Bila Tolak Teken UU MD3, Cermin Buruknya Legislasi Pemerintahan Jokowi
Utama

Bila Tolak Teken UU MD3, Cermin Buruknya Legislasi Pemerintahan Jokowi

Seharusnya penolakan pembahasan RUU dilakukan dalam pembahasan tingkat I dan II. Dengan tidak dilaporkannya oleh presiden, tindakan Menkumham dinilai fatal.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES

Beredarnya informasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal menolak menandantangani UU Perubahan Kedua Atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) ditanggapi miring oleh sejumlah kalangan termasuk kalangan DPR sebagai mitra pemerintah dalam pembahasan dan pengesahan UU. Sebab, sikap ini dianggap bentuk ketidakkonsistenan pemerintah dalam proses pembahasan dan persetujuan UU MD3 tersebut.       

 

Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono mengatakan beredar kabar di media bahwa Presiden Jokowi tidak akan menandatangani (mengesahkan) RUU MD3 menjadi UU. Padahal, RUU Perubahan UU MD3 itu sebelumnya telah disetujui bersama antara pemerintah dan DPR.   

 

Sebab, sesuai Pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945, suatu rancangan UU tidak akan menjadi UU jika tidak dibahas dan mendapat persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah. Jadi, apabila suatu RUU yang telah ditetapkan/disahkan dalam sidang paripurna DPR menjadi UU berarti telah mendapat persetujuan bersama kedua lembaga tersebut.    

 

“Dengan demikian, dalam kasus pengesahan UU Perubahan Kedua UU MD3 dalam paripurna beberapa waktu lalu menunjukkan sebenarnya presiden telah bersepakat atau setuju terhadap semua substansi perubahan UU MD3 yang saat ini dikritik sejumlah kalangan,” ujar Bayu Dwi Anggono saat dikonfirmasi Hukumonline, Rabu (21/2/2018).   

 

Seperti diberitakan sejumlah media, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengaku tak sempat melaporkan pasal-pasal perubahan dalam revisi UU MD3 yang menuai polemik kepada Presiden Jokowi. Dan pengesahan antara DPR dan pemerintah atas UU ini tanpa sepengetahuan Presiden Jokowi. Alasannya, pembahasan pasal-pasal tersebut sangat cepat. Karena itu, kata dia, ada kemungkinan Presiden Jokowi bakal menolak untuk menandatangani UU Perubahan Kedua UU MD3 ini.      

 

Bayu menilai sikap rencana penolakan presiden menandatangani UU Perubahan Kedua atas UU MD3 ini tidak tepat. Sebab, sikap ini tidak berdampak apapun terhadap berlakunya UU tersebut sesuai Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945. Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945 berbunyi “Dalam hal suatu RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui, RUU tersebut sah (otomatis) menjadi UU dan wajib diundangkan.”       

 

“Jika keputusan ini akhirnya benar diambil oleh Presiden, Puskapsi berpendapat ini merupakan cerminan buruknya manajemen (legislasi) pemerintahan,” kritiknya. Baca Juga: Poin-Poin Kontroversial UU MD3 Baru yang Berpotensi Langgar Konstitusi

 

Menurutnya, tafsir Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945 ini bukan dimaksudkan sebagai sarana presiden mengingkari atau tidak ikut bertanggung jawab atas RUU yang telah disetujui bersama dengan DPR, melainkan untuk menjamin RUU yang telah disetujui bersama tetap berlaku menjadi UU meski presiden berhalangan menandatanganinya. “Berhalangan disini maksudnya, seperti presiden sedang berada di luar negeri dalam waktu lama atau sakit yang tidak memungkinkan untuk tanda tangan,” jelasnya.   

 

Rencana sikap presiden yang tidak segera mengesahkan revisi UU MD3 ini justru akan menghambat hak publik untuk mengajukan judicial review ke MK. Sebab, dalam Peraturan MK terkait hukum acara pengujian UU mensyaratkan hanya UU yang telah disahkan presiden dan diundangkan (dalam  lembaran negara) yang dapat menjadi objek pengujian UU di MK.        

 

Selain itu, merujuk Pasal 49 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, presiden dapat menugaskan menteri mewakili presiden untuk membahas suatu RUU bersama DPR. Namun begitu, bukan berarti menterilah yang bertanggung jawab atas disetujuinya RUU menjadi UU. Sebab, tugas membahas RUU bersama DPR tetaplah atas nama presiden.

 

“Dengan logika yang demikian, tidak bisa di kemudian hari karena ada persoalan di publik, presiden menyatakan tidak ikut bertanggung jawab atas RUU yang telah disetujui bersama DPR, melalui menterinya karena pada dasarnya menteri tersebut bertindak atas nama presiden.”

 

Karena itu, pihaknya menyarankan agar Presiden Jokowi meninjau ulang rencana menolak menandatangani UU Perubahan Kedua atas UU MD3 ini. “Presiden bisa mencari cara lain dengan mengesahkan revisi UU MD3 itu, kemudian mengeluarkan Perppu dengan menghapus pasal-pasal yang ditolak sebagian masyarakat. Ini pernah dilakukan Presiden SBY ketika menerbitkan Perppu Pilkada terutama pengaturan pilkada oleh DPRD,” sarannya.       

 

Langkah politis

Direktur Monitoring, Evaluasi, dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri menilai sikap Jokowi ditengarai sebagai langkah politis. Semestinya, penolakan presiden dapat disampaikan dalam rapat-rapat pembahasan tingkat I dan tingkat II. Namun yang terlihat, kata Ronald, presiden melalui Menkumham Yasonna H Laoly dalam sambutan rapat paripurna tidak terlihat adanya keberatan. Artiny, presiden (sebenarnya) telah menyetujui perubahan kedua RUU MD3 menjadi UU.

 

“Jadi ini semacam langkah politis yang mengkonfirmasi posisi dari presiden Jokowi yang belum berkenan atau bisa jadi tidak sepakat dari materi muatan UU MD3 yang baru disahkan,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada Hukumonline.

 

Ronald mengaku heran dengan sikap Menkumham Yasonna yang dalam pengakuannya tidak melaporkan pembahasan dan persetujuan atas revisi UU MD3 ini ke presiden. “Ini janggal yang kita pertanyakan, kenapa kemudian baru belakangan Yasonna melaporkan itu. Kemudian bagaimana sikap pemerintah dalam sambutan di paripurna tidak diketahui pula oleh Jokowi?”

 

Dia membandingkan saat perubahan pertama UU MD3 menjadi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang pemerintah terlihat konsisten menolak materi muatan sejak awal. Karena itu, publik pun dapat mengetahui sikap presiden dan pemerintah pun menolak kala itu.

 

Baginya, sikap Yasonna tidak melapor pengesahan revisi UU MD3 ke presiden merupakan kesalahan fatal. Karena itu, perlu dilakukan investigasi mulai tingkat Menkumham hingga Menkopolhukam sebagai koordinator pembantu presiden di bidang hukum. “Ini kan fatal karena kebijakan khususnya Pasal 122 huruf k itu berdampak bagi orang banyak,” katanya.

 

Optimis tanda tangan

Ketua DPR Bambang Soesatyo mengaku optimis Presiden Jokowi bakal meneken UU Perubahan Kedua atas UU MD3. Sebab, UU MD3 yang baru disahkan itu merupakan hasil pembahasan antara DPR dengan presiden yang diwakili Menkumham termasuk pula sejumlah pasal yang belakangan menjadi perdebatan di tengah masyarakat.

 

“Saya masih memiliki keyakinan bahwa presiden akan menandatangani revisi kedua UU MD3 tersebut. Walaupun revisi UU MD3 tidak ditandatangani oleh presiden dalam jangka waktu 30 hari, UU tersebut berlaku secara sah dan mengikat,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen.

 

Politisi Partai Golkar itu meminta Menkumham Yasonna untuk meyakinkan Jokowi untuk segera menandatangani UU itu. Selain itu, koreksi terhadap UU MD3 sejatinya dapat dilakukan melalui uji materi di MK sebagaimana UU lain yang dinilai tidak sesuai dengan semangat konstitusi dan Pancasila. Baca Juga: Tiga Poin Revisi UU MD3 Ini Akhirnya Digugat ke MK

 

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menambahkan UU MD3 yang baru disahkan dalam rapat paripurna semestinya tetap berlaku. Pasalnya, pembahasan tingkat pertama dan kedua telah sesuai dengan prosedur. Setelah masuk dalam lembaran negara, maka UU MD3 pun mesti ditaati bagi semua pihak dan masyarakat.

 

Fahri Hamzah berpendapat, langkah presideh tidak etis bila presiden tidak menandatangani UU MD3 itu. Bagi Fahri, belum ditandatanganinya UU MD3 oleh Jokowi bukanlah pencitraan. “Bisa dimengerti karena ini memang berat, tetapi harus disahkan karena pemerintah ikut membahasnya," kata Fahri.

 

Soal hak imunitas, sebenarnya hak ini sudah dijamin dalam UUD 1945, bukan di UU MD3. Karena itu, DPR diberikan kewenangan supaya kuat secara kelembagaan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Soal tudingan DPR nantinya bakal anti kritik dan membungkam demokrasi, dia membantahnya.

 

“Tidak ada sejarahnya DPR kita anti kritik dan membungkam demokrasi seperti banyak disampaikan masyarakat. Kalau ada berpendapat seperti itu berarti jalan pikirannya belum nyampe, sehingga tidak paham filsafatnya,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait