Bisakah Status Mahasiswi Jadi Faktor Meringankan Hukuman?
Hukum dan Kasih Sayang

Bisakah Status Mahasiswi Jadi Faktor Meringankan Hukuman?

Tujuan pemidanaan bukanlah untuk balas dendam. Kelompok usia muda seperti anak-anak, remaja, dan mahasiswi dianggap masih punya masa depan yang baik. Tak berarti lolos dari hukuman.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: BAS
Foto ilustrasi: BAS

Kriminolog Universitas Indonesia, Ni Made Martini Puteri, banyak menyinggung dimensi penghukuman dalam diskusi mengenai Penyusunan Ancaman Pidana dalam Rancangan KUHP di Jakarta, Selasa (13/2) lalu. Sejumlah mahasiswi hukum dan jurnalis hukum hadir dalam acara itu. Ia mengingatkan agar penyusun RUU KUHP sensitif terhadap kelompok yang tidak mampu bertanggung jawab penuh secara pidana. Sebutlah, kaum difabel dan anak-anak.

 

Dosen kriminologi FISIP Universitas Indonesia itu berpendapat hukuman tidak bisa pukul rata kepada setiap pelaku kejahatan. Aparat penegak hukum harus mempertimbangkan banyak hal, apalagi jika pelakunya masih tergolong anak-anak atau remaja yang dalam masa pertumbuhan. “Faktor usia harus dipertimbangkan dalam penghukuman,” ujarnya.

 

Apa yang disampaikan Tinduk, begitu Ni Made Martini disapa teman-teman akrabnya, sebenarnya termuat juga dalam perundang-undangan seperti UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Anak termasuk kategori yang rentan dalam penghukuman, sehingga dalam sistem peradilan, penghukuman terhadap anak lebih disebut sebagai tindakan.

 

Status terdakwa sebagai anak, remaja, atau di bawah umur, seringkali menjadi faktor penting dalam penilaian dan penjatuhan hukuman yang layak oleh hakim. Pasal 20 UU SPPA menyatakan dalam hal tindak pidana dilakukan anak sebelum genap berusia 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak bersangkutan melampaui batas usia 18 tahun tetapi belum mencapai 21 tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.

 

Pada usia 18 tahun seseorang bisa saja sudah menjadi mahasiswi atau mahasiswa. Lantas, apakah mereka juga bisa mendapat perlakuan khusus dalam penghukuman? Salah satu yang menarik dalam penelusuran hukumonline adalah status mahasiswi sebagai faktor yang meringankan dalam penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana. Bisa jadi, ini merupakan perkembangan pemikiran atau, sebaliknya, perbedaan pandangan di kalangan hakim. Dua kasus yang dibandingkan sama, yakni kecelakaan lalu lintas. Terdakwa dalam dua kasus ini sama-sama mahasiswi.

 

(Baca juga: Bahasa Hukum: Disparitas Putusan dan Pemidanaan yang Tidak Proporsional)

 

Kasus pertama terjadi pada pekan terakhir Desember 2017 di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Seorang mahasiswi berusia 20 tahun yang mengendarai motor menabrak penyeberang jalan. Gara-gara kejadian itu, ia diproses hingga ke pengadilan. Pengadilan tingkat pertama menjatuhkan hukuman enam bulan penjara, dan diperkuat hakim tingkat banding.

 

Terdakwa mengajukan kasasi dengan sejumlah alasan. Salah satunya rasa keadilan, hakim hanya memperhatikan keadilan saksi korban dan sama sekali tak mempertimbangkan keadilan bagi terdakwa. Selain itu, antara terdakwa dan korban sudah ada perdamaian disaksikan kepala desa dan saksi-saksi.

 

Status mahasiswi itu juga disinggung terdakwa dalam memori kasasinya. “Bahkan terdakwa adalah seorang mahasiswi yang masih membutuhkan waktu untuk menuntut ilmu guna memperbaiki masa depan terdakwa sendiri untuk masa waktu yang akan datang”. Terdakwa mengingatkan dalam memori kasasi tentang tujuan pemidanaan untuk membina dan mendidik pelaku, dan jangan sampai hubungan baik yang sudah terjalin antara terdakwa dan korban rusak karena penghukuman itu.

 

Apakah status mahasiswi dan perdamaian itu dipertimbangkan hakim kasasi? Dalam putusan tertanggal 23 April 2013, majelis hakim agung menyatakan alasan kasasi terdakwa tak dapat dibenarkan. Judex facti sudah mengadili menurut hukum, sudah mempertimbangkan fakta persidangan dan sudah mempertimbangkan berat ringannya hukuman. Alhasil, ‘permohonan kasasi terdakwa harus ditolak’.

 

Dua tahun kemudian, tepatnya pada 23 September 2015, dengan komposisi hakim agung yang berbeda, Mahkamah Agung mempertimbangkan status mahasiswa terdakwa pelaku kecelakaan lalu lintas. Terdakwa, berusia 20 tahun dan masih berstatus mahasiswi, menabrak seseorang hingga meninggal dunia saat mengendarai mobil di Tanah Datar, Sumatera Barat. Kasus kecelakaan ini berlanjut ke pengadilan. Pengadilan tingkat pertama menghukum terdakwa 1,5 tahun penjara, lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Pengadilan tingkat banding menguatkan putusan tersebut.

 

(Baca juga: Tabrak Orang Waktu Liburan, Langkah Ini Perlu Ditempuh)

 

Meskipun hukuman yang dijatuhkan hakim lebih berat dari tuntutan, jaksa tetap mengajukan kasasi. Demikian juga terdakwa. Dalam memori kasasinya terdakwa menyatakan keluarganya sudah datang berkali-kali ke rumah keluarga korban untuk meminta maaf tetapi tidak pernah ditanggapi. Terdakwa menyatakan ingin berdamai dengan keluarga korban. Dalam memori kasasi terdakwa tidak disinggung sama sekali tentang status mahasiswi yang masih memiliki masa depan cerah.

 

Majelis kasasi memang menolak kasasi penuntut umum dan terdakwa karena alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan. Namun majelis menilai bahwa sepanjang mengenai berat ringannya hukuman yang dijatuhkan perlu diperbaiki karena alasan-alasan yang meringankan tak cukup dipertimbangkan judex facti.

 

“Terdakwa adalah seorang mahasiswi yang masih aktif sehingga apabila dijatuhkan pidana akan mengganggu kuliahnya dan tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata bukanlah untuk balas dendam akan tetapi untuk pelajaran/edukatif”.

 

Lagipula, menurut majelis, sudah ada niat baik dari terdakwa dan keluarganya untuk meminta maaf tapi kurang mendapat tanggapan dari keluarga korban. Lembaga pemasyarakatan bukanlah tempat yang cocok bagi terdakwa.

 

Menurut Anda, apakah status mahasiswa atau mahasiswi bisa menjadi faktor yang meringankan hukuman terhadap pelaku kejahatan? Atau, tergantung pada jenis kejahatannya?

Tags:

Berita Terkait