahami bahwa pengurus dan kurator adalah dua sebutan profesi yang berbeda dalam proses kepailitan dan PKPU. Pengurus adalah pihak yang ditugaskan untuk mengurus sengketa PKPU yang bertugas melakukan verifikasi tagihan dan membantu terjadinya perdamaian. Sementara kurator adalah pihak yang berwenang mengawasi dan membereskan harta pailit. Kurator diangkat saat PKPU berakhir dengan pailit, atau adanya permohonan pailit.

Dengan demikian, maka imbalan jasa yang diterima keduanya berbeda. Jika merujuk pada Permenkumham No.18 Tahun 2021, pengenaan fee pengurus didasarkan pada besarnya tagihan, sementara fee kurator didasarkan pada total aset.

Hukumonline.com

Setelah melihat aturan fee pengurus berdasarkan Permenkumham 18/2021, dan juga kisah pengalaman praktisi dalam bidang PKPU, apakah besaran fee pengurus dinilai sudah ideal?

Tags:

Berita Terkait