Cuma, hukum pidana tidak menelisik jauh ke motif-motif pelaku saat menentukan kematian korban. Bagi hukum pidana, yang paling penting adalah menemukan perbuatan yang menjadi penyebab kematian. Setelah menemukan sebab, selanjutnya menentukan pertanggungjawaban pidana pelaku. (Baca juga: Fisiognomi Lombrosso di Sidang Kopi Bersianida).
Demikian antara lain kesimpulan dari orasi ilmiah Ahmad Sofian dalam rangka Dies Natalies ke-6 Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Senin (05/6). “Dalam menentukan pertanggungjawaban pelaku, motif tidak dipertimbangkan dalam menentukan kadar berat maupun kadar ringan hukumannya,” kata doktor ilmu hukum yang menggeluti masalah pidana itu.
Dalam orasinya di depan civitas akademika Universitas Bina Nusantara, Sofian menjelaskan banyak kasus pembunuhan di Indonesia yang menarik perhatian publik dan menyita banyak sumber daya untuk mengungkapnya. Kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir, kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, pembunuhan Wayan Mirna Salihin, dan pembunuhan Marsinah hanya sekadar contoh dari banyaknya kasus pembunuhan.
Ilmu pengetahuan yang bisa menganalisis faktor penyebab kematian dan menghubungkannya dengan akibat yang terjadi adalah kausalitas. “Ajaran kausalitas dipergunakan dalam rangka mengetahui perbuatan apa saja yang menjadi penyebab kematian,” jelas anggota ECPAT International itu. (Baca juga: Ajaran Kausalitas dalam Kasus Pembunuhan Berencana).
Teori lain yang sering dipakai untuk mengungkap motif politik atau ekonomi dalam kasus-kasus pembunuhan adalah teori konspirasi. Dalam teori ini yang dicari adalah persekongkolan antara dua pihak atau lebih untuk membunuh seseorang. Persekongkolan itulah yang dalam hukum pidana disebut motif yang mendasari dibunuhnya seseorang. Masalahnya, motif itu tidak dibuktikan di pengadilan. “Karena motif merupakan alasan subjektif dari seseorang untuk membunuh,” jelasnya.
Sofian mengakui para pemangku hukum pidana masih belum sepaham mengenai pengungkapan motif dalam suatu kasus pembunuhan. Dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, misalnya, ahli yang dihadirkan penuntut umum menegaskan motif tidak perlu dibuktikan dalam kasus pembunuhan, termasuk pembunuhan berencana. (Baca juga: Pro Kontra ‘Motif’ dalam Kasus Pembunuhan Berencana).
Sofian menegaskan motif bisa menjadi dasar untuk menentukan apakah pembunuhan tertentu masuk kategori pembunuhan biasa, pembunuhan yang diawali dengan penganiayaan, pembunuhan karena membela diri, atau pembunuhan yang direncanakan. (Baca juga: Pembelaan Darurat di Pasar Bukit Sulap).
Karena itu, peraih sarjana hukum dari Universitas Sumatera Utara Medan itu, berharap di masa mendatang motif, apakah motif politik atau ekonomi, bisa dipertimbangkan majelis hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan. Bahkan, sebaliknya, bisa digunakan untuk membebaskan pelaku jika ternyata ada keterlibatan aktor lain yang lebih besar. “Motif melakukan tindak pidana merupakan hal yang sangat esensial bagi penyusun undang-undang untuk mempertimbangkan kadar pertanggungjawaban pidana seseorang,” simpul Sofian.
Dekan Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara, Johannes AA Rumeser mengapresiasi perkembangan jurusan hukum bisnis dalam enam tahun terakhir. Ia menilai prestasi yang dilahirkan civitas akademika menunjukkan jurusan ini mampu memberikan kontribusi pemikiran dan persoalan hukum di Tanah Air. Ketua Jurusan Hukum Bisnis, Shidarta, melaporkan capaian civitas akademika di forum ilmiah nasional dan internasional.