Bila Presiden Tak Terbitkan Perppu, PSHTN FHUI Serukan Uji Materi UU Cipta Kerja
Utama

Bila Presiden Tak Terbitkan Perppu, PSHTN FHUI Serukan Uji Materi UU Cipta Kerja

PSHTN FHUI sebut proses legislasi UU Cipta Kerja ugal-ugalan yang diduga sudah luar biasa pelanggarannya. Menurut Jimly, kalau para anggota DPR bisa buktikan bahwa mereka belum dibagi naskah final RUU Cipta Kerja, sangat mungkin dinilai penetapan UU tersebut tidak sah dan bisa dibatalkan MK.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Proses pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU terus mendapat sorotan berbagai elemen masyarakat. Tak hanya dari kalangan serikat buruh/pekerja, masyarakat sipil, akademisi, tapi juga lembaga kajian. Kini, polemik pengesahan UU Cipta Kerja mendapat sorotan tajam dari Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI).

“PSHTN FHUI menilai proses pembentukan undang-undang saat ini bukan lagi ‘kotor’, namun sudah sangat ‘jorok’,” ujar Ketua PSHTN FHUI Mustafa Fakhri dalam keterangannya, Rabu (14/10/2020). (Baca Juga: Pengujian UU Cipta Kerja Potensi Sulit Dikabulkan, Ini Tiga Indikator Menurut Pakar)  

Ada beberapa catatan kritis PSHTN FHUI yang perlu dicermati pembentuk UU. Pertama, Mustafa menilai perumusan UU dengan metode omnibus law tidak dikenal dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Padahal, pada 2019, pembentuk UU sempat merevisi UU P3 ini melalui UU No. 15 Tahun 2019. Tapi, sayangnya momentum ini tidak digunakan untuk merancang dan memasukkan metode omnibus law ke dalam UU 15/2019.

“Metode omnibus law sama sekali baru dalam sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia,” kata Mustafa.

Kedua, adanya Satgas Omnibus Law yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 yang bertugas melakukan konsultasi publik, inventarisasi masalah, dan memberi masukan dalam rangka penyempurnaan regulasi. Problemnya, Satgas ini dipimpin Ketua Umum KADIN (Kamar Dagang dan Industri) dan melibatkan sejumlah pengusaha. Tak heran, kemudian publik mencurigai adanya konflik kepentingan para pengusaha yang mendominasi substansi pengaturan RUU Cipta Kerja.

“Setelah terbitnya Surat Presiden pada 7 Februari 2020, pembahasan nyaris luput perhatian publik lantaran rapat-rapat lebih sering diselenggarakan di hotel. Apalagi, semua elemen masyarakat tengah fokus menghadapi pandemi Covid-19 dan dampaknya,” ujarnya.

Ketiga, dalam proses pembahasan di DPR terkesan bermain petak umpet sepanjang proses pembahasan tingkat I. Rajinnya anggota dewan yang menggelar 64 kali rapat yang dilakukan nonstop Senin-Minggu, pagi hingga malam. Bahkan, pembahasan dilakukan di masa reses, patut dicurigai yang terkesan tidak ingin diketahui publik, sehingga partisipasi masyarakat yang dikehendaki oleh UU P3 pun terciderai.

“Padahal, masa reses anggota Dewan yang seharusnya digunakan untuk pertemuan dengan para konstituen di masing-masing daerah pemilihannya,” ujarnya.  

Keempat, rapat paripurna untuk mengesahkan RUU ini sangat kontroversial ini, juga terkesan terburu-buru. Sebab, awalnya rapat paripurna terjadwal pada 8 Oktober 2020. Namun, tanpa penjelasan yang cukup, tiba-tiba last minute, rapat dimajukan menjadi tanggal 5 Oktober 2020. “Yang paling menyedihkan, ada sebagian besar  anggota Dewan yang tidak memegang naskah final RUU Cipta Kerja. Proses pengesahan diwarnai aksi walk out oleh sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrat lantaran pimpinan sidang tidak akomodatif.”

Kelima, puncak dari segala kontroversi ini adalah beredarnya beberapa versi naskah UU Cipta Kerja yang mencuat setelah RUU ini disetujui dalam rapat paripurna 5 Oktober 2020. Setidaknya, ada beberapa versi naskah draf UU Cipta Kerja yakni versi 1.028, 905, 1.052, 1.035, dan 812 halaman.

Menurut penuturan Aziz Syamsudin (Wakil Ketua DPR RI), draft final yang dikirim ke Presiden versi 812 halaman, termasuk penjelasan batang tubuhnya. Berdasarkan hasil penelusuran PSHTN FHUI, jika dibandingkan antara naskah RUU versi 812 halaman (filenya berjudul "ruu-cipta-kerja-12-oktober-2020-final") dengan versi 1.035 halaman (filenya berjudul "RUU Cipta Kerja - KIRIM KE PRESIDEN") terdapat beberapa penambahan substansi baru  yakni  di  antara  Bab VIA,  Bab VI,  dan  Bab VII. Bab ini mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi.

“Jika benar ini yang terjadi, maka ini sudah luar biasa pelanggarannya. Bahkan, perubahan titik koma saja sudah bisa mengubah makna dari suatu norma dalam UU. Apalagi, penambahan beberapa norma baru setelah sidang paripurna pengesahan,” bebernya.  

Atas dasar itu, PSHTN FHUI mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu untuk mencabut UU Cipta Kerja, segera setelah RUU tersebut resmi menjadi UU. Seraya memastikan agar partai koalisi pendukung pemerintah yang ada di DPR untuk tidak lagi melakukan proses legislasi yang ugal-ugalan macam saat ini, dan di masa yang akan datang.

Pihaknya juga mendukung penuh setiap penyampaian aspirasi dari berbagai elemen masyarakat dalam bentuk apapun sebagai perwujudan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, dengan tetap memperhatikan koridor hukum yang berlaku.

Bila Presiden enggan menerbitkan Perppu pencabutan UU Cipta Kerja, PSHTN FHUI menyerukan kepada warga masyarakat untuk bersiap-siap menempuh jalur konstitusional dengan menjadi pemohon dalam pengujian formil dan materil terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Tetap menjaga akal sehat untuk senantiasa bersikap kritis terhadap setiap kejanggalan yang dilakukan oleh pemerintah maupun DPR,” ajaknya.  

Percayakan ke MK

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Jimly Assiddiqie melihat naskah RUU Cipta Kerja yang disahkan di DPR, bukan soal jumlah halaman, tapi yang terpenting teks naskah resmi yang standar dan sudah disahkan harus ada dan ril. Pengesahan di DPR bersifat materil, sedangkan pengesahan oleh Presiden bersifat administratif atau formil.

“Coba cek, apa benar ketika disahkan di DPR, naskah finalnya belum ada. Kalau para anggota DPR bisa buktikan bahwa mereka belum dibagi naskah (RUU Cipta Kerja, red) final, sangat mungkin dinilai bahwa penetapan UU tersebut tidak sah dan bisa dibatalkan MK,” kata Jimly saat dihubungi.        

Dia menerangkan sepanjang menyangkut materinya, naskah UU Cipta Kerja itu sudah final setelah pengesahan di sidang paripurna DPR. Setelah itu, tidak boleh lagi ada perubahan substansi karena dalam waktu paling lambat 30 hari, meskipun Presiden tidak mengesahkan sebagamana ditentukan Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945, RUU yang sudah mendapat persetujuan bersama itu sah menjadi UU.

“Setelah disahkan sebagai tanda persetujan bersama, materinya tidak boleh berubah lagi. Praktik di dunia, yang dianggap boleh berubah hanya koreksi atas clerical error atau spelling saja,” ujar Mantan Ketua MK yang pertama ini.  

Terkait usulan Perppu, Jimly menilai sama saja dengan ngeledek atau ngenyek Presiden karena Presiden yang berkeinginan sangat kuat untuk dibuatnya UU ini atau hendak menyalahkan para menteri dengan mengadu mereka dengan Presiden. Menurutnya, jalan satu-satunya menyelesaikan polemik UU Cipta Kerja hanya di MK yang berwenang menilai konstitusionalitas norma UU dengan putusan yang mengikat baik materinya maupun hal-hal lain di luar materi (uji formil), seperti tentang proses pembentukannya.

“Kalau tidak percaya, ya tidak apa-apa, tapi tidak ada forum lain yang tersedia, kecuali demo berjilid-jilid sampai Pilpres 2024. Tapi risikonya bahaya penularan Covid-19 dan melanggar protokol kesehatan. Selain itu, efek samping demo, emosi, kerusuhan, penyusupan provokator adu domba, dan emosi petugas yang mencelakakan rakyat. Jadi, percayakan saja ke MK sebagai the judges know the law (ius curia novit).”

Tags:

Berita Terkait