Bijak Menjerat Korporasi
Editorial

Bijak Menjerat Korporasi

Prinsip kehati-hatian dalam menjerat korporasi terkait tindak pidana wajib dikedepankan aparat penegak hukum. Begitu sebaliknya, pelaku usaha juga wajib menegakkan prinsip good governance.

RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW
Kotak pandora untuk menjerat korporasi jahat telah terbuka. Hal itu ditandai dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Gayung pun bersambut dari aparat penegak hukum. Satu persatu mulai menetapkan korporasi sebagai tersangka tindak pidana.

Sebut saja penetapan PT Duta Graha Indah (DGI) -sekarang PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE)- sebagai tersangka oleh KPK. PT DGI dijerat dalam dugaan korupsi proyek Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana pada Tahun Anggaran 2009-2010.

Kepolisian pun tak ketinggalan. Bareskrim Polri telah menetapkan PT Offistarindo Adhiprima sebagai tersangka korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS) di 25 sekolah SMA/SMKN pada Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat pada APBD Perubahan Tahun 2014.

Meski korporasi sebagai subjek hukum telah ada sejak lama di beberapa undang-undang, namun keberanian aparat untuk menyeret perusahaan ke meja hijau mulai ramai usai Perma berlaku. Rasa percaya diri ini jelas sebuah babak baru. Keberanian aparat penegak hukum harus terus didukung.

Namun berani saja tidaklah cukup. Perlu diingat, prinsip kehati-hatian dalam menjerat korporasi terkait tindak pidana wajib dikedepankan para aparat. Dengan didukung alat bukti yang cukup, prinsip kehati-hatian ini bisa menjadi pegangan aparat penegak hukum agar korporasi yang dijerat, terbukti bersalah di peradilan.

Pembuktian bahwa dugaan yang dilayangkan, harus benar adanya. Bukan hanya sebagai gagah-gagahan saja, atau sekadar menakuti. Alasannya sederhana, jika korporasi terjerat dampaknya bukan hanya dirasakan satu dua orang saja. Tak semata berdampak dari kejahatan yang dilakukan, tapi juga berdampak pada internal perusahaan. Ingat, puluhan, ratusan bahkan ribuan karyawan juga ada di dalamnya.

Dalam Perma terdapat sanksi pidana pokok berupa denda dan pidana tambahan sesuai UU yang berlaku seperti uang pengganti, ganti rugi dan restitusi jika korporasi terbukti bersalah. Apabila tidak sanggup dibayar, maka harta kekayaan korporasi disita dan dilelang oleh Jaksa untuk menutupi pidana denda, uang pengganti, ganti rugi dan restitusi (gugatan perdata oleh korban) yang diputus pengadilan.

Jika korporasi terbukti bersalah melakukan kejahatan, dan korporasi wajib membayar pidana denda dan pidana tambahan yang berdampak pada keuangan perusahaan, bagaimana nasib para karyawannya. Jangan sampai niat baik menjerat korporasi jahat malah berbuah pada massifnya dampak sosial usai korporasi tersebut diputus bersalah.

Seiring dengan itu, perusahaan juga diwajibkan untuk menegakkan prinsip kehati-hatian dalam setiap aksi korporasi. Salah satunya dengan menerapkan Standar Nasional Indonesia ISO 37001:2016 terkait Sistem Manajemen Anti-Penyuapan.

Hal-hal seperti ini wajib dipikirkan bersama. Menegakkan hukum harus dibarengi dengan keadilan bagi semua. Tentu, mana ada karyawan yang mau dirumahkan gara-gara korporasi melalui direksinya berbuat tindak pidana. Atau, gara-gara ketidakpatuhan pada prinsip good governance oleh tiap perusahaan, yang malah berdampak luas ke seluruh lapisan.
Tags: