BIN Tak Perlu Diberi Wewenang Menangkap
Berita

BIN Tak Perlu Diberi Wewenang Menangkap

Pemerintah sudah punya instrumen hukum cukup untuk mencegah dan menindak terorisme.

ADY
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf. Foto: SGP
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf. Foto: SGP
Banyak pihak menilai pemerintah kebobolan mencegah aksi teroris di jalan Thamrin, Jakarta beberapa waktu lalu. Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, melihat salah satu alasan pihak pemerintah yakni UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinilai tidak memadai untuk mengatasi terorisme. Ujungnya, pemerintah mengusulkan agar regulasi itu direvisi.

Al berpendapat pemerintah sudah punya instrumen hukum yang kuat untuk mencegah dan menindak terorisme. Seperti UU Pemberantasan Terorisme, UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan KUHP. Bahkan melalui UU No. 6 Tahun 2006 pemerintah telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999. “Pemerintah punya payung hukum yang cukup untuk menanggulangi terorisme,” katanya dalam diskusi yang diselenggarakan Imparsial di Jakarta, Senin (25/1).

Walau begitu Al tidak menolak revisi UU Pemberantasan Terorisme. Tapi arah revisi itu harus seimbang antara peran negara memberantas teroris dengan perlindungan HAM. Jika itu tidak diperhatikan maka bakal merusak sistem hukum yang ada di Indonesia. Misalnya, ada usulan dari pemerintah agar BIN diberi kewenangan menangkap teroris. Bagi Al hal itu tidak tepat karena BIN bukan lembaga penegak hukum.

Menurut Al sangat berbahaya jika BIN diberi kewenangan untuk menangkap. Itu tak ubahnya seperti penculikan terhadap aktivis pro reformasi pada masa 1997-1998. Sistem yang ada saat ini sudah cukup baik karena penangkapan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sehingga orang yang ditangkap dapat diketahui keberadaannya. “Salah dan keliru kalau BIN diberi kewenangan untuk menangkap. Kalau itu yang dimaksud maka kami menolak revisi UU Pemberantasan Terorisme,” tegasnya.

Memberantas terorisme menurut Al perlu diprioritaskan pada upaya pencegahan. Sayangnya rencana revisi UU Pemberantasan Terorisme yang diusulkan pemerintah masih menitikberatkan pada penindakan. Seperti memberi kewenangan BIN untuk menangkap. Padahal, pemerintah bisa memperkecil potensi terjadinya terorisme dengan menata aturan hukum yang ada dengan baik. Misalnya, sampai saat ini belum ada aturan hukum baru yang memperketat peredaran senjata api dan bahan peledak. Regulasi yang digunakan masih warisan orde lama.

Kemudian arena pendidikan harus menjadi sarana mencegah terorisme. Sebab terorisme berawal dari cara pandang. Pemerintah juga perlu memberi perhatian khusus terhadap napi eks-teroris, jangan sampai ketika dibebaskan malah kembali lagi menjadi teroris. Itu dibutuhkan kebijakan yang bukan mengarah pada penindakan tapi pencegahan seperti memberi pelatihan kepada napi eks-teroris untuk berwirausaha.

Peneliti senior Imparsial, Poengky Indarti, mengusulkan agar kebijakan pemberantasan terorisme yang diterbitkan pemerintah mengutamakan pencegahan. Misalnya, memperbaiki administrasi kependudukan sehingga setiap warga negara Indonesia hanya punya satu kartu identitas (KTP). Mengawasi secara ketat lalu lintas imigrasi. Selain itu Komisi I DPR juga perlu melakukan pengawasan yang baik terhadap BIN.

Peneliti Imparsial lainnya, Gufron Mabruri, mengatakan dalam menangani terorisme peran BIN hanya melakukan pencegahan dengan deteksi dini. UU Pemberantasan Terorisme menempatkan Polri sebagai lini depan mengatasi terorisme. Oleh karenanya salah jika BIN diberi kewenangan menangkap. “Hakikat intelijen itu sebagai badan yang bertugas mengumpulkan, mengolah dan memberikan informasi kepada pejabat pengambil keputusan,” tukasnya.

Gufron mencatat dalam rencana revisi UU Pemberantasan Terorisme, pemerintah mengusulkan perpanjangan masa penangkapan. Gufron menilai regulasi itu sudah memberi masa penangkapan yang lebih lama daripada diatur KUHAP. KUHAP mengatur masa penangkapan hanya 1 x 24 jam sedangkan UU Pemberantasan Terorisme 7 x 24 jam. Menurutnya aparat hukum lebih baik memperbaiki profesionalitas dan kapasitas dalam penanganan kasus daripada memperpanjang masa penangkapan itu.
Tags:

Berita Terkait