Bila Bersalah, Surya Tjandra Siap Dihukum
Uji Kelayakan Capim KPK

Bila Bersalah, Surya Tjandra Siap Dihukum

Tidak akan membentuk tim pengacara, seperti halnya beberapa pimpinan KPK yang dikriminalisasi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Surya Tjandra. Foto: RES
Surya Tjandra. Foto: RES
”Temen-temen buruh ini akan membantu saya secara ikhlas dan rela. Jaminan tidak ada. Kalau saya ngaco, dihukum saja. Kalau saya salah, saya akan mengaku dan tidak perlu membuat tim-tim pengacara untuk membantu saya. Saya tidak mencari jati diri dalam hal ini,”. Pernyataan itu meluncur dari bibir calon pimpinan (Capim) KPK, Surya Tjandra, saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III Gedung DPR, Selasa (15/12).

Menurutnya, semakin mengenal KPK dalam pemberantasan korupsi, maka semakin perlu baginya untuk menjaga diri. Perseteruan KPK dengan Polri beberapa waktu lalu, menjadi pembelajaran bagi Surya Tjandra. Ia menilai menjadi komisioner KPK diperlukan juru bicara agar tidak melulu menjadi banci yang tampil di publik.

“Mimpi saya pertama ketika menjadi pimpinan KPK, saya mau mencari calon pimpinan KPK untuk 4 tahun lagi ke depan. Supaya saat menjabat sudah mengetahui seluk beluk KPK,” ujarnya.

Pria yang aktif sebagai pengacara publik itu tak mempersoalkan siapapun dari kesepuluh Capim yang terpilih nantinya. Pasalnya, Pansel Capim KPK melakukan hal itu secara selektif. Sedangkan Komisi III melakukan pemilihan Capim KPK berdasarkan hasil Pansel secara politis. Namun, ia berharap pemilihan berjalan secara obyektif.

“Siapa pun yang terpilih ini no problem. Siapa pun yang dipilih, setidaknya ini yang terbaik. Tapi yang paling pas dengan kondisi saat ini,” katanya.

Pria berusia 44 tahun itu mengaku mendapat dukungan dari orang nomor satu di DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama, biasa disapa Ahok. Namun, ia menegaskan bila Ahok melakukan melanggara hukum, KPK mesti bertindak tanpa pandang bulu. Langkah itu pun berlaku pula terhadap pejabat presiden mau pun wakil presiden. Hanya saja selama ini tindakan terhadap presiden masih bersifat politis dengan melakukan impeachment .

“Tapi KPK harus berani melakukan tindakan, ini memang tabu. Tetapi KPK harus berani melakukan dan mengambil tindakan,” ujarnya.

Mantan Wakil Direktur Bidang Operasional LBH Jakarta itu mengaku tak pernah menangani kasus korupsi. Itu sebabnya, Tjandra memilih menjadi pengacara publik. Namun, ia berjanji bakal terus mengasah kemampuannya di bidang pemberantasan korupsi.

Menurutnya, selama ini penindakan dipandang sebagai langkah efektif dibanding pencegahan. Padahal, pencegahan terbaik adalah menghindari adanya penindakan hukum. Ia mengakui KPK menjadi seksi ketika melakukan upaya penindakan seperti halnya operasi tangkap tangan. Sedangkan pencegahan yang dilakukan KPK acapkali luput dari sorotan media. Menurutnya, strategi sosialisasi pencegahan perlu dirumuskan kembali.

“yang jelas KPK lebih membutuhkan keduanya, pencegahan dan penindakan,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman menilai mimpi Tjandra amatlah tinggi terhadap KPK. Padahal, apa yang diinginkan dalam pemberantasan korupsi terkadang berbeda jauh dengan kenyataan di lapangan. Persoalan-persoalan saat menjadi pimpinan KPK kerap dihadapi. Makanya, Benny teringat dengan pantun dari koleganya.

“Tingginya gunung seribu janji. Maksudnya, apa yang kita hadapi tidak segampang yang kita bayangkan,” ujarnya.

Benny mengajukan pertanyaan dengan analogi sebuah kasus. Misalnya, kata Benny, ketika terpilih menjadi pimpinan KPK, bukan tidak mungkin bakal menemui persoalan. Pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial. Bila nantinya sebagai pimpinan KPK terdapat  perbedaan pendapat dengan komisioner lainnya perlu diambil sikap bijak.

“Ketika saudara  menjadi pimpinan KPK, kemudian menghadapi kasus di mana penyidik-penyidik anda menetapkan tersangka terhadap Mr X sesuai dengan alat bukti lengkap. Tetapi ketika di bawa ke dalam rapat pleno pimpinan, ternyata tiga pimpinan KPK mengatakan jangan di tersangkakan Mr X. Sementara, anda dan satu pimpinan KPK serta penyidik saja yang setuju mentersangkakan Mr X. Apa sikap anda?,” ujar Benny.

Menanggapi pertanyaan Benny, Surya Tjandra menjawab diplomatis. Menurutnya, ia akan berdebat dengan argumentasi  berdasarkan alat bukti yang cukup. Namun begitu,  kata Tjandra, dalam demokrasi dibutuhkan loyalitas. “Kalau saya kalah suara, maka demokrasi itu harus saya terima. Kalau pun saya mundur juga tidak apa,” pungkas Tjandra.
Tags:

Berita Terkait