Bisakah Pencipta Lagu Larang Seseorang Nyanyikan Lagu Ciptaannya?
Utama

Bisakah Pencipta Lagu Larang Seseorang Nyanyikan Lagu Ciptaannya?

Izin membawakan lagu ciptaan orang (performing right) dilaksanakan dengan cara membayar tarif yang ditentukan kepada LKMN, bukan benar-benar berupa izin dari pencipta lagu. Sehingga tak ada konsep pelarangan dalam UU Hak Cipta, sepanjang sudah membayar, maka tak lagi ada kewajiban minta izin.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Senior Partner pada Kantor Hukum Guido Hidayanto & Partners , Mohamad Kadri. Foto: Istimewa
Senior Partner pada Kantor Hukum Guido Hidayanto & Partners , Mohamad Kadri. Foto: Istimewa

Ramai di pemberitaan media massa dan media sosial mengenai perseteruan antara dua musisi Indonesia, Ahmad Dhani dengan Elfonda Mekel atau dikenal Once Mekel menjadi perhatian publik saat ini. Pasalnya Dhani melarang Once membawakan lagu-lagu Dewa 19 dalam konsernya. Tapi masih mengizinkan Once menyanyikan lagu-lagu ciptaan Dhani pada kelompok musik lain seperti Band TRIAD, Ahmad Band dan Reza Arthamevia.

 

Terlepas dari perseteruan tersebut, apakah perundang-undangan di Indonesia mengatur mengenai ketentuan seorang pencipta lagu dapat melarang seseorang menyanyikan lagu ciptaannya? Kemudian, bagaimana pengaturan royalti musik sesuai perundang-undangan?.

 

Penasihat Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) dan juga relawan hukum Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) Mohamad Kadri berpandangan, pencipta lagu sedianya tak dapat melarang seseorang menyanyikan lagu ciptaannya sepanjang sesuai dengan perundang-undangan termasuk pembayaran royalti. Ketentuan tersebut mengacu pada UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

 

Dia menjelaskan dalam Pasal 9 UU 28/2014 mengatur seorang pencipta lagu memiliki hak ekonomi atas hak pertunjukan atau performing right yang dilakukan orang lain atau pengguna. Bagi orang lain yang hendak membawakan lagu tersebut mesti terlebih dahulu mengantongi izin dari pencipta lagu.

 

Namun, sehubungan performing right, izin tersebut bukan dikeluarkan oleh pencipta lagu melainkan Lembaga Manajemen Kolektif dalam hal ini Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dengan cara cukup membayar tarif saja. Dengan begitu, pencipta lagu agar mendapat  hak ekonominya atas karya ciptaannya pada performing right harus terdaftar dalam LMK. Nantinya, LMK akan mendistribusikan hak ekonomi kepada pencipta lagu yang terdaftar.

 

Banyak teman-teman yang salah mengintepretasikan pasal-pasal UU Hak Cipta sehingga jadi simpang siur,” ujar Kadri kepada Hukumonline, Rabu (29/3/2023).

 

Baca juga:

 

Pria yang berprofesi sebagai advokat serta Senior Partner pada Kantor Hukum Guido Hidayanto & Partners itu menerangkan, UU 28/2014 dibuat untuk menciptakan suatu sistem manajemen kolektif melalui LMKN. Lembaga tersebut meng-collect performing right. Begitu masuk performing right, otomatis masuk ranah LMKN.

 

Sementara Pasal 9 UU 28/2014, menurut Kadri tak sekedar mengatur masalah performing right, tapi penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan. Kesemuanya  mesti meminta persetujuan dari pencipta. “Khusus performing right dia tunduk terhadap aturan LMK yaitu Pasal 87 UU Hak Cipta yang memakai skema manajemen kolektif melalui LMMK-LMKN,” imbuhnya.

 

Pasal 23 ayat (5) menyebutkan, Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif”.

 

Pria yang tercatat sebagai seorang musisi vokalis MAKARA (Band Rock Progresif sejak tahun 1980-an, red) itu menekankan konsep perizinan performing right kepada pencipta lagu dalam UU Hak Cipta. Kadri menyampaikan pengajuan izin tersebut bukan bersifat langsung kepada pencipta melainkan kepada LMKN. Yang pasti, sepanjang pengguna telah membayar hak cipta tak perlu lagi meminta persetujuan dari pencipta lagu.

 

“Jadi konsepnya UU Hak Cipta itu udah meng-introduce  sistem manajemen kolektif yang berlaku di dunia demi kemudahan tata kelola. Ribuan composer Indonesia, enggak mungkin bisa minta satu-satu dan pakai harga sendiri-sendiri. Itu ada tarifnya,” ujarnya.

 

Terkait tarif royalti, pada dasarnya sudah diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kepmenkumham) No HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti Untuk Pengguna Yang Melakukan Pemanfaatan Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu.

 

Untuk tarif royalti pada konser musik, didasarkan pada penjualan tiket maupun tanpa tiket atau gratis. Tarif royalti konser musik dengan tiket dihitung berdasarkan hasil kotor penjualan tiket (gross ticket box) dikali 2 persen ditambah dengan tiket yang digratiskan (complimentary ticket) dikali 1 persen. Kemudian, tarif royalti konser musik gratis dihitung berdasarkan biaya produksi musik dikali 2 persen.  

 

Sebagaimana diketahui, larangan Ahmad Dhani terhadap Once agar tidak membawakan lagu-lagu Dewa-19 menjadi sorotan.  “Saya mengumumkan bahwa saya melarang spesifik Once menyanyikan lagu-lagu Dewa 19 sejak saya umumkan di media hari ini,” ungkap Dhani pada Selasa (28/3) seperti yang dikutip dalam tayangan Youtube Cumicumi.

 

Dhani beralasan, larangan tersebut dikarekan Dewa bakal menggelar konser secara rutin dua kali dalam sepekan, sehingga diharapkan tidak mengganggu agenda tersebut. Menurutnya jadwal konser Dewa 19 sampai Desember 2023 padat

 

“Saya enggak mau ada Once nyanyi lagu Dewa di konser lain. Karena itu mengganggu konser Dewa sendiri. Saya memberikan privilege kepada EO konser Dewa 19 bahwa hanya Dewa 19 yang bisa menyanyikan lagu karya-karya Dewa 19,” papar Dhani.

 

Sementara itu, Hukumonline telah menghubungi Once melalui aplikasi pesan WhatsApp. Namun, hingga berita ini diturunkan, Once belum juga membalas pesan tersebut.

Tags:

Berita Terkait