Bicara Advokat, Tak Lepas dari Sosok Prof Mardjono Reksodiputro
Terbaru

Bicara Advokat, Tak Lepas dari Sosok Prof Mardjono Reksodiputro

Karena Prof Mardjono Reksodiputro merupakan salah satu pendiri kantor hukum ABNR pada 1967 dan tetap eksis hingga saat ini, bahkan dikenal sebagai firma hukum terbesar di Indonesia.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Prof Mardjono Reksodiputro semasa hidup saat mengajar. Foto: Jentera.ac.id
Prof Mardjono Reksodiputro semasa hidup saat mengajar. Foto: Jentera.ac.id

Sudah hampir dua pekan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Prof Mardjono Reksodiputro wafat. Tetapi, kepergiannya untuk kembali ke sang pencipta, masih meninggalkan kesan bagi kalangan dunia hukum di Tanah Air. Mardjono Reksodiputro yang akrab disapa Pak Boy ini telah wafat pada Jum’at 21 Mei 2021 sekitar pukul 05.05 WIB di RSCM Kencana Jakarta dalam usia 84 tahun.

Menelusuri namanya di internet akan menemukan sebutan beragam pakar yang saling bertaut dengan sistem peradilan pidana. Tepatnya, dia dikenal sebagai Guru Besar Hukum Pidana FH UI sekaligus pernah menjabat Dekan FH UI periode 1984-1990. Di sisi lain, namanya diabadikan menjadi nama gedung oleh Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia yakni “Gedung Mardjono Reksodiputro” yang berada di Salemba, Jakarta Pusat pada 2009.

Selain menjadi akademisi tulen, Prof Mardjono dikenal sebagai lawyer/advokat senior sekaligus salah satu pendiri firma hukum kenamaan yakni Kantor Hukum Ali Budiardjo, Nugroho, dan Reksodiputro (ABNR) yang berdiri pada 1967 silam. Firma hukum ABNR merupakan salah satu kantor advokat tertua dan tetap eksis hingga saat ini dan dikenal sebagai firma hukum terbesar di Indonesia.   

Tak heran, saat pembukaan gelaran Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Hukumonline, Rabu (2/6/2021) kemarin, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Yarsi, Yusuf Sofie juga merasa kehilangan atas wafatnya Prof Mardjono Reksodiputo. Dia mengatakan berbicara tentang profesi advokat, tidak lepas dari sosok Prof Mardjono Reksodiputro.

“Kita ketahui bersama Prof Mardjono juga salah satu pendiri law firm terbesar di Indonesia yaitu ABNR. Makanya, bicara advokat, tidak lepas pula dengan keberadaan Prof Mardjono, selain seorang akademisi,” kata dia. (Baca Juga: Tutup Usia, Prof Mardjono Reksodiputro di Mata Kolega)

Kebetulan, Yusuf sendiri merupakan asisten dari Prof Mardjono Reksodiputro di Universitas Pancasila. Sejak menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia, ia mengenal sosok Prof Mardjono yang selalu ingin mempertemukan akademisi, dengan advokat, jaksa, hakim, penyidik. “Hal ini bisa dilihat dari tulisan-tulisan beliau yang mencerminkan bagaimana khasanah pemikiran beliau,” kenang Yusuf.

Direktur Eksekutif PSHK dan Wakil Ketua STIH Jentera Bidang Penelitian, Gita Putri Damayana menilai kepergiaan Prof Mardjono adalah penanda semakin berkurangnya teladan dari generasi terdahulu di ruang publik. Pejabat publik, dari mulai kepala daerah hingga juru bicara istana yang memiliki kedewasaan di muka publik dalam memperlakukan lawan bicara semakin langka. Argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan tanpa tersandera agenda politik pun nyaris punah.

“Kepergian, Prof Mardjono menjadi pengingat pentingnya melanjutkan kedewasaan dalam komunikasi publik serta penyampaian pertimbangan hukum, terutama pada eksekutif, tanpa tersandera kepentingan politik jangka pendek. Waktu memang jarang berpihak pada mereka yang ingin mengedepankan akal sehat dalan ruang publik,” kata dia.

Sebelumnya, Guru Besar FH UI Prof Topo Santoso mengaku mengenal Prof Mardjono sejak menjadi mahasiswa FH UI tahun 1988. “Mengenal lebih Prof Mardjono saat saya menjadi dosen di FHUI. “Beliau humble, rendah hati, ilmunya sangat luas, dari mulai hukum pidana materil, pidana formil, kriminologi, sistem peradilan pidana, Hak Asasi Manusia. Ilmunya sangat luas, tetapi beliau tetap sederhana,” kenang Prof Topo saat dihubungi Hukumonline, Jumat (21/5/2021) lalu.

Di mata Topo, beliau sangat peduli terhadap pendidikan hukum, perlindungan HAM, dan berusaha bagaimana negara ini tidak melanggar HAM. “Menurut saya ia juga sangat memiliki kontribusi besar dalam ilmu kriminologi di Indonesia. Tidak hanya di FH UI, dia mendirikan Departemen Kriminologi di FISIP UI. Jadi, peninggalan beliau memang sangat banyak,” kata dia.

“Menurut saya beliau dewanya yang menguasai hukum pidana formil dan materil. Landasan teoritisnya sangat kuat. Mungkin akan sangat sulit mencari tokoh seperti beliau, saya saja merasa belum ada apa-apanya dibandingkan beliau,” kata Prof Topo.

“Beliau sangat rajin membaca, menulis, dan belajar dari siapa saja, tidak hanya melulu belajar dari professor luar negeri. Bahkan siapa saja yang melakukan penelitian, jika menurutnya bagus akan dikutip oleh dirinya,” ujar Dosen FH UI yang juga mendalami hukum pidana dan kriminologi ini.   

Mardjono Reksodiputro memulai kiprahnya di dunia hukum sejak ia mendapat gelar Sarjana Hukum dari FH UI pada 1962. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, dan memperoleh gelar Master of Art pada 1967. Kemudian selain mulai karirnya menjadi lawyer di ABNR sejak 1967, pria yang akrab disapa Pak Boy ini aktif berperan sebagai akademisi di beberapa perguruan tinggi.   

Sebelum menjadi Dekan FH UI pada 1984-1990, Prof Mardjono pernah menjadi Ketua Program Kekhususan Hukum Pidana pada Program Pascasarjana FH UI; Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila; dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghari Jambi. Sebelumnya, pernah menjabat Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1996-2006).

Dia pensiun sebagai Guru Besar gol. IV/e pada Maret 2002 dan menjadi salah anggota KHN hingga KHN dibubarkan Presiden Jokowi pada Desember 2014. Dia pun termasuk salah satu pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera. Beliau resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar UI dengan pendalaman ilmu Kriminologi pada 1992. Dari berbagai pengalamanya, baik sebagai praktisi hukum (advokat) maupun pengajar di beberapa fakultas hukum, ia menekuni beberapa bidang secara khusus yaitu sistem peradilan pidana, hukum pidana dan kegiatan perekonomian, korporasi dan pertanggungjawaban pidana.

Tags:

Berita Terkait